[“Naura … aku merindukanmu....”] Terdengar suara keras dari ujung sana bahkan membuat Naura menyingkirkan ponselnya dari telinga.
“Tak bisakah kau mengecilkan suaramu Nadine, telingaku sampai sakit kau tahu?” jawab Naura dan menempelkan kembali ponselnya.
[“Hehehe … maafkan aku Naura, kau tahu aku sangat bahagia bisa menghubungimu.”]
“Ya, untuk model terkenal sepertimu pasti sangat sibuk bahkan sekedar menelpon sahabatmu ini.” Naura dapat memaklumi pekerjaan sahabatnya yang super sibuk sebagai seorang model di luar Negeri..
[“Ayolah Naura jangan seperti itu ….”]
“Aku hanya bercanda Nad, aku bahagia kau berhasil meraih cita-citamu dan sukses,” kata Naura pada akhirnya. Ia tidak benar-benar berniat menyinggung Nadine.
[“Naura … kau memang sahabat terbaikku. Sebenarnya aku ada kejutan untukmu.”]
“Kejutan?” tanya Naura penasaran.
[“Coba tebak sekarang aku ada dimana? Sekarang aku ada disini .…”]
“Disini?” Naura belum paham ucapan sahabatnya itu.
[“Tentu saja Naura, aku ada di Jakarta. Jadi kau tak boleh melewatkan kesempatan emas bertemu denganku. Hahaha ....”]
“Benarkah? Kapan kau kembali?” tanya Naura yang kini menyandarkan punggungnya pada dinding.
[“Aku baru sampai kemarin. Jadi kita harus bertemu.”]
“Kau sampai kemarin dan baru menghubungiku? Kau jahat Nad,” kata Naura dengan suara bernada jengkel. Ia pura-pura marah namun seulas senyum terpatri di bibirnya.
[“Maafkan aku Naura, sebenarnya aku disini hanya sebentar. Lusa aku akan kembali ke Inggris, sudah ada pekerjaan yang menungguku. Jadi karena aku ada disini, kita harus bertemu. Titik. Sekarang. Ditempat biasa.”]
“Ta-- tapi aku ….”
[“Apa? Aku tidak menerima alasan apapun. Aku akan menunggumu disini sampai kau datang. Kalau tidak aku tak akan memaafkanmu.”]
Piip… Sambungan terputus. Naura mencoba menjelaskan tapi sambungan sudah terputus.
Nadine adalah teman sekaligus sahabat Naura. Mereka berteman sejak SMP hingga SMA. Dulu Naura adalah seorang yang pendiam. Ia bahkan kerap menjadi korban bully di sekolahnya, namun berkat Nadine, ia mulai berubah. Meski tak banyak, setidaknya Naura mulai berani menunjukkan dirinya.
Namun mereka harus berpisah kala Nadine memilih pendidikan di Inggris menyelesaikan kuliah disana dan menjadi model disana pula. Sejak itu mereka jarang bertemu, Nadine yang sangat sibuk hampir tak pernah pulang ke Bandung. Sebagai sahabat, Naura menyadari bahwa sahabatnya itu memiliki kesibukannya sendiri. Mereka hanya berkomunikasi lewat telepon, itu pun jarang namun mereka tetap bersahabat. Naura tak akan melupakan kebaikan Nadine. Nadine yang menjadikannya kuat, Nadine yang selalu memberinya semangat kala ia merasa terpuruk atas sikap ibunya. Nadine sudah seperti saudara melebihi saudaranya sendiri.
“Bagaimana ini?” gumam Naura dengan cemas.
“Pergilah.” Suara dibelakangnya membuat Naura menoleh.
“Aksa ... kau mendengarnya?” Naura merasa tak enak hati pada Aksa. Ia berjalan mendekat pada Aksa yang berada di ambang pintu.
“Pergilah. Aku tak akan melarangmu,” ucap Aksa tanpa ekspresi.
“Tapi aku tak mungkin meninggalkanmu sendiri. Aku sudah berjanji pada bibi Yasmin untuk menjagamu,” kata Naura.
“Aku tak akan mengadu pada ibuku.” Aksa memutar kursi rodanya dan berbalik kembali ke dalam kamarnya.
“Tunggu!” Naura mencegah Aksa dan meraih kursi rodanya. “Bagaimana jika kau ikut?” saran Naura seketika. Ia tak bisa meninggalkan Aksa, ia juga tak bisa menolak keinginan Nadine.
Aksa tersenyum sarkastik dan berkata, “Apa kau yakin? Kau akan malu jika keluar dengan orang cacat sepertiku.”
“Tidak.” Naura beralih ke depan Aksa menggenggam tangannya erat penuh harap, hanya ini cara yang paling tepat agar ia tidak mengecewakan Yasmin dan juga Nadine. “Dia adalah sahabat terbaikku, aku tak bisa menolak keinginannya. Kami hampir tak pernah bertemu. Tapi aku juga tak bisa meninggalkanmu. Aku sudah berjanji untuk menjagamu selama bibi pergi. Jadi aku mohon, bantulah aku.” Naura tahu Aksa tak dapat melihat dilema yang kini ia rasakan. Tapi ia berharap Aksa tahu bagaimana perasaannya saat ini.
Aksa hanya diam. Tak ada jawaban, Naura mengambil ponselnya mencoba memberitahu Nadine bahwa ia tak bisa namun sebelum itu terjadi suara Aksa membuatnya terhenti.
“Jangan salahkan aku bila orang-orang menghinamu karena pergi dengan orang cacat sepertiku,” kata Aksa dengan cepat. Aksa hanya ingin tahu apakah ucapan Naura sesuai kenyataannya nanti.
“Terimakasih … terimakasih Aksa,” ucap Naura penuh kelegaan.
“Apakah kau merasa tak nyaman jika kita menaiki kendaraan umum?” tanya Naura yang kini telah bersiap berangkat. Aksa hanya menggeleng. Ini kesempatannya membuat Naura malu dan membuatnya berhenti seolah peduli.
Dan disinilah mereka sekarang. Mereka telah berada dalam bus umum. Aksa tak peduli bagaimana tatapan orang-orang padanya. Sebenarnya Aksa sangat ingin tahu bagaimana ekspresi Naura saat ini.
Naura kini duduk di samping Aksa, sebenarnya Naura dapat melihat jelas bagaimana tatapan iba orang-orang padanya namun ia tak memperdulikannya. Ia justru tak enak hati pada Aksa atas tatapan atau bisikan orang atas keadaannya.
“Hei, disini bukan tempat orang cacat, tempatmu di belakang,” ucap salah seorang penumpang pria yang baru masuk menaiki bus.
“Maaf. Tapi ia bersamaku, Tuan.” Dengan cepat Naura menjawab.
“Gadis bodoh, mau-maunya direpotkan pria cacat sepertinya. Dimana otakmu!” ucap pria berwajah sangar itu dengan kasar.
Dengan tenang Naura menjawab, “Saya sama sekali tak merasa direpotkan. Justru orang seperti anda yang merepotkan penumpang lain.” Tepat setelah mengatakan itu Naura sampai di tempat tujuan. Ia hendak melewati pria itu untuk turun dan saat itu juga pria itu hendak meraih Naura sampai salah seorang penumpang mencegahnya.
“Kau akan terkena masalah jika mengganggu mereka,” ucap penumpang lain yang mencengkram tangannya disertai tatapan mengancam dari penumpang lainnya membuat pria itu mengurungkan niatnya.
Naura berterima kasih pada penumpang itu kemudian keluar melalui pintu khusus disabilitas. “Apa kau bodoh? Wajar jika pria itu memarahimu karena membawaku ke tempat penumpang umum,” ucap Aksa saat mereka turun dari dalam bus.
“Jika kau disana maka penumpang yang juga menggunakan kursi roda tadi tidak punya tempat. Tempat khusus disabilitas sudah penuh, pria itu sendiri dan kau bersamaku, jadi aku pikir lebih baik kita di depan agar pria itu bisa naik. Lagipula kita ada di posisi paling belakang penumpang umum.” Naura menjelaskan alasannya yang membuat Aksa terdiam. “Tapi … maaf, karena itu kau harus mendengar ucapan kasar pria tadi, maaf.” Naura menunduk menatap Aksa dari atas, ia tak bisa melihat wajah Aksa dari posisinya yang mendorong kursi roda saat ini. “Sekali lagi, aku minta maaf Aksa.” Naura berhenti sejenak berharap Aksa mengatakan sesuatu.
“Untuk apa? Aku tak peduli,” ucap Aksa datar. Meski begitu sebenarnya ia memikirkan apa yang dilakukan Naura. Naura pun hanya diam dan kembali mendorong kursi roda Aksa.
Kini mereka telah sampai tempat tujuan, Naura mendorong kursi roda Aksa memasuki sebuah restoran. Naura mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan mencari keberadaan sahabatnya. Sampai sebuah suara memanggilnya dan membuatnya menoleh.
“Naura! Disini….” Seorang wanita cantik tampak melambai pada Naura dari sudut ruangan. Naura segera menuju sahabatnya, mendorong kursi roda Aksa sedikit lebih cepat namun tetap berhati-hati agar tidak mengganggu pengunjung lain.
“Naura … aku merindukanmu….” Wanita itu segera memeluk Naura erat, menyalurkan rasa rindu yang teramat dalam selama ini.
“Aku juga merindukanmu Nad.” Naura membalas pelukan itu tak kalah erat. Ia bahkan sampai meneteskan air mata.
Mereka akhirnya melepas pelukan mereka dengan tersenyum senang. “Ada banyak cerita yang ingin kuceritakan padamu.” Nadine, nama wanita itu menghapus air matanya dan menatap Naura haru. “Tapi … tunggu dulu….” Nadine menatap Aksa dan Naura bergantian.
“Ini Aksa ….” Naura terdiam sejenak, apakah tidak apa jika ia mengatakan Aksa adalah teman?
“Aksa?” Nadine memperhatikan Aksa dengan seksama. “Perkenalkan, namaku Nadine dan aku sahabat Naura.” Nadine mengulurkan tangannya namun tak mendapat balasan dari Aksa.
“Maaf Nadine … Aksa….” Naura mencoba memberitahu Nadine dengan memberi isyarat hingga akhirnya Nadine mengerti bahwa Aksa tak bisa melihat.
“A … maaf,” gumam Nadine dengan sedikit rasa bersalah. “Jadi ini alasanmu ingin menolak bertemu denganku?” goda Nadine pada Naura yang sudah duduk. Naura menyisihkan kursi restoran agar Aksa bisa duduk di sampingnya.
“Apa maksudmu Nad,” Naura tahu sahabatnya tengah menggodanya dan berhasil membuatnya merona malu.
Nadine yang melihatnya hanya tersenyum tipis, ia dapat melihat wajah sahabatnya itu sedikit merona saat ia menggodanya. Sejak dulu Naura tidak pernah mempunyai teman dekat laki-laki, bahkan Nadine yakin sampai saat ini Naura belum memiliki kekasih. Tapi kenapa saat menggodanya dengan Aksa ia tampak tersipu? Nadine memperhatikan Aksa dari atas hingga bawah, pria itu memang tampan, tapi sayangnya tak bisa melihat dan harus berada di atas kursi roda, kenapa Naura bisa bersama pria seperti ini? Meski Nadine tak memandang seseorang hanya dari fisik tetap saja sebenarnya Naura masih bisa mendapat pria yang lebih sempurna.
“Jadi sejak kapan?” tanya Nadine dengan kembali tersenyum menggoda sambil melirik Aksa dan Naura bergantian, ia ingin memastikan yang sebenarnya.
“A-- apa maksudmu Nad?” Wajah Naura kian merona merah mengetahui maksud ucapan sahabatnya itu.
“Kau sangat lucu saat merona malu seperti ini, Naura.” Nadine tersenyum hingga matanya menyipit, sepertinya tebakannya benar jika Naura memiliki hubungan khusus dengan Aksa dilihat dari raut wajah Naura yang tersipu malu.
Alis Aksa mengernyit mendengar ucapan sahabat Naura. Wanita itu mengatakan Naura merona malu? Karena apa? Ia pikir sahabat Naura menggodanya dengan maksud menyindir atau dengan maksud lain, tapi kenapa Naura justru tersipu?
Dan pada akhirnya terjadilah obrolan panjang antara mereka. Sementara Aksa hanya diam mendengarkan hingga pesanan telah datang dan dengan sigap Naura mengambil makanan untuk Aksa.
“Maaf Aksa, bukalah mulutmu.” Naura hendak menyuapi Aksa.
Aksa membuka mulut. Aksa pikir dengan begini Naura akan merasa malu dan jijik karena harus menyuapinya di depan umum, atau mungkin sahabatnya juga merasa risih dan akan menasehati Naura untuk menjaga jarak dengannya. Aksa mengunyah potongan jamur dalam mulutnya dengan pelan. Tanpa Naura sadari ia juga menggunakan sendok yang sama dengan yang Aksa gunakan.
Nadine memandang pemandangan di depannya takjub. Ia merasa kasihan jika melihat sahabatnya seperti kerepotan, tapi sayangnya ia justru sama sekali tak melihat raut kesusahan dari wajah Naura. Bahkan Naura terlihat sangat sabar dan telaten.
“Kau memang tak berubah Naura. Kau selalu baik,” gumam Nadine dengan terharu.
Naura merasa bahwa ada sepasang mata yang menatapnya tanpa henti. “Nadine, kenapa melihatku seperti itu?” Wajah Naura memerah malu. Ia baru sadar bahwa sendok yang ia gunakan adalah sendok Aksa.
“Kau tahu ... kalian sangat romantis,” ujar Nadine dengan gembira bahkan ia sampai bertepuk tangan.
“A-- apa maksudmu? Jangan berkata seperti itu.” Wajah Naura kian memerah mendengar ucapan wanita yang duduk berhadapan dengannya ini.
Mendengar ucapan sahabat Naura, Aksa merasa kalah. Sahabat Naura sama sekali tak merasa risih. Justru ia seolah bahagia melihatnya dan Naura. Bahagia yang benar bahagia, bukan kepura-puraan. Naura mempunyai sahabat yang baik, selama ini ia juga menunjukan sikap baik, bahkan selalu mencoba melindunginya dari ucapan jahat orang-orang. Mungkinkah Naura memang berbeda?
***
“Maaf merepotkanmu, Nad.” Saat ini Naura, Aksa dan Nadine berada di depan rumah Aksa. Nadine mengantar keduanya pulang.
“Tidak apa-apa Naura. Aku senang sekali bisa bertemu denganmu hari ini.” Nadine memeluk Naura erat.
“Iya aku juga, jadi apa kau akan segera kembali?” Naura melepas pelukan dan menatap Nadine dengan mata berkaca-kaca.
“Banyak pekerjaan yang telah menungguku disana. Aku tidak tahu kapan aku bisa kembali kesini dan bertemu denganmu lagi.” Nadine mengusap air mata di sudut mata Naura dan tersenyum lembut.
“Bagaimanapun juga pekerjaanmu disana adalah cita-citamu yang berhasil kauraih. Jadi kau harus semangat,” kata Naura dan sekali lagi mereka berpelukan.
“Terimakasih Naura ... kau memang sahabat terbaikku....” Nadine semakin mengencangkan pelukannya.
“Ugh ... pelukanmu bisa membunuhku, Nad,” ucap Naura berpura-pura sesak nafas karena pelukan Nadine.
“Hahaha ... maaf Naura.” Nadine melepas pelukannya kemudian melihat Aksa yang hanya diam. “Terimakasih Aksa, sudah menemani Naura. Dan senang bertemu denganmu.” Nadine berucap tulus dan menjabat tangan Aksa kemudian bersiap memasuki mobilnya.
“Sampai jumpa Nad.” Naura melambaikan tangan kala Nadine telah memasuki mobil.
“Sampai jumpa Naura, aku akan sering menghubungimu.” Nadine juga melambaikan tangan dan menyalakan mesin mobil.
“Aku tahu model terkenal sepertimu sangat sibuk, Nona. Jangan coba menghiburku.” Naura memasang wajah cemberut berpura-pura kesal.
“Terimakasih Sayang, sudah mengerti kekasihmu ini. Sampai jumpa.” Nadine melajukan mobilnya meninggalkan Naura yang saat ini masih berada di depan gerbang menatap kepergiannya.
“Maafkan aku Aksa sudah merepotkanmu dan terima kasih telah bersedia menemaniku hari ini.” Naura mendorong kursi roda Aksa menuju ke dalam rumah.
“Hn.” Hanya jawaban singkat yang terucap dari mulut Aksa. “Antarkan aku ke kamar. Aku ingin mandi,” pinta Aksa.
“Ya baiklah.” Naura mendorong kursi roda Aksa menuju kamarnya namun langkahnya terhenti seketika. “Man-- mandi?” gumamnya.
“Hn?” Aksa tak mengerti, apa ada yang salah dengan ucapannya? Namun ia baru sadar, Naura pasti mengira kalau ia butuh bantuan untuk urusan yang satu itu. Aksa terkekeh. “Aku akan mandi sendiri, tak perlu bantuanmu. Atau … Apa kau ingin sekali membantuku?”
Wajah Naura memerah dan terasa panas. “Ti-- tidak … bu-- bukan begitu ....” Naura amat sangat malu mendengar ucapan Aksa yang seperti tengah menggodanya.
Aksa tahu, Naura pasti sangat malu dan salah tingkah di dengar dari caranya berbicara. “Aku sudah terbiasa mandi tanpa bantuan orang lain. Tapi tolong siapkan pakaianku dan taruh diatas tempat tidur.” Entah Aksa sadar atau tidak, tapi saat ini ia sepertinya sudah menerima kehadiran Naura.
“Ba-- baiklah ….” Naura segera membawa Aksa ke kamarnya. Sebenarnya ia tak yakin jika Aksa mampu melakukan kegiatan membersihkan diri sendiri dilihat seperti apa keadaan Aksa. “Apa kau yakin Aksa?” tanya Naura ragu. Dan Aksa mengangguk pasti sebagai jawaban.
“Baiklah aku akan menyiapkan pakaianmu.” Naura membuka lemari pakaian Aksa. Mengambil celana training dan kaos putih serta boxer milik Aksa. Jangan tanya lagi seperti apa wajahnya kini, tentu saja sangat merah malu. Ini pertama kali dalam hidupnya memegang celana dalam seorang pria, dan ini juga kali pertamanya bertindak seolah seperti istri yang menyiapkan keperluan suaminya. Dengan segera ia menaruh semuanya di atas ranjang. “Aku sudah menaruhnya di atas tempat tidurmu.”
“Hn. Keluarlah.” Naura segera menuju pintu hendak segera keluar dari kamar setelah mendengar perintah Aksa.
Mendengar pintu telah tertutup, Aksa mulai membuka satu persatu pakaiannya. Namun entah kenapa ia ingin tersenyum, membayangkan tingkah gugup Naura saat ia menggodanya, meski ia tidak tahu seperti apa wajah Naura.
Sementara dibalik pintu Naura memegangi dadanya. Jantungnya berdetak sangat cepat dan ia tidak tahu kenapa.
Hampir satu jam berlaku, kini Naura telah selesai menyiapkan makan malam untuk Aksa. Ia kemudian menuju kamar Aksa. Mengetuk pintu namun tak ada jawaban membuatnya dengan hati-hati membuka pintu. Ia mengedarkan pandangannya dan melihat Aksa tengah memakai kaos yang telah ia siapkan. Ia berjalan mendekat dan bertanya, “Apa kau butuh bantuan?”
“Tak perlu,” jawab Aksa. Saat ini Aksa terduduk di atas ranjang. Melihat itu Naura berpikir pasti Aksa memakai pakaiannya sendiri di atas tempat tidur agar memudahkannya mengenakan celana. Meski begitu Aksa pasti sedikit kesulitan dilihat dari banyaknya waktu yang Aksa butuhkan untuk mandi dan memakai pakaian.
“Maaf ….” Naura mencoba membuka kembali kaos yang Aksa pakai. “Kaosmu terbalik.”
Aksa hanya pasrah kala Naura membuka kembali kaosnya kemudian memakaikannya kembali.
“Jika kau butuh bantuan katakan saja. Aku sama sekali tak keberatan.” Naura mengatakannya dengan menatap Aksa iba. Mendengar ucapan Naura, hati Aksa terasa dicubit. “Aku sudah menyiapkan makan malam,” ucap Naura kemudian membantu Aksa duduk ke kursi rodanya.
Setelah selesai, Naura membawa Aksa menuju ruang makan kemudian segera menyiapkan makan malam untuknya. “Ada banyak tomat di kulkas jadi aku membuat sup tomat untuk makan malam," ujarnya yang kemudian meniup sup yang masih panas dan berniat menyuapi Aksa. “Bukalah mulutmu, Aksa," tuntunnya.
“Sepertinya aku yang seperti orang asing di rumahku daripada dirimu,” kata Aksa tanpa niat menyinggung Naura.
Naura mematung seketika mendengar apa yang Aksa katakan. “Ma-- maaf ... aku tak bermaksud lancang di rumahmu.” Naura merasa malu dan tak enak hati. Ya, disini ia seolah berada di rumahnya sendiri, padahal ia sendiri tak tahu mengapa ia seperti itu. Yang ada di pikirannya hanyalah menyiapkan makan malam untuk Aksa.
“Berikan padaku.” Pada akhirnya Aksa meminta makanan yang sempat tertunda lantaran ucapannya.
Naura segera mengambil sesendok sup dengan irisan tomat dan menyuapi Aksa kembali hingga tak terasa mangkuk Aksa telah kosong.
“Apa kau ingin lagi Aksa?” tanya Naura dan hanya dijawab gelengan. “Baiklah aku akan membersihkan ini. Tunggu sebentar.”
Belum sempat Naura berdiri dari duduknya, Aksa mencegahnya. “Tunggu. Boleh aku bertanya padamu?” tanyanya.
“Ya?” Naura menghentikan niatnya dan mendengarkan Aksa dengan serius.
“Kenapa kau peduli padaku? Kenapa kau tidak malu bersama orang cacat sepertiku? Kenapa kau tak risih harus direpotkan olehku? Kenapa kau mau membantuku?” tanya Aksa bertubi-tubi.
Mendengar pertanyaan Aksa, Naura setengah menunduk dengan senyum tipis terukir di bibir. “Aku ... tidak tahu. Aku tidak tahu kenapa peduli padamu. Namun yang aku tahu, aku merasakan sakit yang mungkin juga kau rasakan saat orang lain menghinamu. Aku tak tahu kenapa bersedia direpotkan olehmu atau membantumu, melihatmu kesusahan membuatku ingin membantu,” jawabnya.
“Itu artinya kau peduli atau bisa jadi kau menyukainya atau bisa juga hanya kasihan.”
Ini bukan suara Naura ataupun Aksa. Melainkan suara seseorang yang bersandar pintu ruang makan kemudian berjalan menghampiri keduanya.