Bismillahirrahmanirrahiim
Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad
Sore ini Nita mendatangi panti asuhan tempat ia dibesarkan oleh Bu Dina. Nita ingin berpamitan kepada Bu Dina dan teman-teman panti lainnya. Usai mendapati penolakan Revan, Nita kembali merenung selama beberapa hari di apartemennya. Ia memantapkan hati dengan rencana hidupnya, rencana hidup untuk berdua saja dengan anak yang dikandungnya.
Ia teringat dengan ucapan Bu Dina sebelum meninggalkan apartemennya. Jika ia tak bisa membuat Revan bertanggungjawab padanya, perempuan paruh baya itu tak mau menganggapnya lagi sebagai anak. Tadinya, jika Revan menolak, Nita ingin tinggal saja di panti dan membesarkan anaknya bersama Bu Dina. Tapi, nyatanya beliau pun tak ingin mengakuinya lagi sebagai anak atas kesalahan yang ia lakukan. Meski sakit tak dianggap anak lagi, Nita mencoba berbesar hati menghormati keputusan Bu Dina. Oleh karena itu, ia datang ke sini untuk pamit. Nita memutuskan untuk pindah ke luar kota setelah kemarinnya ia resign dari pekerjaan.
Atasan tempatnya bekerja sempat menyayangkan keputusannnya untuk resign. Tapi, keputusan Nita sudah bulat. Ia tak mau menjadi bahan gunjingan orang kantor saat mereka tahu jika diirinya hamil di luar nikah. Maka, dari hasil tabungannya dan uang hasil jual apartemen nanti, Nita memutuskan untuk pindah dan memulai hidup baru tanpa ada yang tahu tentang masa lalunya. Nita akan kembali memulai hidupnya dari nol.
Sore itu Nita menggunakan dress berwarna navy yang panjangnya mencapai betis dengan rambut yang ia kuncir ekor kuda. Nita membawa tas jinjing yang berisi mainan dan makanan untuk adik-adik penghuni panti. Begitu tahu Nita datang, adik-adik panti langsung menyambutnya dengan antusias. Kesedihan Nita sedikit terobati ketika melihat wajah gembira adik-adik pantinya.
“Mbak Nita ke mana aja sih? Kok jarang main ke panti?” tanya Renata, adik panti yang usianya tiga tahun di bawah Nita. Nita sedang bersama Renata duduk di meja makan ruang belakang usai membagikan makanan dan mainan untuk adik-adik panti.
Renata berbeda dengan Nita. Gadis berjilbab itu memilih membantu Bu Dina mengelola usahanya. Ia juga enggan untuk meninggalkan panti yang telah membesarkannya. Renata adalah muslimah yang baik, mau menuruti semua nasihat dari Bu Dina, berbeda dengan Nita yang membangkang nasihat Bu Dina dalam hal jilbab dan pacaran.
“Ada kok, Ren. Maaf ya, Mbak baru sempat jengukin kalian ke sini. Ibu mana, Ren?” tanya Nita sambil menelisik setiap sudut panti untuk menemukan keberadaan Bu Dina.
Panti asuhan tempatnya dibesarkan ini memiliki luas sekitar seribu meter persegi. Cukup luas bukan? Bu Dina adalah seorang janda. Dulu, suaminya adalah seorang pilot. Namun, kecelakaan pesawat merenggut nyawa suami tercintanya. Bu Dina memutuskan untuk tidak menikah lagi, padahal usianya masih bisa dibilang pantas untuk menikah. Alih-laih mencari suami baru, Bu Dina yang kala itu belum dikaruniai anak keturunan memutuskan untuk membangun rumahnya menjadi sebuah panti asuhan agar rumahnya tak lagi sepi. Harta warisan peninggalan suaminya yang terbilang cukup banyak, ia gunakan untuk membangun panti dan juga usaha untuk menopang hidupnya. Beliau menyibukkan diri dengan mengembangkan usaha dan mengelola panti. Alhasil usahanya berkembang dan bisa menyokong keuangan panti selain dari para donatur.
“Hmm, ibu lagi ada ta’lim di mesjid, Mbak. Katanya mau sekalian maghrib aja di mesjid. Jadi ya, sekarang belum pulang. Pulangnya nanti habis maghrib,” jelas Renata.
Keduanya terdiam. Nita memandangi canngkir teh manis dan toples camilan yang dihidangkan Renata dengan tatapan kosong.
“Hmm, Mbak. Aku boleh nanya?” tanya Renata ragu-ragu.
“Iya, tanya aja, Ren.” Nita mengangkat cangkir teh di depannya. Ia menyeruput teh manis hangat beraroma melati yang memanjakan indra penciumannya. Rasanya, menenangkan.
“Apa Mbak Nita benar hamil?”
Kegiatan Nita yang sedang menyesap tehnya mendadak terhenti. Untung ia tidak tersedak. Ia sudah menduga Renata pasti akan mengetahui tentang kehamilannya dari Bu Dina. Nita meletakkan cangkirnya kembali dengan perlahan ke atas meja.
“Iya, betul, Ren. Mbak memang sedang hamil,” ucap Nita sambil mengangguk.
“Ya Allah, Mbak. Jadi apa yang dikatakan sama ibu betul?” Renata terkejut mendengar penuturan langsung dari Nita.
Nita kembali menganggukkan kepalanya. “Iya, ibu betul.”
“Kemarin, waktu ibu pulang dari apartemen Mbak, ibu nangis dan ngurung diri di kamar. Beliau baru mau cerita sama Rena keesokan harinya, Mbak.”
Nita meringis. Ia tak kuat membayangkan betapa hancur dan terpukulnya Bu Dina. Semua memang salahnya.
“Rena udah coba untuk menenangkan dan menghibur ibu, tapi, beliau tetap aja sedih dan menyalahkan dirinya. Rena jadi gak tega sama ibu, Mbak.”
“Iya Rena. Maka dari itu, mbak ke sini mau ketemu ibu dan minta maaf lagi sama beliau.”
Renata menganggukkan kepalanya. Gadis manis berkacamata dan berlesung pipi itu kembali bertanya, “Lalu siapa lelaki yang udah menghamili Mbak Nita? Soalnya selama ini, Mbak gak pernah terlihat dekat sama lelaki. Hmm, maaf, maksud Rena, Mbak Nita gak pernah ngenalin lelaki yang jadi pacar Mbak ke Rena atau ibu.”
Tentu saja Nita tak berani mengenalkan Revan pada ibunya dan Renata mengingat jenis hubungan yang mereka jalani adalah hubungan tak wajar. Nita tak bisa membayangkan jika Bu Dina tahu jenis hubungan macam apa yang dijalaninya bersama Revan. Nita tak berani membayangkan reaksi beliau.
“Dia mau tanggung jawab, kan?” tanya Renata dengan cemas melihat Nita yang diam tak merespon pertanyaannya.
Nita menoleh ke arah Rena sambil menggeleng dan tersenyum tipis. “Sayangnya dia gak mau tanggung jawab, Ren. Mbak memang bodoh, gak bisa jaga diri.”
Renata menatap iba perempuan yang telah dianggapnya sebagai kakak sendiri itu. Meski nyatanya Nita memang salah, tapi Renata tetap merasa tak tega dengan Nita. Renata menggenggam tangan Nita untuk menyemangatinya.
“Yang sabar ya, Mbak. Mbak pasti bisa melalui ini semua. Aku yakin itu,” ucapnya sambil tersenyum.
“Makasih banyak, Rena. Kamu memang adik yang baik.”
“Oh ya, terus rencana Mbak selanjutnya apa? Hmmm, gimana kalau Mbak tinggal di sini lagi bareng kita?” ajak Rena.
Nita menggelengkan kepalanya. “Nggak, Ren. Mbak gak bisa. Kemarin saat ibu ke apartemen, ibu bilang kalau mbak gak bisa buat lelaki yang ngehamilin mbak bertanggung jawab dengan menikahi mbak ...” Nita mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan ucapannya, “ ... ibu gak mau ngakuin mbak lagi sebagai anaknya.”
“Astaghfirullah, masa ibu bilang begitu, Mbak?” Renata tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Nita. Pasalnya, yang Renata tahu, Bu Dina sangat menyayangi mereka berdua lebih dari apa pun.
“Iya, Ren. Makanya, Mbak ke sini, mau sekalian pamit sama kamu dan ibu.”
Renata terkejut mendengar ucapan Nita. “Pamit? Mbak mau ke mana? Mbak jangan aneh-aneh deh,” ucap Rena tak suka. “Mbak, mungkin ibu saat itu lagi emosi, beliau gak serius. Ucapan ibu waktu itu jangan diambil hati dan diseriusi ya, Mbak? Beliau hanya marah dan kecewa aja sama, Mbak.”
“Mbak mau pindah ke luar kota aja, Ren. Hidup berdua sama anak mbak,” ucap Nita seraya mengelus perutnya.
“Mbak jangan gegabah. Hidup jadi single parent yang gak menikah itu gak gampang, Mbak. Mbak coba pikirin lagi baik-baik. Kalau Mbak tinggal di sini, anak Mbak nanti gak kesepian. Ada aku, ibu dan anak-anak panti lain yang jadi temannya.”
“Makasih, Ren. Tapi, mbak gak mau ngerepotin kalian.”
“Ngerepotin apa sih, Mbak? Mbak juga bagian dari keluarga panti ini, kan?”
Suara adzan maghrib menginterupsi percakapan mereka. Renata langsung mengajak Nita untuk salat berjamaah dengan adik—adik panti yang lainnya.
===
“Mau apa lagi kamu ke sini, Nita? Sudah berhasil meminta pertanggungjawaban lelaki yang menghamili kamu?” tanya Bu Dina tajam. Saat ini, Nita sedang berada di kamar Bu Dina untuk bicara empat mata dengan beliau. Tanpa mereka tahu, Renata menguping pembicaraan mereka di balik pintu. Bukan bermaksud tak sopan, tapi Renata hanya jaga-jaga agar keduanya tidak terbawa emosi dan mengambil keputusan yang salah.
Bu Dina berdiri menghadap jendela kamarnya sambil memunggungi Nita yang duduk di tepi ranjang.
“Nit ... Nita ... Nita mau pamit sama ibu.” Nita menghirup oksigen dengan rakus untuk menetralisir rasa sesak di dadanya.
Bu Dina terkejut mendengar maksud tujuan Nita menemuinya.
Pamit? Mau pergi ke mana anak ini? batin Bu Dina.
“Maaf, Nita gagal jadi anak yang baik buat ibu. Nita juga udah gagal buat minta lelaki itu menikahi Nita. Maaf, Bu. Maaf Nita udah ngecewain ibu terus.”
Rasa sesak juga meliputi d**a Bu Nita. Hatinya teremas mendengar bahwa lelaki itu enggan bertanggungjawab.
“Jadi, karena itu, sesuai permintaan ibu waktu itu, Nita datang ke sini untuk pamit, Bu. Nita mau pergi. Nita mau pindah ke luar kota. Nita akan hidup berdua aja dengan anak Nita, Bu.”
Bu Dina mengepalkan kedua tangannya erat, menahan emosi yang berkecamuk di dadanya.
Nita melangkah mendekati Bu Dina. Ia lalu memeluk tubuh perempuan paruh baya itu dari belakang. “Nita sadar, Nita memang gak pantas jadi anak ibu. Nita udah banyak ngecewain ibu, padahal ibu udah baik, baik banget sama Nita. Maaf ya, Bu.”
“Makasih ibu udah mau ngerawat Nita yang gak jelas asal usulnya ini, bahkan nganggap Nita layaknya anak kandung ibu sendiri. Maaf ya, Bu? Bukannya buat ibu bahagia, Nita malah balas jasa baik ibu dengan rasa kecewa. Sekali lagi, Nita minta maaf, Bu.”
Hati ibu mana yang tak hancur mendengar anaknya berucap seperti itu. Bulir-bulir air mata mulai menetes dari pelupuk mata Bu Dina. Sebenarnya, Bu Dina ingin berbalik dan memeluk Nita. Tapi, rasa kecewa dan marah masih menyelimutinya hingga ia enggan bergeming.
Setelah puas memeluk tubuh kaku ibunya, Nita beringsut menjauh.
“Maafin Nita ya, Bu. Biar Nita tenang ngejalanin hidup berdua sama anak Nita. Ibu mau kan maafin Nita?”
Bu Dina masih diam dan enggan menatap wajah Nita.
Nita hanya bisa tersenyum kecut melihat sikap dingin ibu padanya. Nita mengusap air mata di wajah dengan tangannya lalu berpamitan. “Nita pamit pergi ya, Bu. Ibu jaga kesehatan ya? Jangan sampai sakit. Nita selalu berdoa untuk kesehatan ibu dan juga panti ini dari jauh.”
“Nita pamit ya, Bu. Assalamu’alaikum.” Usai mengucap salam, Nita beranjak ke luar dari kamar Bu Dina. Saat ke luar ia menemukan Renata berada dekat pintu. Nita tahu pastii gadis itu menguping pembicaraannya dengan sang ibu. Nita hanya tersenyum kecut sambil memegang bahu Renata. “Mbak pergi ya, Ren. Mbak titip ibu. Jaga diri kamu baik-baik, jangan bikin ibu kecewa kayak mbak udah bikin ibu kecewa.”
“Tapi, Mbak ... “
“Sudah. Mbak pergi, ya? Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Nita melangkahkan kakinya mantap meninggalkan bangunan panti yang sangat bersejarah baginya. Namun, baru beberapa langkah meninggalkan Renata, kepala Nita terasa sangat berat dan pusing. Penglihatannya juga mengabur hingga akhirnya ia ambruk karena tak kuasa menopang tubuhnya sendiri.
“Mbak Nita!” teriak Renata. Renata dengan cepat menghamipir Nita yang pingsan.
“Ibu, Mbak Nita pingsan, Bu!”