THIRTEEN

1637 Kata
Bismillahirrahmanirrahiim Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad === Nita tertegun mendapati sosok lelaki tegap berkulit sawo matang, janggut tipis di rahang dan berbaju koko di depannya. Lelaki yang bertahun-tahun tak ia jumpai. Tampilannya kini sangat berbeda dengan ketika dulu terakhir jumpa. Kini lelaki itu terlihat lebih matang dan dewasa. “Bang, lo masih inget gak nih siapa?” Lelaki itu terlihat berpikir. “Ini Nita, Bang Fauzan. Nita teman SMP aku yang suka main ke rumah itu lho,” ucap Fani dengan wajah sumringah. “Ni ... Nita?” Tenggorokan Fauzan terasa seperti tercekat ketika menyebutkan nama perempuan di hadapannya itu. “B ... Bang Fauzan?” Nita sungguh tak menyangka jika hari ini ia bisa bertemu dengan lelaki itu setelah sekian tahun tak jumpa. Nita jadi gugup lalu ia menundukkan wajahnya karena merasa canggung dengan lelaki yang bernama lengkap Fauzan Ramadhan itu. “Nita, itu loh Bang Fauzan, Si Bang Pau, Bang Papau,” ucap Fani sambil menyenggol pelan lengan Nita lalu menaikturunkan alisnya menggoda Nita. Fani masih ingat dengan kartu As Nita yang masih dipegangnya hingga kini. “Eh, i ... iya.” Nita memberanikan diri mengangkat wajahnya sambil tersenyum tipis pada Fauzan. Kakak lelaki Fani yang bernama Fauzan itu memindai penampilan Nita dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ia tak menyangka bahwa perempuan yang ada di hadapannya adalah Nita, teman sang adik saat SMP dulu. Dulu keduanya berteman akrab. Sejenak, Fauzan mengagumi penampilan Nita yang cantik dan manis dibalut gamis dan jilbab. Tapi setelah itu, ia dengan cepat beristighfar meminta ampun pada Allah karena telah memandangi perempuan yang bukan mahramnya. “Astaghfirullah ...” ucap Fauzan dalam hati. Setelah itu, Fauzan menundukkan pandangannya atau mengalihkannya ke hal lain di sekitar mesjid. Ia takut jika terus-menerus memandangi Nita, ia akan terkena anak panah setan dan jatuh dalam kubangan dosa. Tak jarang Nita bermain ke rumah Fani dan bertemu dengan Fauzan yang saat itu sudah duduk di bangku SMA. Ketiganya pun kadang berkumpul bersama. Fani dan Nita sering meminta bantuan Fauzan ketika ada tugas sekolah yang sulit. Fauzan yang pintar dengan senang hati membantunya. Hal minus dari Fauzan adalah lelaki itu terkesan dingin dan cuek. Fauzan dulu adalah ketua ekskul Rohis di sekolahnya. Kharismanya sebagai ketua rohis, kepintaran dan sikap baiknya tak jarang bikin teman-teman akhwatnya melting atau baper. Ya, tapi karena mereka berada dalam organisasi yang bernama rohis, mereka harus bisa menjaga batasan interaksi antara lelaki dan perempuan sebagaimana yang Islam ajarkan. Dulu, Nita juga terbius dengan pesona Fauzan. Namun, karena sikap Fauzan yang dingin dan cuek, Nita hanya bisa memendam perasaannya. Tapi, Fani sang adik dengan cerdiknya bisa menebak perasaan yang Nita tutupi dengan rapi. Saat itu, Nita meminta Fani tutup mulut dan menjaga rahasianya, kartu As-nya. Ya, dulu Nita hanya bisa mengagumi Fauzan dalam diam. Hingga bertahun-tahun rasa itu terlupakan begitu saja. Kini, entah. Apakah pertemuan mereka setelah sekian tahun akan memantik percikan rasa itu kembali ke permukaan? Hanya Allah yang Maha Mengetahui. Nita dengan tangan gemetar mengulurkan tangan ke hadapan Fauzan. “Ap ... apa kabar, Bang Pau?” tanya Nita gugup. Bang Pau adalah nama pangggilan yang ia dan Fani sematkan untuk Fauzan. Agar lebih ringkas dan cepat, menurut mereka berdua. Fauzan tersenyum tipis lalu menangkupkan kedua tangan di dadanya sebagai penolakan halus berjabat tangan langsung dengan Nita yang bukan mahram. Wajah Nita merah padam karena malu. Ia langsung menarik tangannya lalu ikut menangkupkan di depan dadanya. Bodohnya ia lupa jika Fauzan adalah lelaki yang memegang teguh prinsip. Ia tak mau bersentuhan dengan perempuan yang bukan mahramnya. Nita merutuki kebodohannya dalam hati. Ia semakin tak punya wajah di hadapan Fauzan. “Eh, it ... itu, maaf, Bang. Nita lupa, maaf ya,” ucap Nita tidak enak sambil tersenyum kikuk. “Iya gak apa-apa,” ucap Fauzan maklum. “Lo sendirian, Nit?” tanya Fani. “Ah itu, nggak, gue sama ... “ Belum sempat Nita memberitahu orang yang menemaninya, terdengar suara Renata yang memanggilnya. Ia merasa Renata menyelamatkannya dari suasana canggung yang ia alami. Nita mengucap syukur dalam hati. “Mbak Nita!” panggil Renata dari jarak beberapa meter. Sontak ketiganya langsung menoleh. Fani juga mengenal Renata karena dulu pernah beberapa kali bermain ke panti asuhan. Mereka mengobrol beberapa saat setelah Fani dan Nita bertukar kontak. === Bu Dina sesekali menatap Nita yang sedang asyik merajut syal di dekatnya. Perempuan paruh baya itu bersama Renata sedang membahas beberapa laporan di toko kainnya. Mereka sedang berada di ruang tengah panti yang sepi karena anak-anak sudah tidur di kamarnya masing-masing. “Bu, tahu gak?” ucap Renata tetiba. Perempuan itu mengaliihkan pandangan dari laptopnya lalu membuka kacamata yang membingkai wajahnya. “Tahu apaan? Tahu bulet?” canda Bu Dina yang masih fokus pada laptopnya sedangkan Nita hanya melirik ibu dan adiknya sekilas lalu kembali merajut dengan benang rajut berwarna hijau. Renata memutar bola matanya jengah. “Yaelah, Ibu. Kemarin pas aku sama Mbak Nita ikut kajian, kita ketemu sama temen lama Mbak Nita loh, Bu. Fani, ibu masih ingat Mbak Fani, kan?” tanya Renata. “Fani?” Bu Dina memicingkan matanya lalu mencoba untuk mengingat-ingat. “Itu loh, Bu. Mbak Fani adiknya Bang Fauzan, Bang Pau yang ditaksir sama Mbak Nita dulu,” ucap Renata akhirnya. Tepat saat Renata menyebut nama Fauzan, fokuss Nita langsung teralih. Nita langsung memberikan tatapan membunuh pada adiknya itu sedangkan Renata yang ditatap malah terkesan santai dan cuek bebek tak peduli dengan Nita. “Oh, Fani itu ya,” ucap Bu Dina saat sudah mengingatnya. “Iya, Bu. Eh, sekarang Bang Fauzan ganteng banget loh, Bu. Makin kelihatan mapan dan dewasa loh.” “Oh ya? Masa? Bener, Nita?” tanya Bu Dina sambil menatap Nita. “Iya, Bu,” jawab Nita dengan lesu. Selain Fani, yang tahu jika ia menyukai Fauzan adalah ibu dan adiknya. Ia menyesali kenapa saat itu ia menceritakan perihal perasaannya pada ibu dan adiknya. Harusnya, ia bisa menyimpannya dengan rapat sendiri. “Fauzan yang dulu kamu taksir itu, kan? Yang ketua rohis itu?” tanya Bu Dina meyakinkan. “Iya, Ibu. Sekarang dia udah jadi dokter loh, Bu. Wah keren deh pokoknya.” Bukan Nita yang menjawab melainkan Renata. “Rena apaan sih, biasa aja lah,” ucap Nita sedikit kesal karena melihat Renata yang membangga-banggakan Fauzan seperti kakaknya sendiri. “Mbak, seandainya kalau Bang Fauzan juga suka sama Mbak Nita gimana?” tanya Renata tetiba. Bu Dina dan Renata menatap Nita menunggu jawaban, sedang yang ditatap bingung harus menjawab apa. Karena menurut Nita, tidak mungkin lelaki seperti Fauzan menyukai dirinya yang jauh dari kriteria lelaki shalih seperti Fauzan. Nita yang ditatap seperti itu menjadi gugup. Jika saja keadaannya normal, ia pasti akan berteriak kegirangan sambil melompat-lompat. Tapi, sekarang keadaannya berbeda. “Ah, ngawur kamu, Re. Mana mungkin dia suka sama Mbak. Gak mungkin lah. Kalau pun ia, mbak gak akan nerima dia. Keadaan Mbak udah kayak gini, Ren. Hamil di luar nikah. Mbak gak pantas ngedampingin dia. Masih banyak perempuan yang lebih baik dari Mbak yang pantas dampingin dia.” Ya, Nita merasa tak pantas untuk mendampingi Fauzan jika memang benar lelaki itu menyukainya. Ah, apa benar lelaki itu menyukainya? Huh, jangan geer dulu, Nita, batinnya mengingatkan. “Ya, kali aja dia mau menerima keadaan, Mbak. Bukan gak mungkin kan ya, Bu?” tanya Renata pada Bu Nita. Bu Dina menganggukkan kepalanya mengiyakan pertanyaan Renata. “Duh, nggak deh, Ren. Mbak gak mau mikirin hal kayak gitu dulu. Mbak mau fokus sama anak mbak dulu aja.” Bu Dina menatap Nita dengan iba. “Tapi, suatu hari nanti, kalau ada lelaki yang baik yang shalih dan berniat serius sama kamu, ibu mohon jangan ditolak ya, Nit. Ibu mau kamu coba untuk belajar buka hati kamu lagi,” ucap Bu Dina sambil mengelus bahu Nita dan menatapnya penuh harap. Bu Dina ingin ketika usianya semakin menua dan ajal semakin mendekat, putri-putri kesayangannya sudah bisa menemukan pasangan halalnya masing-masing sehingga ia bisa meninggalkan dunia ini dengan tenang tanpa khawatir. Nita melihat tatapan Bu Dina yang sarat dengan pengharapan. “Hmm, Nita usahakan, Bu. Tapi, Nita gak mau janji. Nita mau jalanin aja dulu kehidupan Nita yang seperti ini dulu.” === Sebuah mobil sedan hitam mewah terparkir beberapa meter dari panti asuhan Bu Dina. Sepasang suami istri paruh baya yang ada di dalamnya mengamati panti itu dengan seksama. “Pa, bener ini tempatnya? Orang kepercayaan papa gak salah kan?” tanya perempuan paruh baya yang duduk di kursi sebelah kemudi. “Apa bener Nita itu anaknya Bu Dina? Kok selama ini kita gak tahu ya, Pa?” “Iya, Ma. Menurut orang kepercayaan papa, benar itu tempatnya. Ya, Papa juga gak tahu, Ma. Beliau juga gak pernah nyinggung soal anaknya sama kita,” jawab sang suami. Keduanya saling melempar pandang, terlihat ragu dan tak lama lalu mengangguk. “Mudah-mudahan Bu Dina mau nerima lamaran kita ya, Pa?” “Ya, berdoa aja, Ma. Semoga beliau mau.” Lelaki dan perempuan paruh baya itu adalah papa dan mama Revan. mereka berdua sudah mengetahui identitas Nita melalui orang kepercayaannya. Pak Nugraha melajukan mobilnya, memasuki halaman panti asuhan. Usai memarkirkan mobilnya, ia bersama sang istri turun dan masuk ke dalam panti disambut oleh anak panti yang berusia remaja. Kebetulan saat itu Bu Dina sedang berada di panti. “Eh, Bu Wina, Pak Nugraha?” ucap Bu Dina terkejut. “Bu Dina,” ucap Bu Wina. Mereka bersalaman lalu Bu Dina mempersilakan pasangan suami istri itu untuk duduk. “Ada apa Pak, Bu? Apa ada masalah dengan bisnis supermarket yang kita jalankan?” tanya Bu Dina. Ya, mereka bertiga adalah rekan bisnis. Pak Nugraha, Bu Wina dan Bu Dina menjalankan usaha bersama-sama dengan beberapa teman lainnya. Makanya, saat mengetahui bahwa Nita, perempuan yang Revan hamili tinggal di panti asuhan yang dikelola Bu Dina, mereka sangat terkejut. “Hmm, begini Bu Dina. Maksud kedatangan kami ke sini bukan untuk membicarakan masalah bisnis,” ucap Pak Nugraha. Bu Dina merasa sedikit heran dan aneh. “Lalu? Kalian mau jadi donatur panti?” “Hmm, bukan juga, Bu. Maksud kedatangan kami ke sini adalah untuk melamar perempuan yang bernama Nita?” “Ap ... apa? Melamar Nita?” Pak Nugraha dan Bu Wina saling tatap lalu menganggukkan kepalanya. Bu Dina masih melemparkan tatapan penuh tanya pada pasangan suami istri di depannya. “Kami mohon maaf sebelumnya, Bu Dina. Kami ingin melamar Nita untuk anak kami, Revan.” “Hmm, bukan maksud menolak, Pak, Bu. Saya sangat menghargai niat baik bapak dan ibu, tapi anak saya Nita sedang tidak memungkinkan untuk menerima lamaran saat ini.” Bu Dina berusaha menolak dengan halus karena teringat dengan ucapan Nita padanya dan Renata sore itu. “Tapi, anak kami Revan harus bertanggungjawab pada Nita, Bu,” ucap Bu Wina. “Bertanggung jawab?” “Iya, sebab yang menghamili Nita adalah anak kami ... Revan.”  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN