Axel terlihat gelisah di dalam tidurnya. Ia mengeluarkan keringat yang sangat banyak. Tidur nyaman selama beberapa tahun ini terusik kembali oleh kenangan pahit yang dialami masa kecil. Kilasan-kilasan memori yang terlupakan mendadak muncul. Pria itu bangkit dari tidurnya dengan nafas memburu dan terengah-engah dan langsung mengusap kasar wajahnya. Terlihat jelas, bahwa tubuh pria itu bergetar hebat.
Axel duduk menghadap ke kaca yang ada di lemari. Ia terlihat sangat pucat dan letih. Bagaimana mungkin mimpi buruk itu kembali muncul? Apa yang menjadi pemicunya? Tidak bisa, Ia harus bertemu dengan dokter dan menjelaskan perihal mimpi yang di alami.
“Aku harus bertemu dengannya sekarang.” Axel bangkit dari ranjang lalu berjalan tergesa-gesa menuju kamar mandi untuk melakukan aktivitas mandinya dengan cepat.
Sementara Elina, gadis itu tengah menyiapkan sarapan untuk sekeluarga. Tampak wajah cerah yang untuk menyambut mentari yang siap menemani aktivitas hari ini.
Kemarin, Elina mendapatkan pekerjaan disebuah cafe sebagai pramusaji. Ia akan bekerja dengan giat dan menghasilkan uang banyak, walaupun tidak sebanyak kerja jadi cleaning service.
“Kak, kau terlihat senang.” Seorang pria tampan duduk di sebelah Elina dengan santai. Ia terlihat persis seperti gadis itu.
“Karena aku akan memulai hidup baru, Elesh.” Elina duduk dengan bahagia, terlihat senyum mengembang diwajahnya.
"Kau tidak di pecat ‘kan?” tanya Elesh penasaran. Elina langsung terbatuk karena ludahnya sendiri. Untuk mengalihkan kegelisahannya, gadis itu batuk kecil.
“Omong kosong! Siapa yang memberitahumu?” Elina menatap tajam kepada Elish sambil menusuk-nusukkan garbu ke piring.
“Kemarin aku melihat kakak pergi ke Cafe untuk melamar pekerjaan,” bisik Elesh dengan hati-hati langsung ditutup mulutnya oleh Elina.
“Sttttt damlah! Jangan memberitahu ibu,” peringat Elina di angguki cepat oleh Elesh. Pria itu kemudian bangkit dari kursi, “Seminggu lagi, aku akan pindah ke asrama.”
“Iya, aku akan menyiapkan segalanya, kau tenang saja.” Setelah mendengar perkataan Elina, Elesh pergi meninggalkan gadis itu. Pria itu bersandar di depan pintu sambil menghela nafas panjang.
Kehidupan bahagia dan damai harus berakhir karena snag ayah yang telah tiada. Sedari dulu, Elina selalu berjuang keras untuk mengumpulkan banyak uang. Tiba-tiba, tepukan bahu seseorang membuyarkan lamunannya.
Elish tersentak kaget, lalu mendengus kesal, “Kak Jenifer...!” teriaknya dengan sangat keras sampai telinga Jenifer ditutupi oleh kedua tangannya.
“Aku bisa tuli kalau kau berteriak dengan keras!” Nada Jenifer tak kalah tinggi dengan teriakan Elesh. Pria muda itu membuang muka. Jika dirinya terus berdebat dengan Jenifer pasti akan membuang tenaga dan waktunya yang berharga.
“Aku berangkat dulu,” pamit Elesh sambil melenggang pergi. Pria itu sungguh tidak punya sopan santun dan membuat Jenifer sedikit kesal.
“Lupakan,” gumam Jenifer lalu membuka pintu perlahan. Ia terkejut melihat Elina sudah berdiri di depan pintu. “Kau mengagetkanku, Elina.” Kali ini, gadis itu tambah kesal dengan kakak Elesh.
“Kita berangkat sekarang.” Elina menyeret lengan Jenifer secara paksa untuk menjauh dari rumahnya. Setelah mereka sedikit jauh, gadis itu melepaskan tangannya.
“Ada apa?” Jenifer penasaran dengan gelagat aneh Elina. Gadis itu terlihat gelisah dan khawatir. Tangannya mengusap wajah dengan kasar, lalu menoleh ke segala arah.
“Ibu ada di rumah. Dan bocah tengik itu tahu aku dipecat.” Memang kepintaran Elesh diatas rata-rata. Selama ini, tebakan dan peritungan pria itu selalu benar. Jenifer yang mendengar itu sangat terkejut.
“Dia tidak akan membocorkannya ‘kan?” tanya Jenifer. Elina langsung menjawab dengan gelengan kepala, “Tapi aku tak tahu kedepannya.” Gadis itu menambahkan jawaban dengan lesu. Jenifer langsung merangkul Elina, lalu mengajaknya masuk ke dalam mobil.
Franco Company
Bunyi alarm tanda bahaya terdengar jelas ditelinga para karyawan. Mereka pun lari kocar-kacir seperti kebakaran jenggot. Gedung yang semula ramai, mendadak menjadi sepi seperti makam.
Seorang pria yang tak lain Axel berjalan keluar mobil dengan gaya seperti biasa. Ditambah dengan peralatan yang mengelilingi tubuhnya. Pria persis seperti teroris yang hendak memasang bom. Gayanya yang memakai serba hitam itu membuat Daniel menggelengkan kepala.
Bagaimana tidak? Temannya satu itu sungguh unik bin ajaib. Kalau saja bukan penyakit aneh yang di derita Axel, pasti pria itu sudah sangat sempurna di mata pria maupun wanita. Benar kata orang, di dunia ini tidak ada yang sempurna.
Langkah Axel pun berhenti, sehingga membuat Daniel yang tengah melamun menabrak punggunya, “Kenapa berhenti?” tanya Daniel berjalan ke arah samping. Pria itu sedikit terkejut melihat dua orang karyawan yang tengah berdiri di depan mereka.
“Maafkan kami,” kata mereka bersamaan sambil membungkuk. Tubuh kedua bergetar hebat karena tidak menyangka akan melihat bos aneh yang di bicarkan di forum perusahaan.
“Pecat mereka.” Axel berucap dengan nada dingin, melewati kedua orang yang seketika duduk dengan lemas. Ternyata, ancaman mengenai pemecatan bila tidak mengikuti aturan perusahaan benar adanya.
Daniel pun menghubungi seseorang untuk mengurus segala pemecatan mereka. Pria itu menghela nafas kasar, memasukkan ponselnya ke dalam saku. “Aku sudah berusaha sebaik mungkin.” Padahal, dirinya sudah memberi wawasan kepada mereka.
“Sebarkan kejadian ini ke forum perusahaan.” Axel berjalan dengan cepat, meninggalkan Daniel sendirian yang terus mengumpat kesal tanpa henti. Temperamen Axel hari ini sangat aneh menurutnya. Menurut pengamatan pria itu, Axel pasti kurang tidur karena ia sudah hafal kesehariaanya.
Axel terus berjalan menelusuri koridor dengan cepat. Sebelum berangkat ke kantor, Ia mengunjungi dokter pribadinya. Sayang seribu sayang, sang dokter sedang tidak ada di rumah, dan ponselnya juga tidak aktif. Sungguh kesialan yang tiada ujungnya.
Semenjak Axel bertemu dengan gadis pembersih itu, kesialan yang datang padanya mulai bertahab. Dari image yang buruk, mimpi buruk, dokter yang pergi tanpa kabar. Kesialan-kesialan itu harus segera di ganti dengan keberuntungan.
Tiba-tiba saja, Daniel berteriak, “Axel....!” Langkah kaki Axel langsung terhenti, lalu menoleh dengan malas. Ia bahkan tidak menjawab panggilan pria yang tengah lari tergopoh-gopoh menghampirinya.
Daniel memegang pundak Axel sambil terengah-engah. Pria yang di pegang pundaknya hanya mengerutkan dahi, memandangnya dengan kesal, dan menepis tangan dari pundak.
“Sialan...! Dengarkan aku dulu.” Daniel memegang perutnya, lalu memberikan ponsel kepada Axel.
“Kenapa ponselmu kau berikan padaku?" Axel menolak, lalu mulai berjalan menuju ruangannya.
“Tunggu dulu! Dengarkan aku...!” Daniel berlari menghadang Axel yang terlihat masam. “Pemegang saham tahu kalau kau memiliki citra buruk.” Bola mata pria itu langsung melotot tajam, lalu merebut benda pipih milik temannya.
“Sialan....!” teriak Axel berapi-api sampai urat lehernya keluar. Teriakan itu diiringi bunyi petir yang menyambar lalu ditambah dengan hujan yang sangat deras.
Daniel yang ada di dekat Axel langsung menutup pendengarannya agar gendang telinganya aman. Sementara para karyawan yang berkumpul di aula mendadak merasakan dingin dan juga merinding bersamaan. Apalagi, kilat terus saja menyambar seolah seseorang sedang murka.
Setelah teriakan tujuh oktaf yang di keluarkan oleh Axel, Daniel menutup matanya perlahan, lalu membuka kembali. Ia pun menyentuh pundak pria itu agar sedikit tenang. “Lebih baik, gunakan caraku,” usulnya sambil tersenyum.
Bukannya amarah Axel mereda, malah menjadi semakin luas seperti lautan magma yang hendak meletus. Pria itu hendak berteriak lagi, tapi Daniel langsung membekap mulutnya dengan tangan, lalu menyeret dia kedalam ruangan.
“Kendalikan emosimu!” teriak Daniel dengan jengkel. Axel menepis tangan pria itu dengan kasar. “Cari cara lain agar mereka tidak memojokkanku.”
'Aku sudah memberimu solusi, tapi kau tidak menggunakannya', batin Daniel dengan sangat jengkel.
BERSAMBUNG