Satu persatu, semua karyawan yang bekerja di Franco Company keluar gedung. Jalan yang semula merenggang kini dipadati orang yang pulang kerja. Ada yang berjalan kaki mengarah ke trotoar dan berjalan menuju parkiran kendaraan.
Terlihat bahwa suasana kantor mulai sepi dan hanya ada dua securiti yang berjaga di depan kantor. Salah satu securiti masuk ke dalam gedung, mengecek keadaan sekitar. Telinga mendengar seseorang yang sedang berteriak dengan keras.
Pria itu kemudian berbalik arah, kembali ke tempat semula, “Kita pergi dari sini, kembali lagi satu jam.” Temannya pun mengangguk, lalu mereka pergi meninggalkan gedung tersebut.
Sementara itu di dalam ruangan, Axel dan Daniel masih betah berduan seperti sepasang kekasih.
“Bagaimana dengan rumor itu?” Axel tidak tenang jika belum ada konfirmasi dari Elina. Gadis itu harus membersihkan namanya.
“Aku tak akan menjawab sebelum kau melepaskanku.” Daniel terikat di kursi dengan wajah terengah-engah. Matanya melirik ke bulu angsa yang berada di atas meja.
“Baguslah... aku akan melanjutkan hukumanmu.” Axel menyeringai, lalu mengambil bulu angsa itu. Daniel pun menggelengkan kepala berulang kali, berharap pria yang ada dihadapannya mengurungkan niatnya.
“Katakan... aku memberimu kesempatan.” Senyum menyungging jelas tercetak di bibir seksinya. Daniel mengangguk dengan cepat, “Rumor di forum sudah dihentikan. Tapi, mulut karyawan tetap bicara.”
Axel meletakkan bulu itu di atas meja kembali. Ternyata perlu Elina untuk meluruskan semua rumor mengenai dirinya. Dan lagi, mengenai proposal itu. Axel yakin kalau semua itu akal-akalan orang tua itu.
“Aku tak akan mengurusi proposal yang tak masuk akal itu.” Axel melepas ikatan Daniel lalu berjalan menuju ke sofa.
“Kau gila! Apartemen itu sangat penting!” Daniel melempar tali yang melilit dirinya. Ia mngusap wajahnya dengan kasar, “Diskusikan dengan para orang tua itu. aku harap kau berpikir dingin.”
Axel duduk dengan kasar, “Kau berpikirlah panjang. Jangan terpaku dengan pasaran dan desain yang bagus. Dari awal, ini akal-akalan orang tua itu.”
Dahi Daniel berkerut, “Jadi, kita dipermainkan. Selama seminggu mengurusi pekerjaan yang tak ada.” Pria itu memukul tembok, “Sia-sia aku bekerja lembur denganmu. Padahal, aku menyelidiki lokasi itu dan berunding harganya.”
Axel menyilangkan kaki panjangnya, “Tanah itu miliknya. Aku sudah mencari tahu dua hari yang lalu. Sekarang, urusi gadis pembawa sial. Besok dia harus membuat pernyataan mengenai diriku.”
Daniel mengangguk dengan cepat. Sedangkan Axel bangkit dari sofa, “Kita pulang sekarang. Aku yakin kantor sudah sepi.” Mereka berdua pun keluar bersama dari ruangan tersebut.
Tanpa di duga, kedua pria itu berpapasan dengan Elina yang tengah keluar gudang dengan wajah yang sangat kotor.
“Dekil,” gumam Axel di dengar oleh Elina. Gadis itu pun berhenti, “Kau yang dekil!” teriaknya dengan lantang. Langkah kedua pria itu ikut berhenti, lalu menoleh secara bersamaan.
“Apa kau bilang?” Axel sudah mulai menunjukkan taringnya, seperti singa yang hendak mengamuk, “Jaga batasanmu, gadis dekil!”
Elina menjatuhkan ember ke lantai, lalu mendekat ke arah mereka. “Daniel... sepertinya bosmu harus di bawa ke rumah sakit.”
Dahi Daniel berkerut, lalu tersenyum menyungging. Ia tak menyangka kalau Elina masih berani melawan Axel. Padahal, hidup dan mati pekerjaannya ada di tangan pria itu.
“Kau!” tunjuk Axel dengan wajah menggelap. Elina berjalan untuk menepis jarak di antara mereka, “Daniel...! Dia mungkin butuh dokter.” Setiap perkataan gadis itu penuh penekanan membuat Axel tambah murka.
“Duam!” Axel tak dapat menahan lagi amarahnya. Daniel pun angkat bicara, “Sudahlah... jangan menguras emosimu karena dia.” Pria itu menepuk bahu temannya dengan perlahan, agar emosinya mereda.
“Aku akan buat perhitungan denganmu! Tunggu saja!” Axel berbalik arah dengan kasar sambil membenahi jasnya. Elina yang melihat itu terkekeh geli.
“Huft... kau tak takut di pecat lagi. Jangan melawannya, Elina. dia bosmu.” Daniel mencoba memperingati gadis itu, supaya bersikap hormat.
“Daniel... aku akan menghargai orang yang menghargaiku. Jika bosmu tak menghargaiku, maka aku tak menghargainya. Kau tahu kan... istilah mata harus di bayar dengan mata.” Setelah mengatakan perkataan itu, Elina berbalik arah meninggalkan Daniel yang masih mematung di tempat.
“Kenapa ada gadis yang keras kepala seperti Elina? Dia sungguh naif, tak mengenal dunia luar. Entah apa yang akan dilakukan iblis itu nanti. Semoga, kau bisa melewatinya Elina. Aku hanya bisa berharap.” Meskipun Daniel sedikit tak menyukai Elina. Namun, i tak tega juga bila gadis itu harus berurusan dengan iblis seperti Axel.
Jika Axel sudah serius, maka Elina pasti tak akan bisa bergerak sedikitpun ditempat. Kecuali, tunduk di bawah kaki pria itu.
Daniel menghela nafas dengan panjang, mengikuti arah Axel berjalan. Ia melihat pria itu bersandar di di samping lift, “Kenapa kau tak menunggu di bawah?” tanyanya penasaran.
Axel tersenyum lalu memasukkan ponselnya, “Gadis pembawa sial itu berjalan ke arah mana?”
Daniel memicingkan mata, “Apa yang kau lakukan? Jangan sembarangan.” Pria itu sangat khawatir terjadi sesuatu dengan gadis itu.
“Ini seperti bukan dirimu, Daniel. Kenapa kau berpihak padanya?” Axel memencet tombol lift, “Lima menit lagi, lampu akan mati.”
Daniel langsung melotot mendengar perkataan Axel, “Kau gila! Dia seorang gadis! Bagaimana jika terjadi sesuatu padanya?” Pria itu terlihat cemas dan khawatir jadi satu.
Axel menarik jas Daniel masuk ke dalam lift, “diamlah... hanya dua puluh menit. Setelah itu, akan menyala,” ucapnya santai.
Daniel menepis kasar tangan Axel, “Jangan kekanak-kanakan. Dia hanya seorang gadis. Kau keterlaluan, Axel.” Semakin pria itu membela Elina, maka Axel akan menambah hukuman bagi gadis itu.
Axel pun menghubungi seseorang, “Matikan listrik menjadi satu jam.” Bola mata Daniel langsung melotot, “Axel!” teriaknya dengan keras.
Axel hanya diam membisu lalu keluar lift dan berjalan santai diikuti Daniel yang terus memohon. Tak lama kemudian, lampu lobi mati.
“Sepertinya, sudah dimulai. Kita ke parkiran sekarang.” Axel pergi meninggalkan Daniel yang sedang berdiri di depan lift.
“Kenapa masih di situ? Apakah kau juga ingin mengalami hal yang sama?” Axel terus berjalan tanpa berhenti meskipun bicara dengan Daniel.
Beralih ke Elina yang sedang berada di runag ganti. Gadis itu tersentak kaget saat lampu yang ada di dalam ruangan tiba-tiba mati. Ia pun langsung memasukkan semua barang-barangnya ke dalam tas.
“Masih senja, aku harus cepat keluar dari tempat ini.” Elina bergegas keluar ruangan. Ia berdiri di depan pintu, menengok ke kanan dan ke kiri. “Kenapa koridor terlihat menyeramkan?” gumamnya dengan nada sedikit bergetar. Keringat dingin dan juga perasaan takut hinggap merayapi tubuhnya.
“Tidak... ini belum malam sepenuhnya. Aku harus keluar dari tempat ini.” Elina berjalan cepat dengan perasaan cemas, menggenggam erat tas selempangnya. Ia terus berjalan lurus ke depan, tapi tak mendapati sebuah pintu.
Padahal, Elina yakin tak jauh dari ruangan ganti ada pi tu menuju tangga darurat. “Kenapa semakin gelap. Aku takut....” Tubuh gadis itu membeku di tempat. Ia sudah tak kuat lagi berjalan. Semua yang ada di depan matanya terlihat gelap semua.
“Aku takut,” kata Elina sambil meneteskan air mata, meringkuk dengan tubuh bergetar. Suara-suara aneh pun muncul di telinga gadis itu.
“Sejauh kau pergi, aku akan menemukanmu. Hahhahahahahah.” Suara sama terus saja terngiang di telinga Elina. Gadis itu sampai menutup kedua telinganya dengan erat.
“Pergi...!” teriak Elina dengan wajah pusat pasi. Kenapa hal itu terulang kembali? Kenangan yang sudah dilupakannya selalu datang saat kegelapan muncul di depan mata. Mata Elina sudah tak sanggup lagi untuk bertahan. Ia hanya bisa bergumam minta tolong sampai akhirnya matanya tertutup sempurna.
Elina pingsan di tengah koridor, tak jauh dari ruang ganti staf cleaning service. Wajahnya yang pucat pasi dengan keringat dingin yang bercucuran terus bercucuran membasahi wajahnya.
BERSAMBUNG