"Lagi bikin apa Om?" tanya Abraar pada Bekti yang sedang sibuk mengutak-atik laptopnya, laki laki itu begitu serius di ruang tengah sampai sampai tidak mendengar salam yang Abraar ucapkan.
"Hay, kamu Abraar, kamu udah lama di situ?" tanya Bekti pada pemuda yang berdiri di depan meja tempatnya mengerjakan tugas,
"Belum sih, tapi Om serius banget keliatannya sampe nggak tau aku dateng," jawab Abraar sambil tertawa kecil.
"Ya emang begitu Om kamu kalau udah kerja, biar pun di luar ada orang teriak teriak maling juga nggak bakalan denger," sahut Ela yang baru masuk dari tamu tengah setelah tadi membukakan pintu untuk Abraar, Bekti hanya tertawa kecil.
"Ini loh, Braar, Om lagi ngerjain projek penting. Om lagi desain logo baru buat salah satu BUMN, udah revisi dua kali tapi mereka masih kurang sreg," jawab Bekti tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputernya.
"Kali ini mereka pasti bakalan langsung suka, Om percaya deh sama aku," kata Abraar dengan penuh keyakinan.
"Kayak peramal aja kamu, padahal kamu sendiri belum liat hasil desain Om Bekti," kata Ela sambil tertawa kecil, wanita itu lalu berjalan ke dapur untuk membuatkan suaminya secangkir kopi.
"Aku yakin Tante, karena secara spikologis manusia pasti akan berusaha mengeluarkan versi terbaiknya kalau udah beberapa kali menerima penolakan. Aku juga yakin kalau Om Bekti pasti bisa menghasilkan karya yang luar biasa, buktinya jasanya udah banyak di pake brand brand besar," jawab Abraar yang masih berdiri di tempatnya, Bekti tersenyum lebar mendengarnya, "dan satu lagi, Om Bekti tuh pantang menyerahnya."
Laki laki yang sedang Abraar bicarakan itu tertawa renyah, "iya logo dan maskot Mall baru yang bulan depan baru mau di resmiin itu juga Om revisi sampe lima belas kali."
"Tuh, kan! tiga kali mah belum seberapa, ya, Om," sahut Abraar juga sambil tertawa kecil begitu juga dengan Ela yang mendengarkannya.
"Kamu mau kopi juga, Braar?" tanya Ela pada sang keponakan yang dari dulu begitu dekat dengannya, tidak terasa sang waktu sudah membawa bocah itu menjadi seorang pria dewasa sekarang.
"Enggak usah Tante, aku ada perlu sama Nasya, aku ke atas dulu ya," kata Abraar, Ela hanya mengangguk setuju sedangkan Bekti sudah kembali fokus pada layar laptopnya.
Abraar menaiki anak tangga menuju lantai dua rumah Om dan tantenya itu untuk menemui Nasya, di atas sana kamar tidur Nasya dan sang adik berada.
Pintu kamarnya tertutup tapi cahaya lampu yang terlihat dari lubang udara yang berada di atasnya membuat Abraar tahu kalau gadis yang di carinya itu belum tidur.
"Sya, ini Mas. Kamu belum tidur kan?" kata Abraar sambil mengetuk pintu kamar gadis itu, tidak ada jawaban yang terdengar.
"Nasya, Mas punya sesuatu buat kamu, Mas tunggu di sini ya," kata Abraar lagi, pemuda itu yakin Nasya mendengar panggilannya pemuda itu lalu duduk di sofa yang ada di ruang tengah lantai dua di depan kamar Nasya dan sang adik yang berhadapan.
Tidak begitu lama pintu kamar Nasya terbuka, gadis manis yang sudah mengenakan setelah piyama berlengan dan celana pendek bermotif bunga bunga itu keluar, senyum manis Abraar menyambutnya.
"Ada apa, Mas? Aku lagi belajar," kata Nasya sambari berjalan mendekat, Abraar menepuk sofa kosong meminta Nasya duduk tepat di sebelahnya.
Nasya meraih bantal sofa terlebih dahulu untuk dia peluk sebelum duduk.
"Mas mau minta maaf karena tadi nggak bisa jemput kamu," kata Abraar dengan senyum manisnya, tentu saja senyum itu tidak mungkin membuat Nasya tidak ikut tersenyum.
"Enggak apa apa, kan Mas Abraar lagi ngerjain hal yang lebih penting daripada jemput aku," jawab Nasya sambil tersenyum manis, "aku sabar kok karena memang lebih banyak hal yang lebih penting daripada aku."
Nasya menatap wajah Abraar dengan senyum lebar meski kata terakhir yang dia ucapkan adalah kata kata sarkas untuk menyindir pemuda di sebelahnya.
"Kok kamu ngomongnya gitu, kamu penting kok buat Mas," sahut Abraar ringan, pemuda itu lalu merogoh saku celana pendek kimpul yang ada di paha sampingnya mengambil hadiah yang sudah Abraar siapkan untuk gadis itu.
"Nih, Mas punya sesuatu sebagai permintaan maaf karena tadi nggak bisa jemput kamu," kata Abraar sambil memberikan boneka imut amigurumi pada Nasya, gadis itu tersenyum sempringah melihatnya. Dalam sekejap mata boneka itu langsung berpindah tangan.
"Wah, bagus banget. lucu, imut," kata Nasya sambil menatap boneka di tangannya.
"Kayak kamu," jawab Abraar cepat, Nasya menatapnya sambil mengulum senyum.
"Masa aku di samain sama boneka!" sahut Nasya sambil terkekeh geli lalu kembali menatap boneka kecil buatan tangan itu.
"Tadi kamu pulang sama siapa?" tanya Abraar yang memang sedari rumah tadi sudah berencana untuk menasehati gadis itu.
"Sama temen," jawab Nasya ringan.
"Cowok? cie ... temen apa temen?" ledek Abraar mulai memancing agar Nasya bercerita.
"Temen, orang aku nggak deket sama dia, baru sekali di anterin. Tapi dia orangnya asik juga ternyata," jawab Nasya, Abraar tersenyum karena Nasya sudah mulai memakan kail pancingnya.
"Siapa namanya?" tanya Abraar penasaran apakah Nasya akan terbuka padanya seperti dulu atau tidak, dulu saat masih SMP dan awal awal SMA Nasya selalu terbuka dan menceritakan tentang pemuda yang dia suka, walaupun hanya sekedar naksir naksiran saja. Baru lah belakangan ini Abraar merasa Nasya sedikit tertutup padanya tidak pernah menceritakan tentang pemuda yang di taksirnya lagi.
"Namanya El, Elfatan," jawab Nasya, Abraar terdiam karena memang nama itu yang Abitha ceritakan tadi.
"Tunggu," kata Abraar berlagak sedang mengingat ingat sesuatu, Nasya hanya diam menunggu, "kayaknya Abitha pernah cerita tentang anak yang namanya El itu, dia anak yang katanya bandel itu? atau ada anak lain yang namanya Elfatan di sekolah kalian?"
Abraar sengaja melakukannya berpura pura tidak tahu memang Elfatan badung yang sedang mereka bicarakan agar Nasya tidak marah pada Abitha yang sudah mengadu padanya.
"Enggak, cuma ada satu Elfatan di sekolah," jawab Nasya yang juga dalam hatinya menyimpan rasa senang karena Abraar langsung mengetahui jika dirinya di antar pulang oleh El yang bandel itu. Tujuan Nasya tercapai. Mendapat perhatian Abraar.
"Em ... kamu yakin mau deket deket dia? Biasanya kalau badboy gitu ceweknya banyak loh," kata Abraar tidak langsung menghakimi Nasya untuk menjauhi El karena tidak ingin gadis itu berontak.
"Mas, aku cuma di anterin pulang, bukan langsung mau jadian sama dia," jawab Nasya gemas, Abraar tertawa geli mendengarnya.
"Ya kan ada pepatah, witing tresno jalaran Soko kulino, cinta tumbuh karena telah terbiasa bersama," kata Abraar sambil tertawa kecil, Nasya malah menatap wajah tampan pemuda itu dengan serius.
"Iya bener, pepatah itu emang bener," sahut Nasya lirih.
"Nah, tuh, kan kamu tau. Ntar kalau lama lama kamu jatuh cinta sama El karena kalian makin deket gimana? Kamu yakin bisa nahan cemburu karena El penggemarnya banyak?" tanya Abraar, Nasya hanya diam menahan senyum mirisnya.
"Pepatah itu emang bener Mas, tapi itu bukan tentang El. Itu tentang kamu, pohon cinta itu sudah tumbuh di hati aku karena kebersamaan kita."
"Heh, di tanyain malah ngalamun!" kata Abraar sambil menjentikkan jarinya di depan wajah Nasya melihat gadis itu melamun tanpa pemuda itu tahu kalau dirinyalah yang sedang gadis itu pikirkan.
"Enggak tau lah Mas, siapa juga yang bilang aku bakalan suka sama El, aku cuma bilang dia orangnya asik," jawab Nasya ringan.
"Iya, Mas tau, Mas juga nggak bisa bilang apa apa. Tapi Mas yakin kalau kamu tuh udah dewasa, udah paham mana yang baik dan mana yang enggak, kamu udah bisa jaga diri kamu sendiri, kamu harus selalu hati hati, ya," kata Abraar menasehati dengan ringan, tapi Nasya malah menggelengkan kepalanya.
"Aku nggak tau Mas, aku nggak bisa jaga diri aku pengennya di jagain!" sahut Nasya sewot karena yang Nasya harapkan adalah Abraar melarangnya dekat dekat dengan El dan lebih perhatian padanya bukan hanya sekedar nasehat ringan.
Abraar tertawa mendengarnya apalagi melihat wajah Nasya yang cemberut sebal sekarang.
"Emangnya kamu bayi, nanti aku bilang sama Om Bekti dan Tante Ela deh suruh mereka sewa bodyguard buat jagain kamu," jawab Abraar Sambil terkekeh.
"Ih ... bukan itu maksudnya!" kata Nasya gemas, gadis itu memukul Abraar dengan bantal sofa yang sedari tadi di peluknya dan itu semakin membuat Abraar tertawa geli.
"Oh, maksudnya kamu pengen di jagain pacar? ya udah kamu cari di sekolah biar bisa selalu jagain kamu, tapi jangan yang bandel kayak El. Atau nanti Mas bilang sama Abitha biar cariin kamu pacar yang baik, biar dia jadi mak comblang," kata Abraar serius, Nasya yang masih memukulnya dengan bantal sofa berhenti saat mendengar ucapan Abraar.
"Ah, Mas Abraar nyebelin! udah sana pulang aku mau tidur!" kata Nasya yang lalu bangun dari duduknya, gadis itu berjalan ke kamar dengan kaki yang dia jejak jejaknya dengan kesal. Abraar malah tertawa semakin geli melihat tingkah gadis itu.
Nasya memasuki kamar dan menutup pintunya dengan keras lalu menyandarkan punggungnya pada daun pintu itu sambil menutup mata, "Mas Abraar, kenapa sih kamu nggak peka banget!"
"Nasya, Mas pulang ya. Kamu tidur beneran loh jangan mikirin El yang bandel itu lebih baik mikirin cowok lain!"
Suara Abraar terdengar sampai ke dalam kamarnya membuat Nasya kembali menjejak jejakkan kakinya dengan kesal sambil menggerutu.
Di tempat lain seorang gadis juga sama, sedang menjejak jejakkan kakinya dengan kesal sambil menggerutu hanya saja bedanya di tangan gadis itu memegangi ponsel bukan boneka amigurumi.
"Kamu kenapa, sih, Sayang? hapenya rusak?" tanya Laura yang sedang menonton televisi di dalam rangkulan sang suami di ruang keluarga sementara sang putri mondar mandir tidak jauh dari mereka.
"Enggak, Mom, aku lagi sebel karena Kak Abraar enggak angkat telepon aku," jawab Bella sambil menggerutu.
"Tadi kamu bilang udah telepon dia," sahut Laura sambil menatap sang putri dengan kening mengerut heran.
"Iya, tapi sekarang kan aku mau tanya Kak Abraar udah bilang belum sama Mama Papa. hasilnya gimana, kapan Kak Abraar mau ke sini," jawab Bella sambil berusaha menghubungi Abraar lagi, Laura dan Banyu saling pandang mendengar jawaban yang Bella berikan.
"Ya ampun, Sayang, ngebet banget sih kamu. Jangan jangan kamu sebenernya jatuh cinta deh sama Abraar," kata Laura membuat sang suami berdeham padanya dan sang putri melotot padanya.
"Apaan sih Mommy ya nggak mungkinlah!" sahut Bella ringan.
"Ya abis, ngebet banget, Bella tuh Bang keliatannya," kata Laura pada sang suami yang menatapnya tajam.
"Ya biarin aja, Sayang. Kamu dulu malah lebih parah, masih SMA udah ngebet pengen Abang lamar," kata Banyu meledek sang istri.
"Abang ... ih, nggak usah ngeledekin terus deh!" protes Laura sambil menggelitik gemas pinggang sang suami, Banyu terkekeh geli sambil membalas aksi sang istri.
Bella menggelengkan kepala sambil tersenyum lalu naik ke kamarnya membiarkan sepasang suami istri itu bercengkrama penuh cinta.