Bab 8

1955 Kata
“Aku tak menyangka ternyata anak bungsu Mahardika itu cacat,” ucap Melinda yang duduk di jok belakang dan terdengar jelas oleh Naura dan ayahnya. “Sayang sekali Bu, padahal ia pria yang tampan. Tapi kalau cacat begitu siapa yang mau menikah dengannya. Yang ada istrinya harus mengurusnya seumur hidup.” Clara berucap seakan jijik dengan keadaan Aksa. “Sudahlah jangan menghina fisik orang lain, dia seperti itu juga karena kecelakaan.” Adrian sedikit risih dengan ucapan anak dan istrinya. Sementara Naura hanya diam, mendengar ucapan ibu dan adiknya membuatnya semakin memikirkan Aksa. Dia merasa ... entahlah, melihat dengan seksama Yasmin menyuapi Aksa dengan sabar dan telaten membuatnya semakin iba pada Aksa. Dengan keadaan Aksa pastilah ia tak bisa melakukan aktifitas dengan mudah. Dan Naura melihat ibu Aksa adalah seorang ibu yang sangat sabar dan penuh kasih sayang. Melihat tak ada asisten rumah tangga di rumah Mahardika pastilah semua dilakukan Yasmin sendiri begitu juga dengan mengurus kebutuhan Aksa. Dada Naura terasa berdenyut nyeri, ia merasa iba dan iri disaat bersamaan saat melihat Aksa dan ibunya. Naura melirik Melinda lewat ekor mata dan kesedihan terlihat disana. “Bisakah ibu juga memberikan kasih sayang seperti itu padaku?” batin Naura. “Kak, jadi kau sudah mengenal anaknya bibi Yasmin itu?” suara Clara menyadarkan Naura. Ia pun menoleh pada Clara dan mengangguk. “Sepertinya kalian cocok Kak,” kata Clara diiringi tawa kecil meremehkan. Naura tak menjawab, ia tahu adiknya itu hanya ingin menggoda dan menghinanya. Akhirnya ia hanya menatap keluar jendela mobil, menatap indahnya lampu yang berkelap kelip di sepanjang jalan namun pikirannya masih tak bisa lepas dari pria itu, Aksa Mahardika. Sementara di tempat Aksa, kini ia terbaring diatas tempat tidur. Ia tak mengerti namun suara Naura seolah masih terekam jelas di ingatannya. Ia tak menyangka orang yang telah menolong ibunya adalah gadis yang sering ia temui di taman. Ia memejamkan mata, berharap ia segera terlelap agar pikirannya akan gadis itu menghilang. *** Suara kicau burung menjadi nyanyian yang merdu, menemani indahnya sinar mentari yang mulai kembali menjalankan tugas. Aksa keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah. Ia mengarahkan kursi rodanya ke arah tempat tidur. Untuk urusan mandi, Aksa berusaha melakukannya sendiri. Ia tak ingin terus menerus bergantung pada sang ibu. Sementara sang ibu akan menyiapkan pakaiannya di atas tempat tidur. Kini Aksa meraih pakaian yang telah disiapkan Yasmin sebelumnya dan memakainya satu persatu. Memang membutuhkan waktu cukup lama namun Aksa berusaha semampunya. Cklek ... “Kau sudah selesai Aksa? Waktunya sarapan.” Yasmin memasuki kamar Aksa, menghampirinya yang telah selesai mengenakan pakaian. Yasmin mendorong kursi roda Aksa, membawanya menuju ruang makan. Disana sudah ada Bramono yang telah menunggunya. Yasmin menyiapkan piring dan mengambilkan sarapan untuk Aksa. Dengan telaten dan sabar ia menyuapi Aksa mengabaikan dirinya sendiri yang belum sarapan, yang terpenting adalah kebutuhan Aksa terlebih dahulu. Aksa menghabiskan sarapannya kemudian meminum segelas jus tomat hingga habis. Yasmin mengambil tisu, mengelap sisa-sisa minyak dan jus tomat di sudut bibir Aksa. “Aksa, ada yang ingin ibu sampaikan padamu,” ucap Yasmin dengan menatap Aksa cemas. “Hn?” Di dengar dari nada suara ibunya, Aksa merasa pasti ada hal yang penting. “Kakek Wira sakit dan meminta ayah dan ibu kesana untuk merawatnya, kau tahu sendiri bagaimana sifat kakekmu itu,” kata Yasmin tanpa berniat menjelaskan lebih panjang, ia tahu Aksa sudah mengerti sifat kakeknya. “Hn.” Aksa tahu kakeknya mulai sakit-sakitan seiring usianya yang kian menua. “Tapi Aksa, jika ayah dan ibu kesana bagaimana denganmu? Atau bagaimana jika kau ikut?” saran Yasmin. “Tidak Bu, Pergilah. Aku baik-baik saja,” jawab Aksa dengan berusaha meyakinkan ibunya. “Tapi ... atau bagaimana jika ibu memanggil pelayan untuk menemanimu? Ibu tidak tahu sampai kapan ibu akan ada disana, kau tahu sendiri bagaimana kakekmu jika penyakitnya kambuh.” Yasmin tak tega meninggalkan Aksa seorang diri di rumah tapi kakek Aksa tengah membutuhkannya saat ini. “Ibu tahu aku tak suka orang asing. Aku bisa menjaga diri. Jangan menganggapku seperti bayi Bu!” suara Aksa sedikit mengeras. Bukan marah karena perlakuan Yasmin, tapi marah karena keadaannya. Jika ia ikut kesana justru akan merepotkan, ia tahu kakeknya yang sedang sakit akan sangat menyusahkan dan tidak mungkin ibunya yang mengurus kakeknya juga harus mengurusnya. Kalau sudah mendengar ucapan Aksa seperti ini, Yasmin hanya bisa menurutinya begitu pula dengan Bramono. Ia tahu perasaan Aksa saat ini dan tidak ingin membuatnya kian merasa menjadi orang yang tak berguna dan merepotkan. “Baiklah jika kau sudah berkata seperti itu. Ibu dan ayah akan berangkat nanti siang.” Dengan berat hati Yasmin menuruti keinginan Aksa. Namun tiba-tiba ia terpikirkan siapa yang bisa membantunya dalam masalah ini. “Hn. Jangan khawatirkan aku, rawat kakek agar ia cepat sembuh.” Mengurus kakeknya yang sedang sakit sama seperti mengurus seorang bayi, ia mengerti hal itu terlebih dengan sifat kakeknya selama ini. *** Saat ini Naura telah berada di depan rumah Aksa. Tadi pagi Yasmin menghubunginya dan memintanya untuk datang. Ia menekan bel dan beberapa saat akhirnya pintu itu terbuka. “Naura …” Yasmin menyambutnya dan segera mengajaknya masuk ke dalam rumah. “Maaf Naura sudah merepotkanmu, bibi tak bisa meninggalkan Aksa sendiri di rumah. Sementara Bambang harus ikut kami kesana.” Sebelumnya ia telah menjelaskan alasannya meminta tolong pada Naura dan Naura tidak bisa untuk mengatakan tidak. “Tidak apa-apa Bi,” kata Naura dengan tersenyum tulus. “Bibi ingin menyewa seseorang untuk menjaganya selama bibi pergi tapi Aksa menolak. Ia tidak bisa menerima kehadiran orang asing. Hanya kau yang bibi tahu sebagai temannya. Tolong bantu bibi menjaganya selama paman dan bibi pergi,” kata Yasmin dengan penuh harap memohon pada Naura. “Baiklah Bi, tapi apa Aksa senang jika aku disini? Maksudku kami tidak terlalu akrab.” Naura merasa ragu, terlebih ia bahkan tidak berani menganggap hubungannya dan Aksa adalah teman. “Pergilah,” suara dingin Aksa terdengar jelas ditelinga Naura. Bahkan Yasmin belum menjelaskan namun ia sudah menyuruhnya pergi. “Tapi Aksa, ibu hanya ingin ada seseorang yang menjagamu selama ayah dan ibu pergi. Bukankah kalian berteman? Naura bukan orang asing,” ujar Yasmin dengan penuh harap agar Aksa menerima keputusannya. “Aku bilang aku baik-baik saja Bu. Aku memang tak bisa melihat dan cacat, tapi aku bisa menjaga diriku sendiri di rumah. Jangan menganggapku seperti aku ini tak bisa apapun tanpa kalian!” bentak Aksa dengan marah bahkan sampai membuat Naura berjingkat kaget. “Aksa….” Yasmin terkejut mendengar Aksa membentaknya marah. Ia tak dapat membendung air matanya, ini kali pertama Aksa membentaknya selama ini setelah kondisinya seperti ini. “Bibi melakukan ini karena mengkhawatirkanmu, tidak bisakah kau menghargainya?” ucap Naura pada Aksa dan mencoba menenangkan Yasmin. Ia sendiri tidak tahu apa yang harus ia lakukan, ia tahu bagaimana perasaan Aksa begitu juga perasaan Yasmin. Ia tak bisa menyalahkan keduanya. Mendengar ibunya menangis Aksa merasa bersalah. Ia tak bermaksud membentaknya. Ia tahu ibunya hanya khawatir, tapi ia benci dianggap lemah. “Yasmin saatnya berangkat.” Bramono telah membawa sebuah koper dan meminta Yasmin segera berangkat agar sampai di sana tidak terlalu malam. “Terserah Ibu. Sampaikan salamku pada kakek.” Teramat sangat merasa bersalah atas tindakannya membentak sang ibu, Aksa akhirnya mengalah. Yasmin mengusap air matanya, dengan jawaban Aksa seperti itu artinya Aksa menerima keputusannya meminta Naura menemaninya selama ia pergi. “Sekali lagi maafkan bibi Naura, bibi harus merepotkanmu.” Yasmin menggenggam tangan Naura menyampaikan betapa ia berterima kasih atas kesediaannya menjaga Aksa. “Tidak apa-apa Bi. Semoga kakek Aksa segera sembuh,” ucapnya dengan tersenyum, genggaman tangan halus Yasmin membuat hatinya menghangat. Yasmin mendekati Aksa dan mengusap tangannya lembut. “Terimakasih, maafkan ibu karena yang ibu lakukan semata karena ibu menyayangi dan mengkhawatirkanmu.” Setelah itu Yasmin menyusul Bramono dan Bambang yang telah menunggu di mobil. Naura menatap kepergian mobil itu lewat jendela hingga mobil yang membawa orang tua Aksa tak lagi terlihat. Ia masih memikirkan sikap Yasmin dan Aksa sebelumnya. Ibu pria itu teramat sangat menyayanginya dan ia begitu iri akan hal itu. Tiba-tiba ia baru tersadar bahwa tujuannya disini adalah menjaga Aksa. Ia menoleh dan tak lagi mendapati Aksa disana. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang, Ia berjalan ke arah kamar Aksa dan berniat mengetuk pintu bercat putih itu namun ia urungkan saat ia mengingat bentakan Aksa sebelumnya. “Mungkin ia tidak ingin diganggu,” batinnya. Kemudian ia berbalik hendak kembali menuju ruang tamu namun baru beberapa langkah ia kembali berbalik dan berdiri di depan kamar Aksa. Tugasnya disini menjaga Aksa dan akan sangat canggung jika mereka tidak membicarakan ini, setidaknya mereka harus bicara. Dengan memberanikan diri, Naura mencoba mengetuk pintu kamar Aksa, meski dengan konsekuensi Aksa yang marah padanya. Tok… tok… tok.... “Aksa.” Naura mencoba memanggil Aksa namun tak ada jawaban. Sekali lagi ia memanggil Aksa, namun juga tak ada jawaban. Merasa khawatir Naura membuka paksa pintu itu. Ia takut terjadi sesuatu pada Aksa. Ia takut jika Aksa bisa saja bunuh diri karena tertekan akan kondisinya mengingat ia sampai membentak ibunya sendiri. Brak! “Aksa!” teriak Naura dengan panik. Ia melihat ke kanan dan ke kiri kemudian melihat Aksa telah terbaring di tempat tidur sedangkan kursi rodanya terbalik di sisi tempat tidur. Dengan segera ia menghampirinya. Aksa tertidur dengan posisi tengkurap dan tangannya menggenggam sebuah botol obat. Dengan segera Naura membalik tubuh Aksa dan membangunkannya. “Aksa … Aksa....” Namun tak ada jawaban. “Aksa, kumohon bangunlah. Hiks ... hiks ... kenapa kau mengakhiri hidupmu seperti ini? Hiks ... bagaimana aku menjelaskan pada paman dan bibi nanti?” Naura mulai menangis dan takut karena Aksa tak juga membuka mata. “Aksa….” Dengan menangis Naura masih mencoba membangunkan Aksa dengan menggoyangkan tubuhnya. “Ck. Berisik,” gumaman Aksa bernada jengkel membuat Naura terkejut. “Aksa ... kau....” Posisi Naura kini setengah menindih Aksa. “Kau yang membuatku mati jika kau tak segera menyingkir dariku.” Dengan segera Naura bangun dan berdiri di sisi ranjang. Aksa kini duduk dan bersandar pada kepala ranjang. “Maaf, kukira kau….” Naura menunduk mengusap air matanya dan tak berani melanjutkan kata-katanya. “Ini efek samping obatku.” Aksa menaruh botol obat yang ia genggam ke dalam laci nakas yang berada di sisi ranjang. Aksa mengkonsumsi obat ini hanya saat dirinya merasa frustasi dengan keadaannya. Dan obat itu akan membuatnya tertidur layaknya tak sadarkan diri dan membuatnya lupa akan masalahnya walau hanya sejenak. “Kukira kau sudah pergi.” Aksa berkata dingin dengan tatapan kosongnya yang menatap lurus ke depan. “Aku tidak akan pergi sebelum bibi dan paman kembali. Bibi sudah memintaku untuk menemanimu,” jawab Naura tanpa keraguan. Ia mengusap setitik air mata di ujung matanya saat mengira Aksa mati bunuh diri. “Kenapa?” tanya Aksa dengan suara dingin, ia menoleh ke arah suara Naura yang kini berdiri di sisi kiri tempat tidurnya. “Kenapa?” tanya Naura yang tidak mengerti maksud pertanyaan Aksa. “Kau kasihan padaku? Pada ibuku?” Kini suara Aksa kembali mengudara membuat Naura paham maksud pertanyaan sebelumnya. Naura menggigit bibir bawahnya kemudian berkata dengan lantang, “Iya. Aku kasihan padamu. Tapi aku juga iri padamu. Kau memiliki seorang ibu yang baik, ibu yang sangat menyayangimu, ibu yang selalu bahkan terlalu mengkhawatirkanmu. Bagaimana bisa aku menolak keinginan seorang ibu terbaik seperti ibumu?” Wajahnya terlihat sendu di akhir kalimat. Meski Aksa tak dapat melihat itu tapi ia mendengar dengan jelas suara Naura yang sedikit bergetar. Yang dikatakan Naura benar, ibunya sangat menyayanginya, bukan karena kondisinya sekarang namun sebelumnya ibunya juga sangat menyayanginya, ia yang bodoh karena telah menyia-nyiakan kasih sayang ibunya dan akhirnya penyesalan yang ia dapati sekarang. Naura menghela nafas panjang. “Maaf,” ucapnya setelah tak ada respon dari Aksa atas apa yang ia katakan. Ia meraih kursi roda Aksa yang terbalik dan membenarkannya. Baru ingin mengutarakan ucapannya, suara dering ponselnya berbunyi. Ia merogoh saku celananya dan menggeser layar. “Halo….” Sembari mengangkat telepon ia berjalan keluar kamar Aksa. Aksa yang tak lagi merasakan kehadiran Naura tahu bahwa gadis itu tengah menerima panggilan setelah mendengar dering ponsel berbunyi. Ia berpikir mungkin Naura memang berniat baik. Meski atas dasar kasihan atau iri, sepertinya tak ada maksud lain atau niat buruk dari semua itu. Terdengar dari nada bicaranya seolah gadis itu memang iri akan ketulusan hati sang ibu. Seolah gadis itu tak mendapatkan kasih sayang sama seperti yang ia dapatkan. Aksa berangsut dan mencoba mencari kursi rodanya yang sepertinya berada tak jauh dari sisi ranjang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN