FOURTEEN

1589 Kata
Bismillahirrahmanirrahiim Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad === “Tapi, anak kami Revan harus bertanggungjawab pada Nita, Bu,” ucap Bu Wina. “Bertanggung jawab?” “Iya, sebab yang menghamili Nita adalah anak kami ... Revan.” === Suasana menjadi hening seketika. Bu Dina masih coba mencerna semua hal yang dikatakan oleh pasutri yang juga rekan bisnisnya selama ini. Lelaki yang menghamili Nita adalah Revan? Revan putra dari Pak Nugraha dan Bu Wina? Ya Allah, bagaimana bisa ini semua terjadi? Bu Dina menatap dua orang paruh baya di depannya dengan tatapan tak percaya. Ia tak menyangka akan menerima fakta baru yang mengejutkan hari ini. Papa dan mama Revan yang ditatap oleh Bu Dina merasa gugup bukan main. Mereka berdoa dalam hati agar Bu Dina mau menerima permintaan maaf mereka dan juga lamaran mereka untuk Nita. Sebenarnya, papa dan mama Revan juga malu harus mengakui tingkah buruh anaknya di hadapan Bu Dina. Namun, sebagai orang tua mereka harus bertindak meski harus menanggung malu. Mereka tak bisa membiarkan Revan lepas begitu saja dari tanggungjawabnya sebagai seorang lelaki. Mungkin, ini terguran dari Allah untuk mereka karena lalai mengawasi Revan. Bu Dina masih diam membeku. Lalu, otaknya merangkai semua kejadian yang berhubungan dengan Nita serta lelaki yang menghamilinya. Lelaki yang menghamili Nita itu ... kemarin gak mau bertanggung  jawab, kan? Itu berarti anaknya Pak Nugraha dan Bu Wina yang bernama Revan gak mau tanggung jawab dengan menikahi Nita, iya begitu kan? Dada Bu Dina bergemuruh berselimut emosi. Beliau yang sudah menerima keadaan Nita seketika menjadi berang jika teringat lelaki yang enggan bertanggungjawab pada putrinya itu. Bu Dina meremass kedua tangan yang ada di pangkuannya karena menahan amarah. Saat akan membuka mulut untuk berbicara, terdengar suara ketukan pintu. Otomatis ketiga orang paruh baya yang ada di ruangannya menoleh ke arah pintu. Terlihat Nita yang tersenyum menggunakan dress warna merah muda lengan panjang yang menjuntai hingga betis dengan rambut dikuncir satu membawa tiga cangkir teh beserta makanan. Nita memang belum bisa menutup auratnya secara sempurna setiap hari. Ia baru belajar menutup auratnya di waktu-waktu tertentu saja. Meski begitu, Renata sang adik berusaha maklum karena berhijrah sejatinya membutuhkan proses yang tidak instan dan Renata juga tetap setia menyemangati sang kakak. “Permisi. Ini Nita mau bawain teh sama camilan buat tamunya ibu,” ucapnya sambil mendekat lalu berjongkok menyimpan cangkir dan piring camilan di atas meja tamu. Pak Nugraha dan Bu Wina menatap Nita dari ujung kepala sampai ujung kaki, lali keduanya saling tatapp penuh arti. Nita sedikit risih ditatap dengan intens oleh tamu Bu Dina yang ia tidak kenal sama sekali. Usai melakukan tugasnya, ia tersenyum mengangguk lalu berjalan pelan untuk meninggalkan ruangan. Namun, langkahnya terhenti saat suara Bu Dina memanggil namanya. “Nita.” “Iya, Bu.” “Jangan pergi dulu. Duduk sini, sebelah ibu,” ucap Bu Dina tenang sambil menepuk kursi kosong di sebelahnya. Nita mengernyitkan dahinya karena merasa aneh. Pasalnya, ia tidak kenal dengan tamu ibunya itu. Meski begitu, Nita tetap menuruti perintah ibunya lalu duduk di sebelah Bu Dina. “Ada apa, Bu?” “Kamu kenal dengan mereka?” tanya Bu Dina sambil mengedikkan kepala, menunjuk ke arah Pak Nugraha dan Bu Wina. “Eh? Oh, nggak Bu,” jawab Nita sambil menggelengkan kepala. “Mereka ke sini mau melamar kamu,” ucap Bu Dina. “Hah? Apa?” Ucapan ibunya membuat Nita terkejut bukan main. Nita tak mengenal dua orang paruh baya di depannya ini. Nita kira, mereka adalah orang yang ingin mengadopsi anak atau menjadi donatur panti. Tapi, begitu ibunya menjelaskan maksud dan tujuan mereka kemari untuk melamarnya, Nita tak habis pikir. “Ibu, bercanda kali? Maaf, saya gak kenal sama bapak dan ibu, lalu kenapa bapak dan ibu dengan beraninya melamar saya?” ucap Nita dengan sopan. “Mereka itu orang tua Revan, Nita,” ucap Bu Dina. “Apa?!” Fakta pertama tadi sudah begitu mengejutkan Nita. Sekarang, fakta kedua jika pasangan di depannya ini adalah orang tua Revan semakin membuat Nita terkejut. “Iya, betul Nita. Kami, saya Nugraha dan istri saya Wina adalah orang tua Revan. Maksud kedatangan kami ke sini adalah untuk melamar kamu,” jelas Pak Nugraha. Nita memandang kedua orang tua Revan dengan tatapan tak percaya. Selama berhubungan dengan lelaki itu, Nita memang tidak pernah mengetahui apa pun tentangnya termasuk kedua orang tuanya. Nita tak niat bertanya dan Revan pun tak cerita. “Kami sebagai orang tua Revan memohon maaf atas kelakuan buruk anak kami pada kamu, Nita. Juga pada Bu Dina,” ucap Pak Nugraha. Nita masih diam membeku sedangkan Bu Dina mulai berani angkat suara. “Ya, saya pribadi sebagai seorang ibu memang kecewa dengan anak bapak dan ibu,” ucap Bu Dina jujur. Pak Nugraha dan Bu Wina tak berniat menyela ucapan Bu Dina. Pasangan suami istri itu memutuskan untuk diam mendengarkan semua ucapan Bu Dina sampai tuntas. “Sebenarnya, mungkin ini salah Nita juga sebagai perempuan yang tidak bisa menjaga diri. Saya rasa, intinya Revan dan Nita sama-sama bersalah dalam hal ini.” Bu Dina berpikir dengan bijak. Ia tak mau menyalahkan dan menyudutkan pihak Revan karena Nita hamil bukan karena p*******n. Bu Dina yakin mereka melakukannya dengan keadaan sadar dan nekad tanpa mempertimbangkan akibat buruk yang terjadi setelahnya. Mereka berdua tergoda oleh bujuk rayu syetan. Nita yang mendengarnya jadi merasa sedih. Ia jadi teringat dosa-dosanya bersama Revan di masa lalu. Sudah merebut kekasih orang hingga hamil di luar nikah. Mengingat hal itu membuat Nita kembali menitikkan air matanya karena merasa hina dan kotor meski ia sudah mendapat maaf dari Lisa. “Tapi, yang buat saya kecewa adalah Revan tidak mau mengakui anak yang dikandung oleh Nita dan ia juga menolak untuk bertanggungjawab menikahi Nita. Itu yang membuat saya tambah kecewa dengan anak bapak dan ibu.” Pak Nugraha dan Bu Wina saling tatap lalu menundukkan kepalanya. Mereka memaklumi perasaan Bu Dina sebagai seorang ibu. “Iya, Bu. Saya paham,” ucap Pak Nugraha. “Oleh karena itu, saya dan istri saya ke sini bermaksud melamar Nita, sebagai bentuk pertanggungjawaban Revan pada anak ibu.” Bu Dina menghela napas panjang. Sebenarnya rasa amarah lebih dominan ia rasakan. Tapi, beliau masih menghargai niat baik kedua orang tua Revan. Bu Dina menoleh ke arah Nita di sampingnya. “Sekarang semuanya terserah kamu, Nita. Kamu yang berhak memutuskan,” ucap Bu Dina tegas. Nita menatap ragu ke arah ibunya itu. Bu Dina mengangguk sebagai tanda ia menyetujui apa pun nanti keputusan Nita. “Hmm, saya mohon maaf sebelumnya, Pak Bu,” ucap Nita dengan sopan. Pak Nugraha dan Bu Wina tak sabar menanti jawaban Nita atas lamaran untuknya. “Saya mohon maaf tidak bisa menerima lamaran bapak dan ibu. Saya mohon maaf,” ucap Nita sambil menunduk. Pasutri paruh baya itu mendesah kecewa. “Kenapa, Nita? Kamu masih marah sama Revan? belum bisa memaafkan Revan?” cecar Bu Wina. “Apa kamu gak mikirin masa depan anak kalian nanti? Masa depan calon cucu kami juga? ” timpalnya lagi. “Bukan begitu, Bu. Saya rasa kesempatan yang saya berikan untuk Revan sudah habis. Saya sudah merendahkan diri memohon padanya supaya bertanggungjawab, tapi apa? Dia menolaknya mentah-mentah bahkan tidak sudi mengakui anak ini adalah anaknya.” Nita tak kuasa lagi menahan air matanya agar tidak jatuh. “Saat terakhir kali saya datang padanya saya sudah membuat keputusan. Jika ia menolak lagi untuk bertanggungjawab, maka saya akan hidup berdua saja dengan anak saya,” ucap Nita terbata. “Tapi, Nita ... “ “Maaf, Pak, Bu, saya permisi.” Nita menghapus air matanya lalu beranjak pergi meninggalkan ruangan Bu Dina dengan langkah cepat. Pak Nugraha, Bu Wina dan Bu Dina memandang kepergian Nita dengan tatapan sendu. “Saya rasa jawaban dari Nita sudah jelas, Pak, Bu,” ucap Bu Dina. “Bu, tapi saya mohon sama ibu agar mempertimbangkan lamaran dari kami ini. Mungkin tadi Nita syok dengan kedatangan dan lamaran kami yang tiba-tiba. Tapi, tolong pikirkan anak dalam kandungan Nita, Bu. Bila Nita enggan, tolong pikirkan masa depan calon cucu kami. Setidaknya pernikahan itu bisa menyelamatkan statusnya kelak,” ucap Bu Wina terlihat putus asa. “Baik, Bu. Nanti saya coba bicara lagi dengan Nita.” “Nanti, kami akan datang lagi ke sini bersama anak kami, Revan.” === Malamnya, Nita sedang menyelesaikan rajutan di atas tempat tidurnya. Kesibukannya merajut bisa membuatnya sedikit lupa akan kedatangan orang tua Revan ke panti. Nita merasa bingung. Sebenarnya ia senang dengan kedatangan orang tua Revan ke panti untuk melamarnya. Itu berarti menunjukkan mereka adalah orang tua yang baik yang mau bertanggungjawab atas kelakuan buruk anaknya. Orang tua Revan juga tidak berkata buruk tentangnya. Padahal bisa saja mereka juga tidak mengakui anak yang dikandung Nita sebagai calon cucu mereka. Tapi, mereka tidak begitu. Hal yang membuat Nita ragu adalah tidak adanya Revan. Jika lelaki itu memang berniat baik ingin bertanggungjawab, maka harusnya ia datang bersama dengan kedua orang tuanya tadi. Nyatanya, lelaki itu malah absen. Nita menghela napas lelah. “Nita,” ucap Bu Dina sambil membuka pintu kamar Nita. “Iya, Bu?” “Kamu belum tidur?” “Belum, Bu.” “Ibu boleh bicara sebentar?” “Boleh, Bu. Masuk aja.” Bu Dina masuk lalu menutup pintu kamar Nita. Ia menghampiri Nita yang duduk di atas tempat tidur sambil merajut. “Gimana? Kamu udah yakin sama keputusan kamu, Nita?” tanya Bu Dina to the point. Nita menghentikan kegiatannya merajut lalu menghadap ibunya. “Iya, Bu. Nita udah yakin dari semenjak dia nolak Nita. Nita mau hidup berdua aja sama anak Nita.” “Lalu status anak kamu, gimana? Udah kamu pikirin?” Nita hanya diam sambil menatap ibunya. “Gampang lah, Bu. Itu nanti bisa diatur.” Lalu Nita kembali melanjutkan rajutannya. “Nita, dengarkan ibu,” ucap Bu Dina sambil memegang kedua bahu Nita. Nita kembali menatap wajah ibunya. “Ibu juga kecewa sama Revan dan orang tuanya. Tapi, setidaknya mereka sudah berniat baik datang ke sini ingin bertanggungjawab sama kamu dan anak kamu. Kalau kamu masih sakit hati dengan penolakan Revan, ibu minta kamu bisa menyingkirkan itu dulu sekarang. Karena jadi single parent dengan status tidak menikah itu gak mudah, Nita. Apa kamu mau anak kamu mengalami hal yang sama dengan kamu? Nggak, kan, Nak?” “Lalu Nita harus gimana, Bu?” “Shalat istikharah, Nak. Minta petunjuk sama Allah, ya? Insya Allah, Allah akan memberikan petunjuk yang terbaik untuk hamba-Nya.” Nita menatap ibunya dengan tatapan bimbang. Haruskah ia melanggar prinsipnya sendiri? Haruskah ia menerima lamaran kedua orang tua Revan demi anak yang dikandungnya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN