~THEN~
~~~~~
Sore itu Bayu tiba di rumahnya. Rumah dalam keadaan sepi ketika Bayu datang. Biasanya ibunya sedang menonton acara televisi di pukul lima sore begini. Bayu terus memasuki rumah bergaya klasik itu dengan langkah cepat mencari keberadaan sang ibu. "Assalamualaikum," salam Bayu saat melihat ibunya ternyata berada di dapur sedang menyeduh segelas kopi. "Walaikumsalam," jawab Ibu Bayu. "Kok nggak kedengeran suara motornya, A'?" tanya Ibu Bayu setelah menyapa salam dan mencium kedua pipi Bayu. "Ibu bikin kopinya terlalu khusyuk, sampai nggak kedengaran suara motor A'a. Bikin kopi buat siapa?" tanya Bayu. "Buat A'a, buat siapa lagi?" "Ibu kok tahu A'a pulang hari ini?" "Tahu dong. Sekarang kan, hari Sabtu." Bayu tertawa kemudian merangkul pundak ibunya yang sedang membawakan gelas berisi kopi menuju ruang tengah. Sesampainya di ruang tengah, Bayu meminta ibunya duduk santai lalu menjulurkan kakinya di sofa tua. Kemudian Bayu memijat kaki ibunya dengan tekanan yang tidak terlalu kuat. "Minggu depan peringatan tahunan meninggalnya Ayah dan adik. Ibu rencana mau mengadakan tasyakuran, potong kambing satu trus dibagiin juga ke tetangga-tetangga dan ke panti asuhan." "Iya, Bu. Tapi acaranya Sabtu atau Minggu ya. Biar A'a bisa ikut hadir." "Iya, A'. Hari Sabtu bakda magrib ya. Sekalian ajak pacar kamu. Kenalin ke ibu." "Iya, Bu. Kalau soal ngenalin pacar, A'a tanya dulu ya. Soalnya dia kan rumahnya di Jakarta, jadi kalau Sabtu Minggu pulang ke Jakarta." "Oh...gitu. Ya coba bilang dulu. Siapa tahu bisa kan?" "Iya nanti A'a bilang. Sekarang A'a mau makan dulu. Ibu masak?" "Ibu masak lodeh sama orek tahu aja. A'a mau?" Bayu mengangguk antusias. Dia beranjak dari sofa dan melangkah menuju meja makan yang tempatnya jadi satu dengan dapur. Ibu Bayu mengambilkan piring sekaligus nasi untuk Bayu. "Banyak banget nasinya, Bu?" protes Bayu melihat piring yang sudah berisi nasi nyaris menyerupai gunung itu. "Biar A'a nggak kurus banget. Lihat tuh tulangnya udah mulai kelihatan. Kerja terus sampai lupa makan." "Tapi nggak banyak-banyak gini juga, Bu," jawab Bayu, menahan tawa mendengar pendapat ibu soal tubuh kurusnya. "Ya udah, ini piring baru ambil sesuai selera A'a. Nanti sisanya dikembalikan lagi ke magic com ya. Ibu mau ke rumahnya Teh Elis, nanya soal masak kambing." "A'a antar ya?" "Nggak usah. Jalan dikit ke depan ini udah sampai. A'a lanjut makan aja, yang kenyang, nggak boleh ada sisa di piring nasinya." "Iya, Bu. Ibu hati-hati ya." "Ya, A'. Assalamualaikum." "Walaikumsalam." *** Senin pagi Melody dikejutkan dengan kehadiran Bayu yang sudah duduk manis bersama beberapa kepala cabang di ruang breafing. Bayu tidak mengatakan hal apa pun soal kemunculannya sepagi ini di kantor regional. Seperti biasa Melody memulai aktivitas paginya dengan secangkir kopi. Setelah menyalakan komputer dan menunggu proses sinkronisasinya dengan internet, Melody melangkah santai menuju dapur kantor. Sesekali dia melirik ke arah ruang briefing untuk mengintip apa yang sedang dilakukan Bayu di dalam ruangan itu. Namun Bayu sepertinya sedang fokus sehingga tidak menyadari kalau Melody baru saja melewati ruang briefing. Beberapa saat setelah berada di dapur kantor, seseorang datang menghampiri Melody yang kebetulan sedang sendirian. "Kopinya satu, ya, Teh!" ujar Bayu dari belakang punggung Melody. Melody berjingkat karena terkejut atas kehadiran orang lain di belakangnya. Terlebih itu laki-laki. Melampiaskan kekesalannya Melody menghadiahi sebuat cubitan di perut Bayu. Bukannya marah Bayu malah tertawa sembari menahan tangan Melody agar berhenti mencubitnya. "Kaget banget, ya?" tanya Bayu seraya mengusap puncak kepala Melody. "Kaget," jawab Melody kesal. "Yach, marah. Jangan marah dong, sayang!" pinta Bayu. "Aku beliin cokelat ya," rayunya kemudian. "Ish, mau ngerayu apa mau bikin aku masuk rumah sakit?" Bayu tergelak kemudian mengambil sebuah cangkir dan satu bungkus kopi s**u instan, lantas menyodorkannya pada Melody. "Kok nggak bilang kalau mau ke region?" "Tadi pagi-pagi banget diminta dateng sama bos. Mau ngomongin soal memo kredit yang baru turun semalam." "Meeting sampai malam?" "Nggak kok. Cuma briefing sebentar aja. Siangan nanti juga kelar." "Langsung balik cabang?" "Iya, langsung. Nanti aku samperin kamu ke kos aja kalau udah kelar ngantor." "Kalau capek besok malam aja maen ke kosannya. Kan sekarang udah ketemu." "Nggak capek sama sekali kalau ketemu sama kamu. Makasih ya," balas Bayu sembari menerima cangkir berisi kopi s**u panas dari tangan Melody. Keduanya lalu kembali ke pekerjaannya masing-masing. Melody ke bilik kerjanya, sedangkan Bayu menuju ruang briefing untuk melanjutkan tujuannya mendatangi kantor region sepagi ini. Seseorang menghampiri bilik kerja Melody beberapa saat setelah Melody baru duduk di depan komputernya. Teman sekantor Melody yang suka mencari tahu urusan orang lain. "Kayaknya kamu akrab ya, sama Bayu," ujar perempuan tersebut. Melody menoleh malas. "Masalah?" tanyanya. "Kamu pacaran sama Bayu?" Melody tidak menghiraukan pertanyaan kedua yang dilontarkan oleh temannya itu. Melody mendesah lesu setelah kepergian temannya. Dia tidak suka ada orang yang mencari tahu urusannya seperti ini. Meski Melody terkenal pribadi yang ramah, dia tidak terlalu terbuka untuk urusan pribadi. Saat jam makan siang tiba, Bayu masih ada di kantor region. Dia celangak celinguk melihat kondisi kantor. Sedang dalam keadaan sepi karena orang-orang sedang beraktivitas di luar kantor. Bayu menghampiri bilik kerja Melody. Kekasihnya itu terlihat sedang serius menatap layar monitor di hadapannya. "Psst..." ujar Bayu. Melody mendongak. Dia menahan senyum mendengar cara Bayu memanggilnya. "Apa?" tanya Melody. "Temenin aku makan di warteg sebelah yuk," jawab Bayu. Tiba-tiba Melody mengangguk antusias. Dia beranjak dari kursi, menukar sandal jepit dengan sneakersnya. Melody memang berbeda dengan karyawan-karyawan wanita yang ada di kantornya. Di saat para wanita lebih memilih high heels yang membuat tampilan jadi penuh percaya diri, beda halnya dengan Melody yang lebih memilih sneakers untuk digunakan ke kantor. Beruntung tinggi badannya proporsional, sehingga dia tidak membutuhkan heels untuk membuat tubuhnya jadi terlihat lebih tinggi. Sesampainya di warteg bergaya semi prasmanan, Bayu memilih menu makanan yang ingin dipesannya. Demikian dengan Melody. Setelah memilih menu makanan masing-masing, Bayu mengajak Melody duduk di bangku yang cukup jauh dari meja prasmanan supaya tidak terganggu pada orang yang lalu lalang hendak memesan makanan. "Abis ini aku mau ke minimarket dulu ya," ujar Bayu. "Oke," jawab Melody, kemudian keduanya menikmati makan siang diiringi obrolan ringan seputar pekerjaan masing-masing. "Oh, iya. Sabtu ini peringatan tahunan kematian Ayah dan adikku. Kamu bisa ikut aku pulang ke rumah nggak? Sekalian mau aku kenalin ke ibu." Bayu memang pernah bercerita soal Ayah dan adiknya yang meninggal beberapa tahun lalu akibat kecelakaan. Nyawa keduanya tidak terselamatkan karena terlambat dibawa ke rumah sakit. Musibah yang sama juga pernah dialami oleh mendiang ibunya. Bedanya Melody sudah jauh lebih lama kehilangan ibunya, saat itu usia Melody baru sepuluh tahun. "Boleh," jawab Melody setelah berpikir sejenak. "Nggak apa-apa pulang ke Jakarta nggak sesuai jadwal?" "Acaranya jam berapa? Setelah acara selesai aku bisa pulang ke Jakarta." "Acaranya malam. Setelah magrib. Kenapa nggak nginep di rumahku aja?" tanya Bayu. "Emang boleh?" "Ya boleh. Kan tidurnya bukan di kamarku dan sama aku." "Nakal!" ujar Melody, berusaha mencubit perut Bayu. "Kamu yang pikirannya nakal!" balas Bayu, membalas mencubit pelan pipi Melody. "Nginep aja ya? Nanti kamu bisa tidur di kamarku, biar aku tidur di kamar almarhum adikku. Nanti balik ke Jakartanya biar aku yang antar." "Oke deh. Tapi..." jawab Melody ragu. "Tapi kenapa?" "Aku nggak bisa masak, Bayu. Gimana kalau ibu kamu tahu aku nggak bisa masak trus jadi nggak suka sama aku?" Bayu tersenyum lembut. "Aku mau memperkenalkan kamu sebagai pacarku. Bukan mau memperkenalkan kamu dalam acara kontes memasak. Jadi kamu nggak perlu khawatir soal itu. Nanti kalau kamu jadi istriku, Ibuku pasti akan dengan senang hati mengajari kamu memasak. Kamu mau kan belajar masak sama ibuku?" ujar Bayu sekaligus bertanya pada Melody. Bayu mengusap salah satu pipi Melody penuh kelembutan. Hal tersebut membuat Melody mengangguk malu mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Bayu. Melody kemudian mengajak Bayu kembali ke kantor karena jam makan siang sudah hampir usai. Dia tidak ingin dipergoki orang-orang kantor yang lebih dulu sampai, bila kembali berduaan dengan Bayu. "Aku mau ke minimarket dulu, beli rokok," ujar Bayu, meraih tangan Melody yang hendak berbelok ke arah kantor. Melody menurut dan berjalan di sisi kiri Bayu. "Kamu mau beli apa?" tanya Bayu setelah keduanya berada di minimarket yang letaknya tidak terlalu jauh dari warteg. Sehingga hanya perlu lanjut berjalan kaki sebentar sudah sampai. Melody menggeleng diiringi senyum manis saat Bayu menawarinya berbagai jenis camilan yang ada di minimarket. "Nemenin kamu aja aku udah seneng kok," jawab Melody. Bayu mengacak puncak kepala Melody dengan lembut. "Ice cream ya?" tanyanya saat melintasi box ice cream. "Boleh deh. Jangan yang cokelat," jawab Melody. "Strawberry apa vanila?" "Strawberry nggak apa-apa asal jangan yang ada cokelatnya." "Ini strawberry, tapi bawahnya ada cokelatnya kan? Kayak yang waktu itu kita beli." "Iya nggak apa-apa, yang itu aja. Nanti bagian cokelatnya kamu yang makan." "Oke," ujar Bayu kemudian mengambil dua buah ice cream berbentuk kerucut lalu membawanya ke kasir. Setelah menerima belanjaan dari petugas kasir, Melody mengajak Bayu menikmati ice cream di depan minimarket. "Kenapa nggak di kantor aja? Di sini panas loh." "Karena panas itu, sampai kantor keburu leleh ice creamnya." Tidak protes lebih lanjut, Bayu setuju saja pada usul Melody. Setelah ice cream keduanya habis, Melody mengajak Bayu untuk bergegas kembali ke kantor. Merasa Melody seperti sedang diburu waktu, Bayu melirik ke arah jam tangannya. Masih menunjukkan pukul satu kurang lima belas menit. "Jam makan siangnya belum habis. Kamu kenapa buru-buru?" tanya Bayu setelah memerhatikan langkah Melody yang terlihat lebih cepat dari sebelumnya. "Biar nggak digosipin orang sekantor. Males banget jadi bahan gibah," jawab Melody. Bayu meraih tangan Melody yang kini sudah berjalan satu langkah di depannya. "Biarin aja. Gitu aja kok dipusingin. Aku sekarang mau jalan sambil gandeng pacarku," ujar Bayu, menggenggam jemari Melody. "Nanti kalau ada orang sirik yang dengar, trus ngompor-ngomporin big bos supaya kita dimutasi ke tempat jauh-jauh gimana?" "Nggak apa-apa, biarin. Nanti biar aku aku aja yang ngejar dekat kamu. Nggak apa-apa, deh, demosi asal deket sama kamu," jelas Bayu yakin. "Segitu cintanya sama aku sampai rela dimutasi dan demosi?" "Itu tahu," ujar Bayu, semakin mengeratkan genggaman tangannya. " Lagian yang nggak boleh satu cabang ataupun satu divisi itu kan untuk pasangan suami istri, bukan yang masih pacaran," imbuh Bayu. Hati Melody yang tadinya resah kini berangsur tenang berkat perbuatan dan ucapan Bayu. Melody merasa beruntung begitu dicintai seperti ini oleh Bayu. ~~~ ^vee^