Bismillahirrahmanirrahiim
Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad
===
Rahang Revan mengetat menahan amarah. Egonya sebagai lelaki terluka ketika niat baiknya untuk bertanggungjawab ditolak oleh Lisa. Revan berkacak pinggang sambil menatap Nita yang berdiri tenang sambil bersedekap. Perempuan yang sedang berdiri menatapnya kini memang terlihat berbeda dari perempuan yang beberapa waktu lalu datang ke vila dan mengemis pertanggungjawabannya. Dalam hati, Revan membenarkan dugaan Nita bahwa ia meminta Nita menikah dengannya karena orang tuanya dan Lisa.
Nita tertawa sinis melihat Revan yang membisu. “Kenapa diam? Oh atau jangan-jangan Anda udah ditolak Lisa ya? Makanya Anda mau menikah dengan saya? Iya?” tanya Nita dengan santai. Meski diselimuti emosi, ia berusaha tenang untuk kesehatan dan kebaikan janin yang ada dikandungannya.
Nita jadi teringat percakapannya dengan Lisa tempo hari. Nita yakin Lisa pasti sudah menolak Revan sehingga lelaki itu berani datang menemuinya dan mau bertanggungjawab. Nita paham gigihnya Revan merebut hati Lisa kembali bahkan hingga lelaki itu resign dari pekerjaannya dan menyusul Lisa ke Bandung.
“Lisa gak mau kan balikan sama Anda? Betul? Makanya Anda rela bertanggungjawab setelah menolak saya mentah—mentah kemarin?”
Renata yang sedang menguping pembicaraan di balik dinding apartemen merasa bingung dengan nama Lisa.
Apa hubungannya Nita, Revan dengan perempuan yang bernama Lisa? batin Renata.
“Sebenarnya kamu kenapa, Nita? Apa kamu gak bisa ngehargain niat baik saya yang sudah mau datang ke sini bertanggunggjawab dan menikahi kamu?”
Nita tersenyum sinis dan berjalan menuju pintu kaca geser yang menuju ke balkon. Nita memunggungi Revan sambil menatap pemandangan Kota Jakarta.
“Telat, Tuan Revan. Jika saja dulu waktu saya datang ke vila Anda dan Anda setuju untuk bertanggungjawab, maka saya akan dengan senang hati mengiyakan dan mau menikah dengan Anda hanya demi anak yang saya kandung. Saya tak peduli dengan perasaan Anda pada saya, entah cinta atau tidak.”
Nita mendengus pelan sambil mengusap debu yang ada di pintu kaca geser apartemennya. “Sekarang, saya sudah tidak berniat untuk menikah dengan Anda, Tuan Revan.”
Revan balik tertawa sinis, menertawakan Nita yang menurutnya angkuh dan sombong karena menolak pertanggungjawabannya.
“Kamu yakin bisa hidup sebagai single parent tanpa menikah? Kamu gak takut gunjingan orang dii luar sana tentang perempuan yang hamil di luar nikah? Setidaknya pikirkan anak yang kamu kandung. Ia bisa lahir dalam status pernikahan yang jelas, meski sebenarnya aku juga gak yakin kalau itu anakku.”
Nita menatap bayangan Revan yang tertangkap samar oleh pintu kaca di depannya. Ia mengepalkan tangannya erat menahan rasa kesal atas ucapan Revan. Meski sudah berusaha untuk tegar dan kuat layaknya baja, nyatanya hatinya masih terasa remuk ketika Revan menilainya rendah dan menganggap anak yang dikandungnya ini bukan anaknya.
Nita berbalik kembali menghadap Revan. “Ya sudah. Jelas, kan? Kalau kamu masih ragu ini anak Anda, untuk apa Anda repot menikahi saya? Kejar saja perempuan yang Anda cintai sampai dapat!”
“Di masa lalu, saya sudah salah telah menyakiti Lisa dengan berhubungan dengan Anda di belakangnya. Di masa lalu juga, saya telah salah karena termakan bujuk rayu dan tipu muslihat Anda, Tuan Revan yang terhormat. Tapi, untuk ke depannya, saya tidak akan salah langkah lagi dalam menentukan hidup saya dan anak saya. Saya juga tidak mau menikah dengan orang yang salah sehingga anak saya mempunyai ayah yang salah!”
Sepasang anak Adam yang dulu pernah menjalin tali kasih kini berubah saling memancarkan aura kebencian. Hal itu terlihat dari sorot mata keduanya.
“Jadi, apabila Anda tidak ada kepentingan lain, silakan Anda pergi dari sini, Tuan Revan!” ucap Nita tegas sambil menunjuk pintu ke luar yang terbuka.
“Ck, sombong sekali kamu, Nita. Aku menyesal pernah menjadikan kamu sebagai tempat pelarianku dari Lisa dan ... “ Revan berjalan mendekati Nita sehingga wajahnya tepat berada di depan wajah Nita bahkan hidung mereka hampir bersentuhan, “ ... jangan menyesal karena menolak ajakanku untuk menikah!”
Revan langsung meninggalkan Nita yang diam termangu di tempatnya. Revan ke luar dari apartemen Nita dengan perasaan kesal luar biasa hingga ia tak menghiraukan Renata yang ada di luar.
Setelah Revan pergi dari apartemennya, tubuh Nita meluruh. Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya jatuh juga. Nita menangis sambil terduduk di lantai apartemennya. Ternyata, dirinya belum bisa menjadi perempuan yang benar-benar kuat dan tangguh menghadapi Revan. Renata yang mendengar suara isak tangis kakaknya langsung menghampiri dan memeluknya untuk menenangkan.
===
“Jadi, lelaki tadi itu ayah dari dedek bayi yang Mbak kandung?” tanya Renata pada Nita. Kini, keduanya masih berada di apartemen, duduk bersisian di atas lantai tanpa alas.
“Maaf ya, Mbak. Tadi aku nguping pembicaraan Mbak sama lelaki itu. Terus kenapa Mbak nolak pas dia ngajakin nikah tadi?”
“Mbak udah capek direndahkan sama dia, Ren. Dulu, Mbak udah ngemis pertanggungjawaban dia, tapi dia nolak Mbak. Dari situ, Mbak bertekad akan hidup berdua aja sama anak mbak nanti tanpa dia. Mbak yakin, mbak sanggup ngehadapin ini semua.”
“Lalu, maaf nih, Mbak. Lisa itu siapa, Mbak? Apa hubungannya dengan Mbak dan lelaki tadi?” sebenarnya, Renata sudah mendengarkan semuanya tadi. Tapi, ia ingin kejelasan langsung dari Nita.
Nita menatap Renata yang duduk di sampingnya dengan wajah ingin tahu. Sebenarnya, Nita enggan memberitahu tentang Lisa karena itu sama saja dengan membongkar aibnya sendiri sebagai perempuan selingkuhan Revan. Tapi, sepertinya rahasia yang berusaha ia tutupi harus terkuak hari ini. Ia tak bisa menyimpan bangkai terlalu lama karena bau busuknya lama-kelamaan akan menguar dan tercium sekitar.
Nita menceritakan semuanya pada Rena. Tentang Lisa, Revan dan hubungan yang terjadi antara mereka bertiga.
“Astaghfiirullah ... jadi ...” Renata menutup mulutnya karena tak menyangka jika Nita melakukan hal yang nekad.
“Iya, Ren. Mbak memang selingkuh dengan Revan,” ucap Nita dengan wajah menyesal. “Mbak memang perempuan yang bodoh kan, Ren?”
Renata sangat menyayangkan nasib hidup Nita. Ia sama sekali tak menyangka jika kakaknya itu bermain serong dengan pacar orang lain. Tadinya, Rena kira Revan dan Nita menjalin kasih sebagai sepasang kekasih pacaran pada umumnya, bukan sebagai selingkuhan.
“Mungkin sekarang waktunya Mbak menerima karma karena sudah menyakiti perempuan sebaik Lisa.”
Renata mengakui bahwa Nita memang salah. Sangat salah. Tapi, sebagai adik ia tak tega melihat kesedihan yang dialami Nita. Renata merangkul bahu Nita dengan sayang.
“Sudah, Mbak. Masa lalu bair aja berlalu. Biar ini semua jadi pelajaran buat Mbak, ya?”
Nita menganggukka kepalanya pelan. “Iya, Ren. Tapi, Mbak mohon satu hal sama kamu.”
“Apa?”
“Tolong jangan ceritain hal ini sama ibu, ya? Mba mohon sama kamu. Mbak nggak mau bikin ibu tambah kecewa sama Mbak,” pinta Nita dengan wajah memelas.
“Iya, Mbak. Aku janji gak cerita apa pun sama ibu soal ini.”
“Makasih banyak, Ren. Kamu memang adik yang bisa diandalkan.”
===
Sudah sekitar satu bulan Nita tinggal kembali di panti asuhan bersama Bu Dina dan Renata. Bu Dina tidak pernah lagi menyinggung soal lelaki yang menghamili Nita dan Renata juga memenuhi janjinya untuk tidak menceritakan soal Revan pada Bu Dina. Rena tidak mau ibunya tambah kecewa pada Nita dan hubungan keduanya merenggang. Biarlah semuanya aman dan tenteram seperti ini.
Apartemen Nita sudah terjual. Uang tabungannya dan uang hasil penjualan apartemen ia simpan untuk keperluan dan biaya melahirkan nanti. Sebagai seorang single parent yang sudah tidak bekerja, ia harus pintar mengatur pengeluaran. Nita juga bersyukur Revan tidak mengganggunya lagi usai pertemuan terakhir mereka di apertemen waktu itu.
Wanita karier yang sudah terbiasa sibuk di kantor dengan setumpuk pekerjaan membuat Nita jenuh ketika berada di panti dan tidak melakukan apa pun. Pekerjaan Nita selama di panti hanya membantu mengurus adik-adiknya dan terkadang juga membantu menyiapkan makanan. Lama kelamaan hal itu memberi rasa jenuh pada Nita.
“Mbak gak mau bantuin ngelola usaha ibu aja?” tanya Rena di suatu sore.
“Iya, betul Nita. Kamu kalau bosan di panti ini gak ngapa-ngapain, lebih baik bantu usaha ibu aja kayak Rena. Lumayan, kan?” timpal Bu Dina.
Mereka bertiga sedang memasak menyiapkan makan malam untuk anak-anak panti dibantu juga dengan beberapa anak panti yang sudah remaja.
“Hmm, kalau Nita buka usaha sendiri, boleh, Bu?”
“Memang kamu mau usaha apa? Kamu kan orang kantoran, belum terbiasa sama dunia usaha,” tanya Bu Dina.
“Ya belum tahu sih, Bu. Nita juga masih mikir. Nita kan juga gak mau bergantung sama ibu terus. Nita harus mikirin biaya untuk anak Nita nantinya. Mumpung Nita masih punya uang tabungan, Nita mau putar uangnya jadi modal usaha aja.”
“Ya sudah, terserah kamu. Minta bantuan ibu atau Renata kalau kamu ada kesulitan ya?”
“Oke, makasih, Bu.”
===
“Gimana? Mana perempuan yang akan kamu nikahi, Van? Kapan kami harus ke rumahnya?” tanya Pak Nugraha yang sedang membaca majalah bisnis di meja makan. Mereka berempat sedang sarapan pagi.
“Iya, udah hampir sebulan ini, Van. Kamu beneran mau gak kami anggap lagi sebagai anak di rumah ini?” timpal Bu Wina.
“Ck, udahlah, Ma, Pa. Perempuan itu gak mau nikah sama Revan. Revan udah bujukin kok,” ucap Revan santai tanpa beban.
Pak Nugraha menutup majalahnya lalu saling melempar pandang dengan sang istri. Tadinya mereka menganggap sang putra berniat serius mempertanggungjawabkan perbuatannya, tapi sepertinya dugaan mereka salah. Entah apa yang terjadi dengan putra mereka.
“Terus kamu mau jadi lelaki pengecut yang lari dari tanggung jawab?!”
“Ya habis gimana, Pa? Orang dianya sendiri yang gak mau?”
Pak Nugraha membuka kacamata bacanya lalu memijit pelipisnya karena kepalanya terasa pening akibat ulah Revan. seingatnya, ia selalu mendidik putranya dengan hal-hal yang baik. Tapi, kenapa sekarang putranya tumbuh menjadi lelaki dengan akhlak yang mengecewakan.
“Kalau kamu gak bisa, biar mama dan papa yang datang ke rumahnya.”
“Apa?!”
“Iya, biar kami yang cari tahu sendiri dan lamar langsung perempuan yang bernama Nita buat kamu!”