Agni memastikan untuk melihat foto itu sekali lagi.
Ya, betul, itu Altair Orion bersama seorang lelaki yang mirip Andra.
Agni diam diam mengeluarkan ponselnya dan mengambil foto dari potret yang ada di dinding tersebut. Setelahnya ia pun kembali ke ruang makan.
"Kenapa kamu lama?" Andra berbisik.
"Aku tersesat," Agni menahan senyumnya.
Andra ikut tersenyum, "Kamu ada ada saja."
"Ada apa?" Alta bertanya sambil memperhatikan Agni dan Andra.
Andra akhirnya tertawa, "Agni barusan tersesat."
Agni menyikut Andra dan ikut tertawa, "Iya saya tadi bingung mencari jalan kembali ke ruang makan ini. Rumah bapak besar sekali.
Altair tertawa, "Rumah ini mungkin membingungkan untuk yang pertama kali menjejakkan kakinya di sini, tapi lama kelamaan juga akan terbiasa."
"Bapak tidak kesepian tinggal di rumah sebesar ini?" Agni dengan cueknya bertanya.
Altair terlihat berpikir, "Sepi? Dari dulu saya menyukai suasana sepi, jadi saya tidak pernah berpikir kesendirian di rumah ini sebagai bentuk kesepian."
"Apartemen saya dan Andra bersebelahan. Itu awal perkenalan kita," Agni mulai bercerita. "Sendiri di apartemen yang tidak terlalu besar saja sering membuat saya kesepian, jadi saya sering sekali mengganggu Andra setiap harinya. Apalagi di rumah sebesar ini."
Altair tertawa, "Kamu tidak menyukai suasana sepi?"
"Iya. Saya lebih menyukai saat suasana terasa semarak. Antara gunung atau pantai, buat saya tidak kedua duanya. Saya pilih suasana perkotaan," Agni terus saja bercerita.
Andra mencubitnya pelan. Agni langsung diam.
"Kenapa diam?" Alta tersenyum, "Lanjutkan ceritamu."
"Sa-saya memintanya diam. Maafkan kalau rekan saya ini terlalu bawel," Andra bicara perlahan.
Alta tertawa, "Tidak usah seperti itu. Jadi diri sendiri. Saya memang menyukai suasana sepi tapi dengan saya mengundang kalian ke sini, artinya saya tidak keberatan untuk kita bisa mengobrol dan bercerita."
Agni menyikut Andra sambil tersenyum, "Tuh kan. Bapak Alta tidak keberatan dengan kebawelanku."
Andra akhirnya tertawa, "Agni memang cerewet tapi dia membuat suasana lebih hidup."
"Syukurlah kalau Bapak Alta tidak terganggu," Andra menahan senyumnya.
"Tidak. Saya tidak terganggu, jadi tidak masalah," Alta menjawabnya dengan bijak.
Alta kemudian memperhatikan kalau ternyata Andra dan Agni sudah selesai makan, "Kenapa kalian sudah selesai makannya?"
"Saya kenyang sekali. Ini sedikit memalukan tapi saya menghabiskan sepuluh tusuk sate," Andra bicara apa adanya.
Agni hanya tertawa, "Kamu kalau sudah bicara sate ayam, rasanya segerobak juga habis."
"Apa iya?" Alta menunjukkan ketertarikan pada cerita mengenai Andra.
"Iya pak. Kalau boleh saya cerita, awal perkenalan saya dan Andra, waktu itu saya membawakan makan siang berupa mie goreng. Andra pun makan, tapi tidak habis. Alasannya kenyang," Agni bercerita.
"Eh tiba tiba ada kiriman sate ayam siang itu. Ternyata, sebelum saya mengirimkan mie goreng ke apartemennya, dia sudah memesan sate lewat pesan antar untuk makan siang. Yang katanya kenyang ternyata menghabiskan semua sate yang dia pesan," Agni tertawa.
"Sejak itu saya langsung tahu kalau Andra maniak sate ayam," Agni menggelengkan kepalanya.
"Sepuluh tusuk rasanya itu tidak normal. Kamu biasanya lebih," Agni menggoda Andra.
Andra hanya menonjoknya pelan. Alta memperhatikan dan tersenyum.
"Cerita kalian membuat saya senang, kita mengobrol lagi nanti. Tapi, sebelumnya, kita ke ruang kerja saya dulu. Itu tujuan kita malam ini bukan?" Alta berdiri dari kursinya.
Enif, Andra dan Agni pun mengikutinya.
"Kita bicara bisnis dulu sekarang," Alta melangkah menuju ruang kerjanya.
Di ruang kerja Altair Orion yang bernuansa serba kayu kecoklatan menunjukkan mahalnya interior ruangan tersebut. Lemari lemari buku besar berderet memenuhi dua bagian dinding ruangan.
Agni langsung tertarik. Ingin rasanya membaca buku itu satu persatu. Tapi mungkin nanti, setelah urusan selesai.
"Silahkan duduk," Alta duduk di kepala meja rapat yang ada di ruangan tersebut.
Andra dan Agni duduk bersebelahan berhadapan dengan Enif.
"Saya sudah mempersiapkan kontrak kerjasama," Enif menyodorkan sebuah map.
"Bapak Alta berperan sebagai angel investor dan akan mendapatkan hak saham atas perusahaan kalian setelah semuanya berkembang. Adapun satu juta dollar atau sekitar lima belas milyar ini merupakan seed funding atau pendanaan awal," Enif menjelaskan.
"Kami sudah menerima business plan dan itu bisa segera dieksekusi. Namun, beberapa catatan yang harus segera kalian jalankan adalah lengkapi legalitas usaha, bentuk tim yang kompeten, dan setelahnya jangan lupa untuk melakukan validasi serta bangun produk dan layanan," jelas Enif.
"Pada tahap awal, ini merupakan masa burn rate atau istilah umum orang bilang adalah bakar uang. Kita pahami kondisi itu. Tapi tolong, lakukan perencanaan dengan baik. Kita hitung burn rate ini, hingga akhirnya nanti perusahaan bisa menghasilkan. Ada tim khusus yang bisa membantu kalian untuk melakukan perencanaan keuangan dengan baik. Itu kalau kalian belum memiliki tim keuangan sendiri. Tapi, kalau sudah, lebih bagus lagi," tambah Enif.
"Jujur, kami belum berpikir sejauh itu. Jadi, kami pasti akan terus meminta bimbingan dan arahannya," Andra mengangguk.
"Ada tim khusus yang bisa membantu kalian menjalankan usaha ini, mulai dari aspek legal hingga persoalan keuangan," Enif mengungkapkan, "Nanti sambil berjalan, tim ini berperan seperti layaknya konsultan."
"Banyak start up berjatuhan karena lemah dari aspek manajemen keuangan dan dan legal. Ini menjadi fondasi penting selain aspek teknologi, produk dan juga pemasaran," Enif memaparkan.
"Tim konsultan ini nanti berkoordinasi pada saya," Enif kembali menjelaskan.
"Terima kasih sekali kalau ada tim khusus yang bisa membantu kami menjalankan bisnis ini, khususnya dari sisi operasional," jelas Andra. "Saya juga bisa sambil belajar."
"Itu tujuan kami. Jadi, tim konsultan ini nanti semacam pendampingan saja sampai usaha bisa berjalan sepenuhnya. Setelah itu, semuanya lepas. Mas Andra dan Mbak Agni bisa menjalankannya sendiri bahkan mungkin merekrut tenaga kerja secara langsung," tambah Enif lagi.
Agni mengangguk senang, "Kamu merasa terbantu sekali kalau memang ada tim khusus yang bisa mendampingi proses awal. Tidak bisa kami pungkiri, kami lemah dari sisi menajemen."
"Nanti secara teknis kita bahas lagi, dan ini kontrak kerjasama kita," Enif membuka map berisi kontrak itu untuk Andra tanda tangani.
"Silahkan dibaca dulu dan setelahnya ditandatangani," Enif tersenyum.
"Baik pak. Apa boleh saya dan Agni meminta waktu untuk membacanya dulu?" Andra meminta izin pada Enif.
"Tentu saja. Silahkan kalian berdiskusi," Enif mengangguk.
"Biarkan dua anak muda ini berdiskusi di sini. Enif, temani saya sebentar," Alta mengajak Enif keluar dari ruang rapat.
"Terima kasih pak," Andra dan Agni pun mulai berdiskusi.
Di luar ruang kerjanya, Alta berbisik pelan pada Enif, "Siapkan dua kamar tamu. Saya akan meminta mereka berdua menginap."
"Baik pak," Enif hanya tersenyum.
Alta melanjutkan ucapannya, "Enif, sejak kehadiran kedua anak muda itu, rasanya saya akan kesepian kalau mereka tidak ada. Rumah besar ini, akhirnya akan terasa sepi bagiku. Gadis muda yang bersama dengan cucuku itu membuat saya tertarik. Apa menurutmu mereka pasangan yang serasi?"
Enif hanya tergelak, "Saya mungkin buta soal cinta pak. Tapi, saya melihat ketulusan diantara keduanya."
"Ya, itu juga yang saya lihat," Alta tersenyum lebar.
"Gadis muda itu sepertinya bisa mendampingi cucuku dengan baik. Semoga saja," Alta mengangguk angguk.
***
"Andra, menurutku ini sudah aman semua. Kamu bisa menandatanganinya," Agni selesai membaca ulang kontrak itu secara menyeluruh.
"Aku pikir juga begitu," Andra mengangguk.
"Bagaimana kalau kamu ikut menandatangani. Aku rasanya kurang percaya diri," Andra menatap Agni.
"Kamu harus percaya diri. Bagaimana kalau aku tidak ada di sisimu lagi? Jadi, percaya diri ok?" Agni menatapnya sambil tersenyum. Ia mencoba tetap terlihat ceria.
"Me-memang kamu mau kemana?" Ekspresi wajah Andra langsung berubah.
Agni mencoba tertawa, "Aku tidak kemana mana. Itu hanya pemisalan saja, agar kamu lebih percaya diri."
Andra mengatupkan bibirnya, "Apa betul?"
Agni mengangguk, "Iya betul."
"Syukurlah," Andra akhirnya tersenyum. "Ya sudah, aku tanda tangani dulu."
"Kamu harus lebih percya diri Andra. Kamu itu cerdas, bahkan menurutku jenius. Tapi, kamu kadang seperti serba lambat kalau urusan sosial," Agni tertawa.
"Untuk urusan itu, ada kamu bukan?" Andra menatapnya seperti meyakinkan dirinya.
Agni hanya berdehem dan menunduk, "Ah sudah. Cepat tanda tangani dulu kontrak itu. Ini sudah semakin malam."
"Ah ya kamu benar," Andra mengeluarkan pulpen miliknya dan menandatanganinya.
Tak lama, Altair Orion dan Enif kembali masuk ke ruangan.
"Bapak, ini sudah kami tandatangani," Andra menyerahkan map tersebut.
"Syukurlah. Tidak ada kendala?" Enif memastikan.
"Tidak pak," Andra mengangguk.
"Mas Andra, Mbak Agni, ini sudah semakin larut malam, dan tidak mudah mendapatkan taksi semalam ini ke daerah sini. Jadi, Bapak Alta mengundang kalian menginap. Untuk pakaian ganti, jangan khawatirkan apapun. Nanti kita persiapkan. Bagaimana?" Enif menatap Andra dan Agni bergantian.
"Saya senang berbincang bincang dengan kalian. Semoga kalian tidak menolak ajakan ini," Altair ikut menunggu jawaban Andra dan Agni.
"Ba-baik pak," Agni mengiyakan, begitupun juga Andra yang menunjukkan gestur tidak menolak.
"Syukurlah. Saya senang," Alta memamerkan senyumnya dan tak menutupi kesenangan yang ia rasakan.
"Besok, saya ajak keliling rumah," Alta menyampaikan rencananya.
"Wah seru..."Agni langsung semangat.
Andra ikut antusias mendengar semangat Agni, meski hati kecilnya bertanya tanya.
Agni, kamu tidak akan meninggalkanku bukan?
Kamu akan selalu ada di sisiku?
***
"Bangun! Kita harus bersiap siap," Jayanti membangunkan Bastian yang tertidur di sampingnya. Semalam Bastian menginap di apartemennya.
"Ah! Lima menit lagi," Bastian menggumam.
"Kita janjian dengan Kakek Alta jam sarapan bukan?" Jayanti mengingatkan Bastian.
"Ah ya kamu benar. Tapi biarkan aku melakukannya dengan cepat," Bastian menyingkapkan selimut yang menutupi tubuh polos calon istrinya itu.
"Apa yang kamu lakukan? Kita terburu buru," Jayanti menolaknya.
"Ah!" Bastian langsung kecewa.
"Kalau kamu mau, kita lakukan di kamar mandi. Cepat!" Jayanti bangkit dari tempat tidur.
Bastian mengikutinya masuk ke kamar mandi.
***
Agni dan Andra sudah duduk di meja makan. Namun mereka memperhatikan kalau ada tambahan dua set peralatan di meja makan tersebut.
Tak lama Alta duduk di kepala meja makan tersebut, "Ada yang akan ikut bergabung sarapan. Saya lupa sama sekali kalau ada janji pagi ini. Semoga kalian tidak keberatan."
"Ti-tidak pak. Tidak masalah," Agni mengiyakan.
"Syukurlah. Tamu ini bagian dari keluarga saya juga. Dia cucu dari sepupu saya yang akan menikah satu minggu lagi dan dia bermaksud mengenalkan calon istrinya. Namanya Bastian Aldebaran. Calon istrinya juga ikut bergabung, tapi saya lupa namanya," Alta mengungkapkan tamu yang akan datang pagi itu. "Nanti kita bisa berkenalan."
Agni membelalakkan matanya. Ia langsung menatap Andra yang terlihat pucat pasi.
Bagaimana ini?