Axel tampak tenang berada di dalam mobil mewah mliknya. Sesekali, Pria itu melihat alroji mahal yang terpasang di pergelangan. Mata pria itu beralih pada Daniel yang tengah mondar mandir tidak jelas di depan mobil.
Axel menghela nafas dengan sangat panjang, kemudian turun menghampiri Daniel yang terlihat sangat cemas. Pria itu heran, hubungan apa yang terjalin diantara mereka, sampai pria yang berstatus temannya memiliki rasa khawatir tinggi terhadap Elina.
“Sampai kapan kau akan begini? Aku pusing melihatmu mondar mandir tidak jelas.” Axel melipat kedua tangga sebatas d**a. Ia kemudian berdecih, “Sudah sepuluh menit sejak lampu menyala, mungkin sudah pulang.”
Daniel menghentikan langkah kakinya, “Pulang...! apakah kau tak melihat? Sepedanya ada di sana? Dia belum turun.” Axel menatap sepeda itu dengan lekat, lalu bergantian menatap pria yang masih terlihat jelas raut kecemasan di wajahnya.
“Kau sampai hafal dengan sepedanya?” Axel tak habis pikir, Daniel begitu peduli denga Elina.
“Aku hanya menebak. Lagi pula, yang membawa sepeda butut hanya dia.” Daniel terus menatap pintu masuk ke dalam gedung. Pria itu hendak melangkahkan kaki, tapi di cegah oleh Axel.
“Mau kemana?” tanya Axel dengan pandangan tajam. Daniel mendengus kesal, “Mencarinya! Kalau terjadi apa-apa dengan dia, bagaimana?” semakin Daniel peduli dengan Elina, maka semakin keras usaha Axel untuk membuat pencegahan.
“Jika kau mencarinya, jangan harap aku menganggapmu teman.” Axel mengeluarkan ancaman agar Daniel mau menuruti perintahnya.
“Jangan egois, Axel! Jika terjadi sesuatu dengan dia, bagaimana?” Daniel tak ingin Jenifer nantinya berceloteh ria mendengar kabar buruk tentang Elina. Ia tak sanggup mendengar mulut mercon gadis itu. Mau tak mau, Axel mengeluarkan ponselnya melihat kamera pengawas.
Bola mata Axel langsung melotot sempurna. Tanpa pikir panjang lagi, pria itu lari langsung masuk ke dalam gedung dan diikuti Daniel yang terus saja memanggil namanya. Keduanya terkejut melihat Elina tergeletak tak berdaya di dekat tangga darurat.
Kaki Axel sudah tak bisa bergerak lagi melihat Elina tak ada pergerakan sama sekali. Ia hanya diam mematung seperti mayat hidup.
Daniel maju mendekati Elina, “Kita bawa ke rumah sakit sekarang!” pria itu langsung menggendongnya tanpa memperhatikan raut wajah Axel yang sudah pucat pasi.
“Axel!” teriak Daniel dengan keras. Pria yang dipanggil pun tersentak kagat, lalu berjalan perlahan mengikuti Daniel.
Tangan Axel bergetar hebat, diiringi dengan tetesan keringat sebiji jagung di dahi. Hampir saja dia membunuh orang dengan cara tidak langsung.
“Kenapa lama sekali? Simpan rasa penyesalanmu...! Masuk mobil sekarang!” Daniel berteriak dengan keras supaya Axel cepat melangkahkan kakinya.
Diantara manusia yang kejam, Axel adalah salah satunya. Meskipun dia pernah menyiksa orang, melihat Elina lemah tak berdaya membuat ketakutan terbesar dalam hidupnya.
Kehadiran Elina, jelas membawa pengaruh, tapi Axel tak sadar jika gadis itu sudah masuk perlahan ke dalam hatinya. Pepatah bilang, cinta datang tanpa diundang, pergi pun juga tak diantar.
Baik kaya maupun miskin, para manusia yang merasakan jatuh cinta tak mengenal kasta. Uang bisa saja berkuasa, tapi cinta tak bisa di beli dengan uang. Saat ini, Axel masih belum mengerti tentang rasa yang membuat orang terlena.
Sampai di rumah sakit, Daniel lansung turun mobil, menggedong Elina dengan tergesa-gesa dan diikuti Axel yang masih diam seribu bahasa. Para perawat dan orang-orang yang berada di dalam rumah sakit langsung mentap ke arah mereka. Seorang dokter bergegas memberikan pertolongan pertamaaa kepada gadis itu.
Helaan panjang terdengar jelas dari mulut sang dokter. Dia menatap kedua pria itu satu persatu, “Apakah gadis itu kekasih salah satu diantara kalian?” Daniel langsung mundur selangkah, menggelengkan kepala sambil menatap sang dokter. Di melirik Axel yang melihat Elina terbaring dengan wajah pucatnya.
“Jadi, Anda kekasihnya?” tunjuk sang dokter kepada Axel. Pria itu masih tak bergemimg di tempat. “Buka masker Anda?” titahnya dengan penuh penekanan. Tangan sang dokter hendak meraih masker yang melekat di wajah Axel. Namun, pria itu mundur selangkah.
“Aku tak suka kau menyentuhku.” Meskipun ia phobia sentuhan wanita, dirinya tak mau disentuh oleh pria asing.
Daniel menepuk jidatnya. Sepertinya, Axel lupa kalau dia berada di rumah ssakit umum. Biasanya, pria itu tak mau sedikit pun berada di depan publik. Mungkinkah Elina membawa dampak besar bagi pria itu?
“Kau lupa? Kita di rumah sakit umum. Aku seharusnya membawanya ke rumah Albert.” Sesal Daniel sambil berbisik dengan rasa bersalah. Axel langsung menoleh, “Kosongkan rumah sakit ini!” teriaknya dengan keras membuat sang dokter terkejut.
“Bagaimana bisa rumah sakit ini dikosongkan?” Dokter itu sedikit murka sehingga berteriak dengan nada sedikit tinggi. Axel melepas maskernya dengan kasar, “Lihat wajahku baik-baik. Aku keturunan Franco. Akan membeli rumah sakit ini.”
Daniel langsung menengahi keduanya, “Aku akan mengurus semuanua. Tenanglah... tunggu Elina.” Pria itu langsung menyeret dokter ke luar ruangan.
“Dia syok karena sesuatu! Jangan menganggetkanya, Tuan!” teriak sang dokter sebelum keluar ruangan itu.
Axel menghela nafas panjang, kemudian berdecih. Satu ruangan dengan gadis pembawa sial membuat wajahnya terus menahan amarah. Kalau saja dia tak pingsang, pasti sudah dicekiknya.
Perlahan tapi pasti, Axel mendekat-menatap lekat wajah Elina yang tampak damai dalam tidurnya. Meskipun terlihat pucat, tapi rona wajahnya mulai tampak kembali. Bisa dilihat bahwa gadis itu mulai membaik.
“Kenapa ada gadis menyebalkan seperti dirimu?” Axel terus berkoceh ria seperti burung pipit, menyalahkan Elina yang sedang pingsan. Orang pingsan disalahkan, otak jenius Axel mendadak berkurang.
“Kalau dilihat, kau berbeda.” Saat mengucapkan kata itu, sontak Axel langsung menutup mulutnya. Ia meraba jantung yang terus berdetak. Mata pria itu beralih ke bibir mungil.
Seandainya bisa memilih, Axel tak ingin memiliki haphephobia. Ia ingin merasakan indahnya memiliki seorang kekasih, bahkan berkencan. Membayangkan hal itu, membuat wajah pria tersebut tersenyum sendiri. Jelas kaya orang gila.
Axel menggelengkan kepalanya berulang kali, menyadarkan hal yang diluar nalar. Prioritas utamanya adalah kesembuhan dirinya. Untuk itu, ia harus bersekeras mengingat kejadian yang tak ingin diingat.
“Aku harus bertemu dnegan orang tua itu.” Axel tak ingin terus-terusan berada di dalam kegelapan yang panjang, tanpa seorang pendamping. Diumurnya yang sudah waktunya menikah, ia tak memiliki satu orang pun gadis atau kekasih untuk dinikahi.
Jangankan menikah, berpegangan tangan saja tak pernah. Lihat wajah seorang gadis langsung lari terbirit-b***t.
Lagi-lagi, Axel menghela nafas dengan sangat panjang sampai terdengar oleh gadis yang terbaring di atas brankar. Elina yang mulai membuka kedua matanya sedikit kaget melihat bos yang arrogant berada di dekatnya.
“Aku ingin merasakan yang namanya ciuman.” Axel memegang bibirnya sendiri tanpa sadar Elina terus mengamati kegiatannya.
“Apa harapanku akan terkabul?” Pria itu terlihat konyol dengan tingkah memohon kepada Tuhan. Elina tak sanggup lagi menahan tawa. Seketika, gadis itu meledakkan suaranya dengan keras, membuat Axel langsung melotot ke arahnya.
Masih dalam posisi tertawa, seakan mengejek Axel. Elina memegang perutnya sendiri sambil meneteskan air mata. Gadis itu tertawa sampai menangis karena mendapati sebuah rahasia besar untuk menggulingkan bosnya.
Karena merasa suasana ruangan tambah dingin, Elina menoleh ke arah Axel. Pria itu terlihat menyimpan amarah yang dalam. Dapat dilihat, awan hitam diatas pria itu, ditambah dengan kilatan petir yang menyambar.
Elina langsung menutup mulutnya dengan rapat, lalu memukul kepalanya berulang kali. 'Aku menggali kuburan ku sendiri.'
BERSAMBUNG