Elina berjalan keluar cafe dengan wajah lesu dan tubuh yang sangat letih. Hari pertama kerja membuatnya kelelahan seperti itu. Kalau bukan karena ia tak butuh uang, gadis tersebut tidak sudi bekerja kasar. Bayangkan saja, selain menjadi pramusaji, bos cafe itu memintanya untuk menyuci semua piring dan gelas kotor.
Untung saja, Daniel tadi datang memintanya untuk kembali ke perusahaan. Andai saja pria itu tak datang, pasti ia sudah menjadi mayat hidup. Memang Tuhan sangat baik padanya karena telah mengembalikan pekerjaan yang seharusnya memang sudah diraih.
“Usahaku... berbuah manis.” Elina berjalan perlahan sambil menatap bintang yang berkelip dan tampak indah. Langit yang hitam pekat itu diisi oleh ribuan bintan dan rembulan yang sangat bulat.
“Besok... aku harus datang lebih pagi.” Gadis itu mengangkat tangan sebahu-menariknya pas di samping wajahnya, “Semangat!” Elina mengambil sepedahnya, lalu mengayuhnya perlahan.
Suasana kota dihiasi lampu malam, ditambah dengan kendaraan yang berlalu lalang. Kebisingan kendaraan itu, tak menyurutkan semangat Elina untuk terus mengayuh sepeda.
“Kakak....!” panggil seseorang dari belakang membuat Elina langsung mengerem sepedanya. Gadis itu menoleh, “Elesh.” Gadis itu mengerutkan dahi, kemudian memutar sepedahnya menuju ke arah Elesh.
“Darimana saja kau? Ini sudah malam.” Muka Elina yang cerah mendadak suram karena mendapati Elesh yang berkeliaran di malam hari.
“Apa lagi? aku datang menjemputmu.” Elesh memicingkan mata, kemudian membuang muka ke kanan, “Aku khawatir kau pulang larut.”
Elina turun dari sepedanya-membelai rambut Elesh yang nampak berantakan,”Kau baru saja lari. Lihat... rambutmu basah, baumu juga masam.”
Elesh menepis kasar tangan Elina, “Aku olahraga sebentar,” katanya sambil merebut sepeda milik gadis itu, “Biarkan adikmu yang tampan ini memboncengmu, Kak.” Kenarsisan tingkat tinggi milik pria itu dihadiahi dengan decihan olehnya.
“Aku benci melihat mu seperti pria yang lihai merayu gadis di luar sana.” Elina naik lalu memegang pinggang Elesh dengan erat, “Pelan-pelan, aku takut jatuh.”
“Mereka yang merayuku, aku tak pernah merayu mereka.” Tingkat kenarsisan Elesh bertambah beberapa ons sampai membuat Elina ingin muntah.
“Jangan banyak omong!” Elina menarik rambut Elesh dari belakang sampai pria itu meringis kesakitan, “Lepaskan... cepat lepaskan... nanti bisa jatuh.” Gadis itu melepas tangannya dengan kasar sambil tertawa.
Mereka saling tertawa satu sama lain hingga tak sadar sudah sampai di depan rumah. Kedua tertegun melihat seorang yang familiar di depan pintu.
“Ibu...!” panggil mereka dengan serempak. Wanita paruh baya itu menoleh dengan sangat senang. Rasa khawatir yang tadi merayap masuk ke dalam aliran darah mendadak sirna.
“Dari mana saja?” tanyanya sambil mendekat. Elina tersenyum, “Ibu Zoya terhormat, sudah aku bilang tunggu di dalam.” Gadis itu khawatir tentang kesehatan Zoya.
“Bodoh!” teriak Zoya memukul Elina dengan keras, “Bu... sakit...!” erang gadis itu mengelus kepalanya berulang kali. Elesh hanya tersenyum cekikikan.
“Diam kau adik laknat...!” Elina masuk ke dalam dengan sangat kesal. Sudah capek pulang kerja, malah dihadiahi pukulan oleh ibunya.
Setelah Elina masuk ke dalam rumah, Zoya mengambil nafas panjang, “Apakah aku terlalu kasar padanya?” Elesh merangkul lengan Zoya untuk mengajaknnya masuk ke dalam.
“Dia kelelahan, Bu,” kata Elesh dengan lembut. Sebenarnya, Zoya tahu kalau Elina keluar dari Franco Company dan bekerja di cafe. Ia memukul gadis itu karena sedikit marah tidak berkata jujur.
“Aku tak ingin dia menanggung semua beban di keluarga ini.” Zoya menatap kamar Elina dengan sendu. Sedikit pun wanita itu tak menginginkan balasan untuk hidup lebih dari itu, yang diinginkan hanya keharmonisan dan kesederhanaan keluarganya.
“Besok... setelah pulang sekolah, kau bantu ibu di toko.” Zoya berjalan mendahului Elesh yang masih Iam mematung di ruang tengah. Ia menatap punggung wanita itu tanpa berkedip. Semenjak ayahnya meninggal, beban hidup keluarga ini semakin berat.
“Aku akan menjadi orang sukses dan membahagiakan kalian berdua.” Elesh tersenyum, lalu berjalan ke dalam ruangan kamarnya.
Sementara itu, ketiga pria yang masih belum bersuara terlihat sedikit kecanggungan diantara mereka. Sama-sama diam, tak bersuara, bahkan bergerak sedikitpun.
Hal itu sudah berlangsung hampir tiga puluh menit. Daniel yang tak betah kesunyian langsung buka suara, “Oke... aku tak mempermasalahkan mengenai hipnotis itu.”
Kedua pria yang tak lain Albert dan Axel saling pandang satu sama lain, “Dan aku tak akan lagi menhipnotismu.” Biarlah Axel yang menuntaskan segala trauma yang dimiliki. Karena pria itu hanya bertugas memantau saja.
“Aku akan menghadapinya.” Axel tak akan lari kali ini. Cukup sudah ia selalu sembunyi di bawah bayang-bayang trauma itu.
“Begini saja, catat semua mimpi yang kau impikan. Jika mimpi itu berulang, tulis berapa kali terulang beserta tanggalnya.” Albert berdiri merapikan jasnya, “Aku harus pulang karena sudah malam. Kalian istirahatlah....”
Pria itu meninggalkan kedua sahabat terbut sendirian, lalu mengambil ponsel, menulis pesan kepada seseorang dengan wajah serius. Jika Axel telah mengetahui tujuan hipnotis itu, lambat laun pasti ia tahu penyebab dirinya mengalami trauma.
Rahasia yang tertutup rapat pasti terbongkar. Jika sampai terdengar di telinga Julian, pasti hukuman yang akan diterima. “Padahal, aku sudah menutupnya dengan rapat. Kenapa informasinya sampai bocor?” sesal Albert.
Pria itu sendiri juga masih menyelidiki perihal trauma yang Ialami oleh Axel. Barang bukti kasus tujuh belas tahun sudah lenyap ditelan bumi, bahkan tak ada yang tersisa sedikitpun.
Langkah kaki Albert berhenti, “Julian tak menyembunyikan sesuatu, ‘kan?” Bibir pria itu bergetar, “Jika itu terjadi, pasti dia menyimpan rahasia itu rapat-rapat.” Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya akan jatuh juga.
“Orang kaya selalu berbuat merepotkan.” Albert mengacak rambutnya frustasi lalu berjalan meningalkan koridor tempatnya berdiri.
Tidak tahukah Albert bahwa Axel telah melihat segala gerakaanya di layar laptop. Ia tersenyum kecut saat mengetahui pemikiran pria itu, “Si tua itu menyembunyikan kebenarannya.”
Daniel menghela nafas dengan panjang, lalu menutup laptop dari arah belakang. “Apakah kau masih percaya padanya?”
Axel tersenyum semirik, “Tentu saja masih. Pria itu tak tahu apa-apa, yang dia tahu hanya menuruti perintah ayahnya dan si tua itu.”
Daniel berdiri dengan pelan karena tenaganya terkuras banyak hari ini, “Sampai kapan kau akan membencinya, Axel?” Daniel tak ingin ayah dan anak itu saling bersitegang dengan kajaIan masa lampau.
“Sampai kebenaran benar-benar terungkap.” Axel bukannya membenci Julian, melainkan menjaga jarak darinya. Walau bagaimana pun, pria itu tetap ayah yang membesarkan dirinya selama bertahun-tahun.
“Lebih baik kita pulang karena besok Elina akan masuk kerja lagi. Kau harus melakukan tugas dengan baik,” kata Daniel sambil menepuk bahu Axel. Pria itu menoleh dengan tajam, “Apa hubunganku dengan gadis pembawa sial itu? kau tidak menyuruhku untuk menemuinya ‘kan?”
Gawat, jika dirinya bertemu dengan gadis itu, pasti kesialan bertubi akan terus mengahantuinya. Daniel tersenyum mengagguk, lalu mengangkat alisnya berulang kali.
“Kau gila! Aku tak mau!” tolak Axel dengan cepat. Bertemu dengan gadis itu, ia tidak akan melakukan hal konyol yang memicu phobianya. “Jangan membunuhku perlahan, Daniel.”
Perkataan di setiap ucapan yang terlontar dari mulut Axel penuh dengan hawa dingin dan penekanan. Daniel langsung mengangkat kedua tangannya, “Tenang, kawan. Kau hanya perlu menunjukkan kebaikan di depan gadis itu. Ingat, imagemu harus dijaga.”
Axel mengepalkan tangan dengan kuat. Ia tak ingin menerima usulan tidak masuk akal dari Daniel untuk bertemu dengan Elina. Neraka baginya jika harus berhadapan dengan gadis bermulut pedas seperti mercon itu.
BERSAMBUNG