"Pa," sapa Abraar pada sang ayah yang sedang duduk di teras rumahnya dengan di temani secangkir kopi dan sepiring bika Ambon yang sudah di potong potong, Meisya duduk di kursi yang ada di sebelah kursi yang laki laki itu duduki.
"Kata Mama kamu nyariin Papa," kata Samuel, Abraar langsung duduk di lantai meluruskan kakinya sambil menggunakan kedua tangannya untuk menopang tubuhnya yang condong ke belakang, persis seperti seseorang yang sedang kelelahan setelah berlari jauh.
"Iya, ada yang pengen aku omongin, minta ijin sih tepatnya," jawab Abraar serius kedua orang tuanya saling tatap seolah menerka apa yang akan putra mereka itu katakan.
Abraar merubah posisi duduknya kini dia duduk bersila di depan meja dengan mengambil sepotong bika Ambon lalu memakannya, Meisya dan Samuel yang ada di depannya sama sama menatap pemuda itu.
"Minta ijin buat apa?" tanya Meisya penasaran.
"Buat ke Jakarta," jawab Abraar sambil mengunyah kue tradisional khas Medan itu.
"Kamu mau ke Jakarta? ya udah tinggal berangkat aja, biasanya juga mondar mandir kan," jawab Samuel santai, laki laki itu juga mengambil sepotong bika Ambon lalu memakannya.
"Tapi aku mau di sana lama, Pa, makanya aku minta ijin dulu," sahut Abraar, kedua orang tuanya kembali saling pandang, kali ini mereka bingung dengan maksud putra mereka.
"Lama? kamu mau ngapain? kayak mau merantau aja," kata Meisya sambil menatap heran sang putra yang tanpa terasa sudah tumbuh dewasa.
"Mau kerja, jadi bodyguard, sopir pribadi sekaligus tutor belajarnya Bella," jawab Abraar sambil tertawa, Meisya tersenyum geli mendengarnya.
"Pasti Bella yang ngerengek sampe kamu mau," tebak Samuel sebelum laki laki itu menyeruput kopinya.
"Enggak, aku yang mau sendiri. Ini ide aku, tapi setelah aku bilang Bella malah dia yang lebih heboh," jawab Abraar pemuda itu mengambil cangkir berisi teh di hadapannya lalu menyeruputnya.
"Mama ini teh apa sih?" tanya Abraar setelah merasakan teh berasa sepet sedikit pahit itu, Meisya tertawa geli melihat ekspresi sang putra.
"Itu slimming tea," jawab Meisya di sela tawanya.
"Mama ntar otot otot aku pada kempes gimana minum itu," kata Abraar yang langsung mengambil kopi sang ayah lalu meminumnya.
"Makanya jangan main minum aja," jawab Meisya yang sudah berhenti tertawa.
"Papa tuh ngijinin kamu, Papa juga yakin kalau Mama kamu juga pasti setuju," kata Samuel menjawab keingintahuan Abraar apakah kedua orang tuanya mengijinkan dirinya untuk tinggal di rumah Banyu dan Laura.
"Iya, nggak ada alasan kami ngelarang, kami yakin di mana pun kamu berada kamu pasti bisa jaga diri dan jaga Bella juga," jawab Meisya, Abraar tersenyum karena sudah menduga kedua orang tuanya itu pasti akan dengan senang hati memberi ijin.
"Papa cuma pesen satu hal, Papa yakin banget kalau kamu bisa jaga Bella dari dunia luar yang kadang begitu berbahaya. Tapi kamu juga harus bisa jagain Bella dari diri kamu sendiri," kata Samuel sambil menatap serius wajah sang putra.
"Pa, aku nggak mungkin lah kayak gitu ke Bella," sahut Abraar cepat karena tahu apa yang ayahnya itu maksudkan mereka sudah sama sama menjadi laki laki dewasa sekarang.
"Tau nih, Papa, enggak Mungkin lah Abraar macem macem sama Bella walaupun kalau macem macem Mama malah seneng," kata Meisya sambil menahan senyumnya, sang putra langsung mendelik menatapnya sementara Samuel tersentuh geli.
"Mama," kata Abraar gemas pada sang ibu.
"Loh emang kenapa, kalian nggak ada larangan buat bersama kalau suatu saat nanti persahabatan kalian berubah jadi hubungan yang lebih serius Mama pasti jadi orang yang paling bahagia," sahut Meisya dengan wajah berbinar binar.
"Mama kamu bener, cuma maksud Papa tadi kalian harus memulai hubungan baru dengan cara yang baik dan kamu harus bisa menjaga nama baik keluarga, nama baik persahabatan kita semua dan nama baik kamu juga," kata Samuel dengan serius, sang istri mengangguk setuju.
"Hah ... nggak tau deh Mama sama Papa ngomongin apa, ngelantur!" ucap Abraar sebal, pemuda itu lalu bangun dari duduknya, sepotong bika Ambon kembali dia ambil sebelum memasuki rumah meninggalkan kedua orang tuanya yang sama sama menahan tawa.
"Di ajak ngobrol malah pergi, nggak sopan kamu!" sembur Samuel, Meisya hanya tertawa kecil.
Abraar ke dapur sebentar untuk minum sebelum ke kamarnya pemuda itu hanya tersenyum mengingat ledekan kedua orang tuanya, mereka seolah tidak pernah lelah menjodoh jodohkan dirinya dengan Bella. Bukan menolak tapi sama sekali Abraar belum memikirkan baginya sekarang Bella hanya lah Sabahat kecil yang harus dia jaga karena dia sayang.
Lantai dua rumah itu sudah sepi, mungkin Abitha sudah tidur atau mungkin sedang asik dengan hobinya. Belajar.
Abraar berlari kecil setelah menutup pintu kamarnya dari dalam sesaat setelah dia masuk karena mendengar ponsel yang dia tinggalkan di atas kasur berbunyi.
"Iya Bell," jawab Abraar santai begitu mengangkat telepon gadis cantik itu.
"Kak Abraar! dari mana aja sih aku nelpon ribuan kali. Kebiasaan banget deh selalu susah aku telepon!" sembur Bella karena pemuda itu kembali susah di hubungi.
"Iya, iya maaf, kakak tinggalin hape di kamar tadi abis makan kakak ke rumah Nasya," jawab Abraar tanpa tahu kalau gadis cantik di seberang telepon sana merengut kesal padanya.
"Ada apa lagi kamu ngebet banget telepon kakak begitu, hah?" tanya Abraar, pemuda itu mengulum senyum membayangkan kalau Bella pasti sedang cemberut kesal sekarang.
"Oh gitu, jadi nggak suka aku telepon terus," kata Bella sebal, Abraar malah terkekeh karenanya, "ya udah aku matiin nih!"
"Dih, ya udah matiin aja. Paling kamu yang rugi karena nggak dapet jawaban dari apa yang pengen kamu tau. Kamu pasti ngebet telepon Kakak karena pengen tau Papa ngasih ijin enggak kan?" tebak Abraar, pemuda itu lalu membaringkan tubuhnya di atas kasur sambil tetap menaruh ponsel di telinganya.
"Eh eh eh, iya nggak. Nggak aku matiin, aku pengen tau Papa ngijinin enggak?" tanya Bella begitu tidak sabar, Abraar benar kalau dia berulang kali berusaha menelpon Abraar karena ingin tahu tentang hal itu.
"Em ... gimana, ya," sahut Abraar untuk meledek Bella dan membuat gadis itu merasa begitu penasaran.
"Ih kak Abraar, kasih tau dong Kak Abraar pengen aku mati penasaran?" tanya Bella memaksa.
"Hust! jangan ngomong sembarangan! Jangan lagi lagi ngomong tentang kematian ya!" kata Abraar, d**a pemuda itu terasa sesak seketika seolah trauma masa lalu dirinya yang begitu terpukul karena berita kematian palsu Bella.
"Iya, iya maaf. Kak Abraar jangan marah ya, aku cuma spontan bercanda begitu," kata Bella lirih ia tahu kalau tidak ada seorang pun yang suka Bella menyebut tentang hal tidak menyenangkan itu.
"Iya, jangan di ulangin lagi, ya," sahut Abraar dengan lembut.
"Oke. tapi Kak Abraar bilang dulu boleh nggak ke sini," jawab Bella, Abraar kembali tersenyum karena Bella tidak lupa akan hal itu.
"Boleh," jawab Abraar masih dengan begitu lembut.
"Yyyeeee ...." Wajah Abraar mengernyit karena suara Bella tiba tiba melengking, pekikan gembira gadis itu begitu kencang membuat Abraar menggelengkan kepalanya sambil tersenyum geli.
"Kapan Kak Abraar ke sini?" tanya Bella kemudian, gadis itu merasa tidak sabar seolah olah sudah begitu lama tidak bertemu dengan Abraar.
"Minggu depan, tunggu urusan di kampus selesai," jawab Abraar apa adanya.
"Ish, lama banget!" protes Bella cepat, Abraar tersenyum lebar mendengarnya.
"Seminggu tuh nggak lama Bella, lagian kamu nggak takut apa kalau Kakak deket deket kamu terus kamu bakalan jomblo terus karena tambah nggak ada cowok yang mau deketin kamu," kata Abraar, pemuda itu memejamkan matanya karena sudah mulai merasa mengantuk.
"Enggak apa apa, selama ada Kak Abraar aku nggak masalah jomblo seumur hidup," sahut Bella cepat, Abraar tersenyum geli.
"Kalau ada Kakak tapi Kakak udah punya pacar gimana?" tanya Abraar pemuda itu ingin tahu jawaban absurd apa yang akan Bella berikan.
"Enggak apa apa, nanti aku ngintilin setiap kali Kak Abraar ngedate. Kalau Kak Abraar nikah aku bakalan ngikutin sampe ke kamar pengantin aku tungguin kak Abraar malam pertamaan!" sahut Bella dengan begitu serius seolah dia benar benar akan melakukan hal itu, Abraar terkekeh geli mendengarnya.
"Dasar geblek!" kata Abraar dan kini Bella yang tertawa geli mendengar ucapan pemuda itu padanya.
"Biarin, biarin geblek pokoknya aku ikut!" sahut Bella sambil tertawa, "pokoknya Kak Abraar buruan selesaiin urusan di kampus biar cepet bisa ke sini!"
"Iya cerewet, iya ...."