Episode 14

1132 Kata
Suasana kamar rawat inap milik Elina menjadi hening, suram dan dingin. Tak ada yang mau mengeluarkan suara, bahkan Daniel sekalipun. Setelah pria itu selesai mengurusi segala administrasi untuk mengambil alih rumah sakit, Ia pergi ke kamar gadis itu. Tidak disangka, saat masuk bukannya sambutan ramah yang didapat, melainkan tatapan tajam, dari kedua belah pihak. Yaitu, Axel dan Elina. Karena tak ada pilihan lain, Daniel diam membeku ditempat bak patung hidup. ‘Sial... kapan aku bisa pergi?’ Jika ia tahu masa depan akan merugikannya seperti ini, dirinya memilih untuk tidak masuk dari awal. “Daniel...” panggil Axel dengan dingin. Secepat kilat, Daniel langsung mendekat ke arah pria itu, “Besok, dia harus membersihkan dua gudang yang ada di kantor. Sebelum gudang selesai dibersihkan, jangan biarkan dia istirahat.” Daniel dan Elina saling tatap satu sama lain, gadis itu memberikan kode supaya Daniel menolak tawarannya. “O-oke,” jawab Daniel dengan ragu. Hukuman yang di berikan Axel sungguh kejam. Elina bukan romusha atau robot. Ia juga butuh makan, minum, dan istirahat. Gadis itu pun menghela nafas panjang, mengepalkan tangan dengan kuat, lalu menggigit bibirnya. ‘Menyebalkan... tirani itu mau membuatku mati apa?’ Tahukah Elina segala gerakannya diamati oleh Axel. Ia terus saja menatap gadis itu sampai menelan ludah kepayahan. Kalian tahu apa yang dilihat pria itu? Bibir merah seperti cery milik Elina. Seandainya Axel melumat bibir itu, pasti rasanya manis sekali seperti madu. Segala otak kotornya mulai menjamah diluar kendali. Pria itu kemudian sadar akan otak yang perlu di beri amunisi oleh ajaran mengenai agama. “Ki-kita pergi se-karang.” Lihatkan, Axel mulai gugup. Pria itu salah tingkah sendiri dan terlihat bukan seperti biasanya. “Dia bagimana?” tanya Daniel merasa tidak enak. Pasalnya, Axellah yang membuat Elina masuk rumah sakit. “Bi-biarkan dia pulang sendiri.” Axel berbalik arah dengan cepat, buru-buru meninggalkan ruangan itu. Pria itu harus segera mengontrol kendali atas dirinya. melihat tingkah temannya, Daniel merasa ada yang tak beres. “Aku akan memanggilkan taxi. Kau bersiaplah pulang dan tunggu di bawah.” Daniel langsung pergi setelah mengucapkan perkataan itu. “Tidak perlu!” jawab Elina dengan keras, tapi tak didengar oleh Daniel. Gadis itu hanya menghela nafas dengan panjang sambil menatap seluruh ruangan. “Aku benci rumah sakit.” Elina berajak bangkit dari brankar. Gadis itu memegang kepalanya yang mulai berdenyut nyeri. Dua tahun dia menghindar dari kegelapan, tapi tak berhasil juga. Dipikirnya, penyakit yang diderita sudah sembuh. Elina mengambil tas yang ada dikursi, lalu keluar dari ruangan dan bertemu dengan dokter yang hendak memeriksanya. “Nona Elina,” panggil sang dokter itu dengan keras. Elina menoleh ke arah dokter, “Ada apa, Dok?” Dokter tersebut mendekat, “Seharusnya, Anda beristirahat sebentar. Anda masih terlihat sangat pucat.” Gadis itu menggeleng dengan lemah, “Saya tak ingin membuat orang rumah cemas.” Dokter itu tersenyum dengan ramah, “Ini obat untuk Anda. Jika mengalami kecemasan, Anda bisa meminumnya.” Elina mengguk, “Terimakasih, Dok. Saya permisi.” Gadis itu pergi meninggalkan sang dokter yang terus menatapnya. Dari jauh, Albert tengah mendengar percakapan mereka. Pria itu kemudian menghela nafas panjang sambil menatap selembar foto yang ada di tangannya. “Memang sebuah takdir yang tak bisa diubah. Tidak tahu ke depannya seperti apa. Aku harap, kalian bisa menyelesaikannya.” Albert kemudian berjalan ke arah jendela. Pria itu melihat Elina masuk ke dalam taxi. Gadis yang dicari selama ini, ternyata dekat dengan Axel. dialah Elina, kunci dari segala masa lalu. Albert tidak menyangka, ternyata bisa menemukannya tanpa sengaja. Padahal, ia sudah mencarinya belasan tahun. Setelah Elina naik taxi, ia mengeluarkan ponsel yang ada di dalam tasnya. Sebuah pesan dari Elesh membuat gadis itu terlihat cemas. “Pak, kita pergi ke alamat ini,” titahnya sambil mengulurkan ponsel. Sang sopir mengangguk, lalu berpindah haluan. Dia mengemudi dengan cepat atas perintah Elina. “Sudah sampai,” kata sopir itu, “Tak perlu dibayar, karena sudah dibayar oleh orang yang memesan.” Elina mengangguk, lalu keluar dari taxi dengan cepat. Gadis itu berlari ke arah toko bunga dan melihat Elesh yang tengah menunggu kedatangannya. “Kenapa lama sekali? Aku menunggumu dari tadi.” Elesh terlihat kesal karena Elina terlambat datang. “Bagaimana keadaan Ibu?” Elina masuk ke dalam toko dan melihat Zoya yang tengah duduk tanpa tenaga. “IBu...” panggil gadis itu, berlari memeluk Zoya dengan erat. “Mereka merusak semuanya, Elina.” Terlihat bahwa segala bunga hancur berantakan dan juga perabotan ikut rusak semua. “Pasti ada orang lain yang iri dengan usaha kita, Bu.” Sejauh ini, Zoya tak pernah berhutang atau menyinggung siapapun. Walaupun kehidupan wanita itu sederhana, ia tak akan pernah mengambil jalur yang salah. “Sudah rusak begini, apakah bisa dijual? Kita rugi.” Elesh mulai merapikan bunga dan perabotan yang hancur berantakan, “Kenapa mereka tega dengan keluarga kita? Apakah kita melakukan banyak kesalah?” pria muda itu sungguh tak ingin melihat keluarganya selalu ditindas. Padahal, mereka tidak berbuat salah. “Kita bisa mulai dari awal lagi. Meskipun bunganya ada yang hancur, tapi yang lain bisa diperbaiki.” Inilah Zoya, selalu menanamkan sikap positif dalam keluarga kecil mereka. Ia tak pernah mengeluh atau menangis di depan anak-anaknya. “Benar... kita bersihkan sekarang. Besok buka lagi. Ibu tenang saja, setelah pulang kerja... aku akan datang kemari.” Elina hanya bis amembantu Zoya setelah pulang kerja. “Aku juga akan datang. Lagi pula, besok tak ada praktek.” Ketiganya saling menatap satu sama lain, lalu berpelukan. Seberat ujian yang ditanggung mereka, Zoya selalu mengajarkan kesabaran dan keikhlas untuk kedua buah hatinya. Dari jauh, tampak mobil hitam sedang berhenti di pinggir jalan. Seorang pria mengamati kebersamaan mereka, lalu tersenyum. “Rom... cari tahu, siapa yang melakukan itu semua? Bisa-bisanya dia mengganggu wanitaku.” Pria itu mengepalkan tangan dengan kuat sambil menatap dengan tajam. “Baik, Tuan Julian.” Romi mengangguk, lalu perlahan menginjak gas mobil itu. mereka kemuIan meninggalkan tempat tersebut. “Kenapa kau menjalankan mobilnya? Bukankah aku belum bilang untuk meninggalkan tempat ini?” Padahal, Julian ingin sekali bertemu dengan anak-anak wanitanya. Pria itu ingin dekat dengan calon anaknya kelak. “Tadi, Anda meminta saya mencari tahu.” Romi tak habis pikir, temperamen Julian berubah-ubah seperti anak muda. “Kalau saja identitasnya tidak sulit didapat, pasti aku sudah melakukan pendekatan pada anak-anaknya. Kinerjamu sungguh mengecewakan, Rom.” Julian membuang muka ke arah jalanan karena merasa kurang puas dengan usaha Romi. ‘Ya... ya... salahkan aku terus, Tuan. Kau selalu benar... tak ada yang berani menyalahkanmu. Asal kau tahu, betapa sulitnya mencari identitas calon nyonya Franco,’ batin Romi terus mengoceh hal yang sama tanpa henti. “Jawab... kenapa kau hanya diam!” betak Julian dengan keras membuat Romi tanpa sengaja menginjak rem. Kepala Julian terpentok kursi depan. “Sialan... kau, Rom. Mau membuat aku cepat mati!” maki Julian sambil mengelus dahinya. Romi langsung panik, lalu menoleh, “Maafkan saya, Tuan. Saya hanya kaget.” Walau bagaimanapun, umur Romi sudah tak muda lagi. Wajar saja kalau dia sangat kaget. Yang tak wajar adalah sikap Julian karena super duper menyebalkan, seperti anaknya. “Kali ini, aku memaafkanmu. Kita pulang sekarang... aku ingin bertemu dengan bocah sialan itu.” Julian menyeringai sambil memikirkan rencana-rencana matang untuk menghadapi iblis kecilnya. Ia harus memiliki sejuta taktik agar rencana pernikahannya disetujui. BERSAMBUNG
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN