~THEN~
Bayu berhasil merayu Melody untuk datang ke acara peringatan kematian ayah dan adik laki-laki Bayu. Keduanya tiba di rumah orang tua Bayu hari Sabtu menjelang sore. Ibu Bayu menyambut Bayu dan Melody dengan suka cita. Ibu Bayu mengagumi kecantikan Melody yang polos, tanpa riasan wajah berlebih seperti perempuan seumuran dia pada umumnya. Setelah mengobrol bertiga tiba-tiba Bayu berpamitan hendak keluar sebentar pada Melody. Hal tersebut tentu membuat seorang Melody yang baru kali ini dihadapkan pada orang tua kekasihnya mendadak jadi takut. Dia bahkan ingin ikut ke manapun Bayu akan pergi.
"Kamu tunggu sini aja. Aku mau ke rumah pamanku sebentar. Nggak jauh dari sini," ujar Bayu saat Melody merengek ingin ikut dengannya.
"Nggak mau. Pokoknya ikut."
"Aku mau jemput bibiku bentar," ujar Bayu sembari berusaha menyembunyikan senyum.
"Kamu sengaja ngerjain aku, ya?" tanya Melody kesal.
"Siapa yang ngerjain kamu? Aku beneran mau jemput bibi aku."
"Tapi senyum-senyum gitu wajahnya?" kesal Melody.
"Kamu lucu, sih. Kayak anak kecil ditinggal di tempat ramai aja."
Ibu Bayu menahan tawa melihat sikap Melody yang terkesan manja tetapi tetap alamiah dan tidak norak. Setelah kepergian Bayu, ibunya mengajak Melody masuk ke lebih dalam rumah. Dengan terpaksa Melody merelakan Bayu pergi dan dia menghadapi ibu Bayu seorang diri tanpa persiapan apa pun. Melody mengikuti langkah wanita paruh baya itu dengan hati-hati, sesekali matanya melirik untuk memerhatikan keadaan sekeliling rumah. Rumah sederhana, jauh dari kesan mewah dan modern. Semua perabot yang ada di dalam rumah Bayu masih nampak seperti perabotan tua. Mungkin hanya televisi dan lemari es saja yang terlihat lebih modern di antara barang dan perabotan yang ada di rumah ini. Meski begitu ada kesan nyaman dan tenang berlama-lama di dalam rumah.
Langkah Ibu Bayu berhenti di dapur. Melody semakin was-was saat ini. Dia khawatir Ibu Bayu akan memintanya melakukan suatu hal yang berhubungan dengan dapur. Rasanya dia ingin menangis saat ini kalau Ibu Bayu benar-benar memintanya melakukan hal itu. Menyentuh bawang saja dia tidak pernah, menyebutkan nama rempah-rempah dapur ataupun bumbu masakan saja masih suka salah-salah. Namun di luar dugaan ternyata Ibu Bayu justru menawarkan Melody untuk makan dan hanya meminta dibantu menyiapkan meja makan untuk Bayu, juga Melody.
"Bayu itu makannya nggak ruwet, nggak pilih-pilih, tapi bikin orang yang masakin buat dia malah bingung. Karena setiap kali ditanya pengen makan apa, jawabannya cuma terserah. Kan bingung yang mau masak. Bener nggak, Nak Melody?"
Melody tergagap mendengar pertanyaan Ibu Bayu. Dia terlalu fokus mendengarkan cerita Ibu Bayu sampai-sampai merespon pertanyaan sederhana seperti itu dengan wajah bingung.
"I...iya, Bu. Bener banget. Biasanya cewek yang kalau ditanya makan apa, jawabnya terserah. Bayu beda. Justru Bayu yang selalu jawab terserah, aku ngikut aja," jawab Melody, seolah ingin menyampaikan semua hal-hal antik yang pada diri Bayu di depan ibunya.
Ibu Bayu tertawa renyah menanggapi ucapan Melody. "Nak Melody sama Bayu itu seumuran atau nggak?" tanyanya kemudian.
"lebih tua Bayu dua tahun. Kenapa, Bu?" tanya Melody ingin tahu.
"Kalau lebih tua Bayu, ada baiknya panggil Bayu dengan sebutan A'a, ya. Terkesan lebih sopan, lebih menghargai dan tentunya enak didengar," jelas Ibu Bayu penuh kelembutan.
Melody tersipu malu mendengar nasihat itu. Sebenarnya dia sudah lama ingin memanggil Bayu dengan tambahan sebutan A'a di depan nama Bayu. Namun dia malu melakukan itu karena bukan Bayu sendiri yang memintanya.
"Nanti kalau Bayu datang ajak makan, ya. Kalian makan berdua aja. Ibu masih urus masakan di rumah sebelah. Acaranya di sana nanti. Soalnya kalau di rumah ini nggak muat," ujar Ibu Bayu sebelum pergi.
"Iya, Bu. Terima kasih," jawab Melody sopan.
Selang lima belas menit kemudian, terdengar suara salam dari arah pintu. Melody melongokkan kepala dari arah dapur untuk melihat siapa yang datang. Seorang pria paruh baya, usianya sekitar usia Ibu bayu.
"Teh Elis mana?" tanya pria tersebut.
Melody yang bingung ditanyai seperti itu hanya celangak celinguk mencari sesorang yang bisa membantu menjawab pertanyaan pria di depannya ini.
"Ada perlu apa, Pak?"
"Mau antar pesanan kue. Saya sedang buru-buru, nanti tolong titip notanya untuk Teh Elis ya. Saya taruh mana kotak-kotak kuenya, Neng?"
Mencoba menerka siapa Teh Elis yang dimaksud oleh pria itu, Melody menghubungi Bayu melalui ponselnya. Ternyata Bayu tidak membawa ponsel. Tidak lama kemudian terdengar deru suara motor berhenti di halaman rumah. Melody mendesah lega saat mengetahui siapa yang datang.
"Ngantar kue pesanan Ibu, ya, Mang?" tanya Bayu begitu berada di teras rumah.
"Iya, Bay. Ibu kamu mana?"
"Di rumahnya Bibi Heni kayaknya. Langsung aja ke sebelah, Mang."
"Oh...di rumah sebelah. Ya...udah Mamang langsung antar ke rumah bibi kamu aja. Omong-omong, saha eta, Bay?" ujar pria yang dipanggil Mamang oleh Bayu dengan lirih, sembari memberi kode melalui lirikan mata ke arah Melody. (siapa itu, Bay?)
"Kenapa, Mang?" Bayu bertanya balik setelah menoleh ke arah Melody sembari menahan senyum.
"Nggak kenapa-kenapa. m**i geulis," ujar pria tersebut.
"Kalau nggak geulis, aku nggak mau bawa ke sini, Mang," canda Bayu. Pria tadi hanya tertawa menanggapi ucapan bernada bercanda dari Bayu, kemudian meninggalkan rumah orang tua Bayu menuju rumah yang telah ditunjukkan oleh Bayu.
"Oh...kalau nggak cantik nggak mau bawa aku ke sini? Oke, cukup tahu," uajr Melody memasang wajah pura-pura cemberut.
"Canda sayang, canda," ujar Bayu, mencubit gemas kedua pipi Melody.
"Bibi kamu mana?" tanya Melody setelah menyadari kalau Bayu kembali seorang diri.
"Minta diturunin di rumah sebelah. Rumah bibiku yang satu lagi. Tetehnya almarhum ayahku. Acaranya nanti habis magrib di rumah itu."
"Iya, tadi ibu kamu sudah bilang sebelum pergi. Makan yuk, pesen ibu kamu tadi kalau kamu datang disuruh makan," ujar Melody, menggiring Bayu ke arah dapur.
"Masakan Ibu kamu enak ya?" ujar Melody setelah mencoba beberapa menu masakan buatan Ibu Bayu.
"Dulunya ibu nggak bisa masak sama sekali. Tapi karena ayahku nggak suka makanan di luar, ibu berusaha banget belajar masak. Belajar dari teteh-tetehnya ayah, juga dari saudaranya yang lain. Akhirnya jadi terbiasa karena terpaksa."
"Aku bisa gitu juga nggak, ya, nanti?" gumam Melody, tetapi suaranya masih bisa didengar oleh Bayu.
"Kenapa tanya gitu? Memang kamu sudah siap berkeluarga?" tanya Bayu iseng.
"Cuma berangan-angan aja, kok," jawab Melody menyembunyikan semburat malu di wajahnya.
"Angan-angan bisa jadi kenyataan kalau diperjuangkan."
"Memangnya kamu mau menikah dengan perempuan yang nggak bisa masak kayak aku?"
"Nanti aku belikan perabotan masak lengkap, buku-buku resep masakan dari yang paling sederhana sampai paling rumit buat kamu belajar masak. Kalau perlu aku panggil koki profesional buat ngajarin kamu masak. Gimana?" tantang Bayu.
"Segitunya banget, sih?"
"Lebih dari itu. Tapi pertanyaan pentingnya adalah kamu mau menikah sama aku?"
"Ayo makan. Ngobrol mulu nggak kelar-kelar nanti makannya."
"Jawab dulu pertanyaan aku?" tanya Bayu, meraih salah satu tangan Melody, lantas meremas jemarinya penuh kelembutan.
"Becandanya jangan kelewatan, dong, Bayu!"
"Siapa yang bercanda? Aku serius."
"Ya tapi nggak harus ditanyain sekarang banget. Aku belum siapin jawaban," ujar Melody lirih, menundukkan kepalanya.
"Iya, iya..., maaf. Aku cuma pengen tahu aja."
Lalu tidak ada obrolan lagi antara keduanya. Pikiran mereka berporos pada laju pikiran masing-masing, sedangkan makanan di atas meja seolah menjadi pelengkap saja. Sekadar menutupi rasa gelisah yang kini menghampiri hati kedua insan yang tengah di mabuk asmara itu.
"Makannya kenapa sedikit?" tanya Bayu ketika melihat Melody sudah mengakhiri acara makannya.
"Udah kenyang."
"Kenyang? Karena pertanyaanku tadi ya?" tanya Bayu, merasa menyesal telah mengajukan pertanyaan dadakan tadi pada Melody. Kini dia menyalahkan dirinya yang tidak berpikir ulang sebelum mengajukan pertanyaan berat seperti tadi.
"Nggak juga. Tapi beneran udah kenyang. Nanti agak maleman aja makan lagi. Kamu sudah selesai?" tanya Melody, berusaha menetralisir perasaannya sendiri.
"Iya, aku juga udah selesai. Sini piring kamu biar aku bawa ke bak cuci piring."
"Nggak usah, biar aku aja. Tadi ibu kamu sudah kasih tahu tempatnya waktu aku mau cuci tangan."
Bayu mengangguk beberapa kali. "Nggak usah dicuci piringnya, Mel. Taruh aja di situ," ujarnya setelah Melody meninggalkan meja makan.
"Cuma dua ini."
"Udah, nggak usah. Ayo, kita ngobrol di depan aja," ujar Bayu, menarik tangan Melody yang hendak berjongkok di dekat sumur tua tapi masih dimanfaatkan dengan baik airnya.
Melody akhirnya menurut dan mengikuti langkah bayu menuju ruang tamu. Keduanya mengobrol ringan, membicarakan konsep acara yang akan dilangsungkan beberapa jam lagi.
"Nanti kamu pakai sarung dan baju koko, dong, Bayu?" tanya Melody iseng.
"Iya, kenapa?"
"Pasti gantengnya nambah."
"Berarti dasarnya aku udah ganteng, dong?"
"Iya, kalau nggak ganteng aku nggak mau sama kamu," jawab Melody, membalas
"Oh...gitu."
Melody tertawa melihat ekspresi yang ditampilkan oleh Bayu. Antara kesal sekaligus menahan diri ingin ikut tertawa seperti Melody.
"Aku boleh panggil kamu A'a nggak?" tanya Melody setelah tawanya mereda.
"Tumben? Siapa yang nyuruh? Ibuku, ya?" tebak Bayu.
"Ibu kamu tadi hanya menyarankan. Tapi aku memang pengen panggil kamu dengan sebutan A'a, sih, dari awal kita jadian. Gimana, boleh atau nggak?"
"Boleh banget. Aku juga suka dipanggil A'a sama kamu," ujar Bayu, melempar sebuah senyum terbaik untuk Melody.
~~~
^vee^