Bismillahirrahmanirrahiim
Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad
===
Kedua orang tua Revan menatap anaknya yang duduk di hadapannya. Sejak kedatangan mereka ke panti untuk melamar Nita beberapa hari yang lalu, mereka terus mencari cara agar bisa bertanggungjawab terhadap Nita. Mereka tidak mau putra mereka lepas begitu saja dari tanggungjawab sebagai seorang lelaki. Berani berbuat harus berani bertanggungjawab. Jadilah Revan yang baru pulang dari Bandung beberapa jam yang lalu harus disidang kembali oleh kedua orang tuanya.
“Kami sudah menyelidiki tentang Nita. Ternyata dia adalah anak asuh dari rekan bisnis mama dan papa, Van. Kamu udah bener-bener bikin kami malu,” ucap Pak Nugraha tegas sambil membenarkan letak kacamatanya.
Bu Wina hanya diam membiarkan sang suami yang bicara. Jika sedang menasihati anak-anaknya, ia akan diam. Sang suami yang akan mengambil peran untuk menasihati anak-anaknya meski sebelumnya kedua orang tua itu sudah berkompromi terlebih dahulu. Anak-anak akan lebih segan jika sang papa yang menasihati.
Revan pun masih diam, tak berani menyela ucapan papanya meski ia terkejut mengetahui fakta jika Nita adalah anak asuh dari rekan bisnis papanya.
“Papa dan mama sudah menyampaikan niat kami untuk melamar Nita, tapi ... “ Pak Nugraha menghela napas sebelum melanjutkan, “ ... dia menolak lamaran kami. Dia gak mau menikah sama kamu.”
“Itu juga karena penolakan kamu, Van. Gara-gara kamu yang gak mau ngakuin kalau anak yang dikandung Nita itu adalah anak kamu, ck,” Pak Nugraha berdecak kesal.
“Terus sekarang Revan harus gimana, Pa?” Revan mulai berani membuka suara.
“Ya kamu usaha dong! Kejar Nita! Bujuk dia biar mau nikah sama kamu!” ucap Pak Nugraha dengan lantang dan tegas.
“Kalau dia nolak lagi?” tanya Revan.
“Ya Allah, Van! Kamu pengecut banget sih jadi laki! Apa pernah papa dan mama ngajarin kamu kayak gini?! Hah?!” Pak Nugraha kembali membentak Revan.
Revan hanya bisa tertunduk sambil menghela napas. Pak Nugraha pergi meninggalkan istri dan anaknya di ruang tengah. Ia butuh sendiri untuk meredakan emosinya karena kecewa pada anak lelaki yang harusnya menjadi kebanggaannya.
Bu Wina menatap Revan yang sedang bersandar pada sofa. “Van, pokoknya mama dan papa gak mau tahu gimana caranya kamu harus bisa bujukin Nita biar mau nikah sama kamu. Usaha, berjuang, bujuk Nita. Mama yakin hati Nita lama-kelamaan bisa luluh kok kalau kamu bujukin terus. Bagaimana pun juga dia perempuan, Van. Hatinya pasti lembut.”
Revan menatap sang mama dan memikirkan semua ucapannya.
“Tapi, Revan gak cinta sama Nita, Ma.”
“Van, kalo udah kejadian kayak gini, cinta udah gak penting lagi. Ada anak kalian yang harus kalian pikirkan masa depannya. Kamu jangan egois!”
“Berani berbuat, harus berani bertanggungjawab, Van. Jangan sampai nanti kamu menyesal sudah menolak anak kamu, Van. Apalagi kalau Nita menikah dengan lelaki lain dan memanggilnya dengan sebutan papa. Kalau kamu masih punya hati, harusnya kamu berpikir ke arah sana.” Sebagai seorang ibu, Bu Wina mencoba menasihati Revan dengan bijak karena sudah tugasnya sebagai orang tua untuk menarik anaknya jika keluar dari jalan yang benar.
Bu Rina menepuk bahu Revan lalu meninggalkan Revan sendirian di ruang tengah.
===
Nita sedang memajang hasil karya rajutannya bersama beberapa anak panti. Ia akan memfotonya dan mengunggahnya di i********: dan platform jual beli online. Selain itu, ia juga akan menawarkan pada beberapa rekan kantornya. Nita harap, barang dagangannya bisa laku dan disukai konsumen.
Nita sudah mengambil beberapa gambar dengan kamera SLR miliknya agar resolusi gambar bagus. Setelah itu, ia meminta anak panti yang menjadi admin i********: dan memantau di platform jual beli online. Ia memilih tiga anak panti berjenis kelamin perempuan yang duduk di bangku SMK untuk membantunya. Sebenarnya, bisa saja ia mengerjakan semuanya sendiri. Tetapi, Nita berpikir itu tidak bagus untuk kelangsungan usahanya ke depan. Jadi, ia pelan-pelan juga mengajarkan beberapa anak panti yang sudah cukup umur untuk mengelola. Jadi, suatu saat mereka bisa mandiri, bahkan mungkin bisa membuka usaha sendiri.
Nita mengajarkan cara membuat akun IG agar terlihat menarik dan caption yang cocok agar menarik perhatian calon konsumen. Nita senang karena mereka dengan mudahnya paham yang ia ajarkan. Tak sulit mengajarkan generasi sekarang masalah IT, bahkan kadang anak-anak pun lebih canggih dalam bermain gadget diibandingkan dengan kedua orang tuanya. Oleh karena itu, para orang tua harus ekstra menjaga interaksi anak-anaknya dengan gadget agar tidak kecolongan atau digunakan untuk hal-hal yang tidak baik.
===
Revan memandang panti asuhan dari dalam mobilnya yang terparkir dari jarak yang cukup aman untuk mengintai. Setelah memikirkan nasihat dari orang tuanya, hari ini Revan berencana untuk mendatangi Nita di panti asuhan. Ia memutuskan untuk menuruti nasihat kedua orang tuanya membujuk Nita agar mau menikah dengannya demi anak mereka. Ya, Revan melakukannya hanya demi anak mereka, bukan yang lain. Setidaknya itulah yang Revan pikirkan saat ini. Tapi, dari setengah jam yang lalu, ia belum berani melajukan mobilnya ke halaman panti. Ia masih betah duduk di kursi kemudi sambil mengamati panti dari kejauhan. Ia melihat beberapa anak keluar dari panti dengan seragam sekolahnya.
Revan mencengkram kuat kemudi mobil sambil menghela napas panjang. Ia memantapkan diri untuk menemui Nita sekarang juga. Ia melepas rem tangan lalu berniat menginjak gas mobilnya tapi tidak jadi karena netranya menangkap pemandangan seorang perempuan yang berbalut gamis dan juga jilbab ke luar dari panti dengan tas selempang sambil memegang ponsel. Revan memicingkan matanya untuk memastikan pemandangan yang ia lihat adalah benar. Ia bahkan tak ragu mengucek kedua matanya untuk memastikan bahwa ia tak salah lihat.
Nita?
Itu benar Nita, kan?
Gue gak salah lihat, kan?
Sejak kapan Nita pakai jilbab dan pakaian yang menutup aurat kayak begitu?
Revan masih tercengang dengan fakta yang baru diketahuinya sekarang. Nita memerhatikan ponselnya sambil melihat ke arah jalan. Sepertinya ia sedang memesan kendaraan online, pikir Revan. Tak lama, sebuah mobil hitam berhenti di depan Nita dan tanpa ragu Nita langsung masuk ke dalam mobil itu.
Revan dengan sigap dan tanpa membuang waktu langsung mengikuti mobil yang ditumpangi Nita.
===
Mobil yang ditumpangi Nita berhenti di sebuah rumah sakit ibu dan anak. Sepertinya benar dugaan Revan bahwa Nita menggunakan taksi online, karena begitu Nita turun dari mobil, mobil itu langsung meninggalkan rumah sakit. Revan pun memarkirkan mobilnya di halaman parkir lalu segera masuk untuk mencari Nita.
Apa dia mau periksa kandungan? Pikir Revan yang melangkah masuk ke rumah sakit. Revan menemui bagian admin dan menanyakan jadwal dokter kandungan yang praktik hari ini beserta ruangannya. Setelah itu, Revan melangkahkan kaki menuju ruangan praktik dokter kandungan sesuai dengan petunjuk yang diberikan.
Ia melihat Nita sedang menungggu di kursi tunggu dekat ruangan praktik dokter kandungan. Saat Nita menoleh ke arahnya, Revan dengan cepat berbalik badan. Ia tidak ingin Nita mengetahui keberadaannya.
Sedangkan Nita yang sedang antri sambil duduk menunggu giliran periksa mengernyitkan dahinya heran. Rasanya ia mengenal tubuh yang berjarak beberapa meter darinya itu.
Revan?
Apa itu Revan, ya? Nita bergumam dalam hati.
Ah, gak mungkin! Mana mungkin dia ada di sini!
Nita kembali duduk mencari posisi yang nyaman lalu berselancar di dunia maya sambil menunggu dipanggil. Revan berjalan ke luar dari rumah sakit. Ia membeli koran dan juga masker untuk menutupi wajahnya agar tidak diketahui oleh Nita. Setelah mendapatkan dua benda itu, ia duduk di kursi tunggu juga yang tak jauh dari Nita duduk.
Pasien-pasien sebelum Nita telah dipanggil satu per satu masuk untuk diperiksa, hingga akhirnya suster memanggil nama Nita agar masuk ke dalam ruangan dokter.
“Ibu Renita Utami, silakan masuk,” ucap Suster sambil tersenyum.
“Iya, Sus.” Nita mencangklong tasnya lalu berjalan menuju ruangan dokter. Revan yang melihat Nita masuk ke dalam ruangan langsung melipat korannya dan bergegas menyusul Nita masuk sebelum pintu ruangan dokter tertutup.
“Gak sama suaminya, Bu?”
“Nggak, Sus,” ucap Nita sambil tersenyum miris. Suster membalas senyum Nita lalu bersiap menutup pintu. Belum menutup pintu dengan sempurna, suster itu dikejutkan dengan Revan yang menahan pintu.
“Loh, bapak siapa? Maaf selain pasien dilarang masuk, Pak,” ucap suster dengan tegas.
“Saya suami dari Bu Nita. Maaf saya telat datang ke sini untuk nemenin istri saya periksa,” dusta Revan. Jarak tempat duduk pasien dan pintu yang tak terlalu jauh membuat Nita bisa mendengar percakapan mereka.
Suami? Siapa lelaki yang mengaku—ngaku menjadi suamiku? Batin Nita.
“Oh, suaminya Bu Nita. Kirain saya siapa. Mari silakan masuk, Pak.”
Nita terpaku mendapati Revan berjalan mendekat lalu duduk di kursi kosong yang ada di sebelahnya. Inginnya Nita menendang lelaki itu agar ke luar dari ruangan dokter, tapi tubuhnya malah membeku.
“Maaf ya, aku telat,” ucap Revan lembut pada Nita. Nita masih menatap Revan dengan mulut sedikit menganga.
Oh tidak! Jangan terbuai kebohongannya lagi, Nita! Saat ini dia pasti sedang berpura-pura saja. Ya, lelaki ini pasti sedang berpura-pura saja. Jika mereka adalah pasangan suami istri yang sah, Nita tentu akan sangat senang Revan menemaninya memeriksakan anak mereka. Tapi, ah sudahlah.
“Silakan dilanjutkan periksanya, Dok,” ucap Revan pada dokter perempuan paruh baya dii hadapannya. Demi menjaga nama baik dan kesopanan, Nita mengikuti sandiwara Revan di depan dokter dan suster. Mereka berlagak seperti sepasang suami istri yang bahagia.
===
“Jangan lupa bulan depan datang lagi ya, Pak, Bu,” ucap sang suster ramah.
“Iya, terima kasih, Sus.”
Usai pemeriksaan selesai, Nita dan Revan ke luar ruangan. Nita berjalan dengan langkah cepat untuk menghindari Revan. Revan yang sudah bisa membaca gelagat Nita segera menyusulnya dan mencekal lengannya.
“Nita!”
“Apa?! Lepasin, Van!”
“Gak! Kita berdua perlu bicara,” ucap Revan dengan tegas.
“Gak! Gak ada yang perlu dibicarain lagi. Semuanya sudah jelas dan selesai!” ucap Nita sambil meronta agar tangannya lepas dari cekalan Revan.
Suara mereka yang bernada tinggi membuat mereka jadi pusat perhatian beberapa orang yang sedang melintas di lorong rumah sakit. Revan melonggarkan cekalannya. Ia lalu menarik Nita pelan untuk mengikutinya ke tempat yang lebih sepi dan nyaman untuk mereka berbicara berdua.
Revan akhirnya membawa Nita ke taman rumah sakit. Mereka duduk di bangku panjang, berjauhan.
“Cepet, Anda mau ngomong apa, Pak Revan yang terhormat?” tanya Nita ketus.
Revan menghela napasnya lalu menoleh menatap Nita. “Kita harus nikah, Nita.”
Nita tersenyum sinis menanggapi ajakan Revan. “Sampai kapan pun, keputusan saya tetap sama. Saya hanya akan hidup berdua dengan anak saya. Permisi!” Nita beranjak dari duduknya berniat meninggalkan Revan dan pulang. Ia pikir hanya akan sia-sia dan buang waktu bicara dengan Revan.
“Kamu gak boleh egois, Nita. Pikirkan anak yang ada di dalam kandungan kamu, anak kita.”
Nita menghentikan langkahnya lalu kembali berbalik menghadap Revan. Ia menertawakan Revan. “Apa? Anak kita? Bukan, ini bukan anak kitas! Ini anak aku! Hanya anak aku! Sejak kamu menolak untuk mengakui anak ini adalah anak kamu, sejak itu pula aku udah menganggap ayah anak ini mati. Sudah mati!”
Rahang Revan mengetat, menahan amarah. Entah kenapa ucapannya itu seperti belati yang menusuk dan merobek-robek hati dan perasaannya. Ia tak terima jika Nita menganggapnya sudah mati. Entah kenapa dengan Revan.
Nita lalu kembali berbalik badan dan melangkahkan kakinya dengan cepat meninggalkan Revan. Nita tak menghiraukan Revan yang terus memanggilnya. Nita juga meninggalkan rumah sakit dengan perasaan yang kacau, tak karuan.
Saat ia hendak menyebrang jalan, Nita jadi tak fokus sehingga ia tak melihat sebuah motor yang melaju kencang ke arahnya.
“Nita, awas!” teriak seorang lelaki sambil menarik tubuh Nita. Nita dan lelaki itu sama-sama terhuyung. Untung saja mereka tidak terjatuh, karena lelaki itu menahan tubuh Nita dalam pelukannya. Jika mereka jatuh, kandungan Nita bisa berada dalam bahaya.
“Kamu gak apa-apa, Nita?”
“Bang Fauzan?”