Hari yang ditunggu Yasmin akhirnya tiba, ia tampak sangat bersemangat menyiapkan banyak makanan ke atas meja.
“Kau bersemangat sekali, Istriku.” Bramono menghampiri sang istri dan melihat telah banyak makanan yang tersaji di atas meja makan.
“Tentu saja, Suamiku. Karena Naura telah menolongku, kita harus membalas kebaikannya meski hanya dengan makan malam sederhana ini,” ucap Yasmin dengan antusias, senyuman tak pernah lepas dari bibirnya sejak memasak hingga menyiapkan hasil masakannya ke atas meja.
Bramono hanya diam memperhatikan istrinya. Sifat istrinya itu memang tak pernah berubah, ia akan membuka hati dengan mudah bagi siapa saja yang telah berbuat baik padanya.
Sementara di luar rumah, mobil keluarga Naura telah tiba. Dua orang yang duduk di jok belakang terlihat sangat sibuk.
“Bagaimana Bu? Apakah aku sudah terlihat cantik?” tanya gadis cantik yang duduk di samping Melinda.
“Tentu saja Sayang, kau putri ibu yang paling cantik,” jawab Melinda yang membenarkan letak jepit rambut putri bungsunya itu.
“Mereka mengundang kita karena Naura, Melinda,” ucap Adrian mengingatkan anak dan istrinya agar tidak terlalu berlebihan. Mereka bisa diundang ke kediaman Mahardika semua karena Naura.
“Aku tahu, lalu?” ucap Melinda seakan tak peduli.
“Tidak apa-apa ayah, Clara memang sangat cantik,” ucap Naura dengan tersenyum dan melihat ibu dan adiknya dari pantulan kaca spion dalam mobil.
“Terimakasih, Kak,” ucap Clara, adik Naura yang kini tersenyum dengan ceria.
“Jika anak keluarga Mahardika itu menyukai adikmu kau jangan iri, Naura.” Melinda berucap sarkastik pada Naura.
“Apa maksudmu Melinda?” Adrian melirik istrinya lewat ekor mata setelah mendengar perkataan istrinya itu.
“Aku pernah dengar kalau keluarga Mahardika itu memiliki dua putra, yang satu sudah menikah dan menetap di Jakarta. Dan tinggal anak bungsunya yang kabarnya masih lajang. Bukankah kita sangat beruntung jika memiliki besan Mahardika yang kaya itu, Suamiku?” Melinda berucap penuh percaya diri bahwa Clara bisa menggaet putra bungsu Bramono.
“Dan kudengar keturunan Mahardika itu semuanya tampan.” Kini suara Clara yang terdengar bersemangat.
“Jangan berandai terlalu tinggi, bisa diundang makan malam oleh mereka sudah keberuntungan bagi kita,” ucap Adrian sembari melepas sabuk pengaman dan hendak segera turun dari mobil.
Naura mengikuti sang ayah untuk segera turun. Mendengar ucapan dua orang di belakangnya membuatnya seolah memanfaatkan kebaikan keluarga Mahardika. Kalau ia bisa, ia ingin menolak.
Clara masih bercermin dan membenarkan rambutnya yang sudah rapi begitu juga Melinda yang membantunya merapikan dress yang dipakainya.
“Tidak baik membuat seseorang yang mengundang kita menunggu terlalu lama.”Adrian mengingatkan anak dan istrinya itu agar segera bergegas. Mendengar ucapannya keduanya segera bergegas turun dari mobil dan mengikuti di belakangnya.
Ting… Tong…
Adrian menekan bel dan tak butuh waktu lama pintu itu terbuka dengan Yasmin yang menyambut mereka dengan ramah.
“Selamat malam Nyonya Yasmin.”Adrian berojigi 30 derajat diikuti istri dan kedua anaknya.
“Selamat malam Tuan Adrian. Mari, silahkan masuk.” Yasmin mempersilahkan tamu spesialnya masuk ke dalam rumah.
Melinda dan Clara tak berhenti menatap penuh kagum pada setiap sudut ruangan dengan interior mewah yang tertata dengan rapi.
“Mari Tuan dan Nyonya Adrian, silahkan duduk.” Dengan sopan dan ramah Yasmin mempersilahkan mereka duduk di sofa ruang tamu sebelum makan malam.
Bramono segera menyambut Adrian, ia telah duduk disana menunggu. Ia berdiri dari duduknya dan mengulurkan tangan pada Adrian. “Terimakasih sudah datang memenuhi undangan kami,” ucapnya.
“Justru kami yang seharusnya mengucapkan terimakasih karena undangan makan malam anda,” ucap Adrian dengan tersenyum dan menjabat tangan Bramono.
“Jangan sungkan Tuan Adrian, kami senang bisa mengundang anda sekeluarga datang,” kata Bramono dan melepas jabatan tangannya, ia kembali duduk tenang di tempat sebelumnya.
“Sebelumnya kami perkenalkan, ini putri bungsu kami Clara Octa Kuncoro.”Adrian duduk dan memperkenalkan Clara.
“Selamat malam Paman dan Bibi senang bertemu kalian.” Clara tersenyum manis dengan membungkuk sopan pada Yasmin dan Bramono.
“Wah ... ternyata anda memiliki dua putri yang sangat cantik Tuan dan Nyonya Adrian,” puji Yasmin dengan jujur.
“Tentu saja Nyonya, selain cantik Clara ini juga hebat. Clara ku adalah seorang model. Tidakkah kalian pernah melihatnya di majalah fashion?” Melinda memuji putri bungsunya dengan bangga.
“Maaf aku tidak pernah membeli majalah fashion, jadi aku kurang mengerti. Tapi anda benar, anak anda sangat cantik,” ujar Yasmin menanggapi ucapan Melinda. “Lalu bagaimana denganmu Naura?” tanyanya pada Naura yang sedari tadi hanya diam mendengarkan.
“Aku bukan siapa-siapa Bi, pekerjaanku hanya menulis,” jawab Naura dengan tersenyum tipis.
“Wah ... kau seorang penulis? Hebat sekali,” puji Yasmin dengan berbinar kagum.
“Hanya penulis artikel dan blog Bi, bukan penulis n****+ terkenal.” Naura menunduk malu melihat ekspresi Yasmin yang berlebihan.
“Tapi tetap saja kau seorang penulis, setahu bibi menulis bukanlah hal yang mudah,” kata Yasmin tetap memuji pekerjaan Naura.
Setelahnya mereka berbincang mengenai pekerjaan dan banyak hal, namun tetap saja Naura lebih banyak diam mendengarkan. Ia hanya akan menjawab jika dua orang yang duduk berhadapan dengannya bertanya padanya.
Bramono melihat jam tangannya dan baru menyadari obrolan mereka sudah memakan waktu yang cukup lama. “Sudah saatnya makan malam, Istriku,” ucapnya mengingatkan Yasmin.
“Ya Tuhan, maafkan aku kita jadi terlalu lama mengobrol. Mari Tuan dan Nyonya kita segera makan malam.” Yasmin mengajak tamunya itu mengikutinya menuju ruang makan.
Sesampainya disana mereka terpukau melihat hidangan mewah di atas meja besar yang tersaji di depan mereka. Bramono duduk di samping Yasmin sementara Adrian, Melinda, Clara dan Naura duduk berhadapan dengan mereka.
“Maaf aku hanya memasak ini, semoga kalian menyukainya,” ucap Yasmin yang mulai menyiapkan piring.
“Apakah semua ini anda yang memasaknya sendiri?” tanya Melinda tak percaya.
Yasmin hanya tersenyum dan berkata, “Aku tak memiliki asisten rumah tangga dan terbiasa memasak sendiri. Semoga rasanya tidak mengecewakan.”
“Anda benar-benar hebat Nyonya Yasmin,” ucap Melinda memuji.
“Mari-mari, silahkan,” Yasmin mempersilahkan tamunya itu agar segera menikmati makan malam. “Ayo Naura, makanlah semoga kau menyukai masakan bibi,” ucapnya pada Naura yang tampak hanya diam menunggu keluarganya mengambil terlebih dahulu.
“Terimakasih Bi,” kata Naura dengan tersenyum. Orang yang tidak sengaja ia tolong begitu baik.
Melinda mengambil potongan steak besar untuk Clara dan mengambilkan sepotong bagian kecil untuk Naura dan memberinya dengan banyak sayur. Naura hanya diam dan tetap menerima dengan sedikit tersenyum, setidaknya ibunya itu masih bersedia mengambilkan bagian untuknya.
“Naura, kenapa hanya sayur?” tanya Yasmin yang melihat piring Naura hanya diisi banyak sayur.
“Naura tidak begitu menyukai daging Nyonya Yasmin, ia bilang ingin diet agar bisa seperti Clara.” Melinda menjelaskan alasan yang sama sekali tidak benar. Naura terdiam seketika dengan tangannya yang bergetar.
“Benarkah? Tapi bibi pikir kau sudah ideal dengan bentuk tubuhmu, Naura.” Yasmin mengambil irisan daging besar dan meletakkannya ke atas piring Naura. Menurutnya tubuh Naura justru terlalu kurus. “Kau tenang saja, ini daging wagyu rendah lemak, jadi makanlah. Kau boleh diet tapi harus dengan diet yang sehat.” Yasmin memberikan wejangan karena peduli.
“I-- iya Bi,” ucap Naura dengan tersenyum getir. Ia menunduk agar Yasmin tak dapat melihat wajah sedihnya.
Mebuki yang melihat hal tersebut terlihat kesal, ia menyiku Clara seakan memberi sebuah isyarat. Clara tampak tersenyum dan selang beberapa saat kemudian Naura bangun dari duduknya.
“Kakak! Maafkan aku.” Clara segera mengambil tisu dan membersihkan saus di baju Naura.
“Clara, apa yang kau lakukan?!” bentak Adrian namun dengan suara halus. Sangat tidak sopan ia berucap keras di depan tuan rumah yang mengundangnya.
“Aku tidak sengaja Ayah, sungguh.” Clara memasang ekspresi sedih dengan penuh rasa bersalah. Sebelumnya ia mengambil sesendok saus, menjatuhkan sendok yang penuh saus itu ke arah Naura seperti tanpa kesengajaan hingga mengotori dressnya.
“Tidak apa-apa, Ayah,” ucap Naura lembut. “Bisakah aku ke toilet sebentar Bi?” tanyanya pada Yasmin yang masih cukup terkejut melihat dressnya yang kotor dengan noda saus.
“Tentu saja Naura, mari Bibi akan mengantarmu,” tawar Yasmin yang kini berdiri dan hendak menemani Naura. Ia tidak menyadari bahwa Clara melakukannya dengan sengaja.
“Tidak perlu Bi, aku akan kesana sendiri, jadi … dimana letak toiletnya?” Naura merasa tak enak jika harus diantar Yasmin.
“Baiklah kalau begitu, dari sini kau lurus dan belok kanan, toilet ada di pintu paling ujung,” ucap Yasmin menunjukkan letak toiletnya.
“Terimakasih Bi,” Naura segera mencari toilet seperti arah yang Yasmin katakan.
Setelah sampai toilet dan membersihkan noda saus yang tidak bisa hilang sepenuhnya, ia bercermin dan membasuh wajahnya berharap raut kekecewaannya tak terlihat. Ia menatap pantulan dirinya di cermin dan tersenyum getir seraya berkata, “Kau kuat Naura, kau wanita yang kuat.” Memberikan semangat untuk dirinya sendiri atas sikap ibu dan adiknya. Ia menarik nafas dalam dan mengeluarkannya perlahan. Saat ia keluar dari dalam toilet tanpa sengaja matanya menangkap sesuatu. Ia menghampiri sosok yang dilihatnya yang baru keluar dari sebuah kamar. “Kau?”
“Siapa?” kata orang itu.
“Apa yang kau lakukan disini?” tanya Naura dan menghampiri orang yang pernah ia temui di taman sebelumnya.
“Ini rumahku, seharusnya aku yang bertanya padamu, Khaila Naura.” Aksa masih ingat suara ini, suara yang selalu mengganggu ketenangannya di taman.
“Rumahmu?” Naura terkejut. Ia tak menyangka Aksa ada hubungan dengan Yasmin.
“Hn. Apa yang kau lakukan disini?” tanya Aksa datar.
“Aku diundang bibi Yasmin untuk makan malam. Jadi ... kau siapanya bibi Yasmin?” tanya Naura.
“Jadi kau yang menolong ibuku?” tanya Aksa memastikan.
“Aku hanya kebetulan lewat, jika orang lain tentu akan melakukan hal yang sama,” ucap Naura dengan menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. Seketika ia seakan baru tersadar. “Kenapa kau tidak ikut makan malam?” tanyanya.
”Aku sudah. Dan terimakasih,” jawab Aksa singkat.
Mendengar ucapan terimakasih Aksa membuatnya sedikit terkejut. “Terimakasih untuk?”
“Menolong ibuku,” jawab Aksa.
“Ya. Aku juga berterimakasih ibumu sampai repot dan mengajak keluargaku makan malam disini.” Naura mengamati Aksa yang kini berada di depannya dengan tatapan kosong pria itu tetap lurus ke depan. Ia tidak menyangka akan bertemu lagi bahkan di rumah pria ini. Ia tidak tahu kenapa, tapi setiap melihat Aksa ia merasa aneh seperti rasa iba dan kagum disaat bersamaan. “Um ... apa kau ingin menyusul keluarga kita? Maksudku keluargamu dan keluargaku,” kata Naura sedikit gugup menyadari kata-katanya terdengar sedikit ambigu.
“Tidak. Aku tak ingin mengganggu. Lanjutkan saja.” Aksa hendak berbalik memutar kursi rodanya kembali ke dalam kamar.
“Tu-- tunggu, kenapa? Kau tidak mengganggu. Lagipula ini rumahmu, jika ada yang mengganggu itu berarti aku dan keluargaku.” Naura merasa tidak nyaman mendengar ucapan Aksa seakan ia adalah seorang pengganggu yang merepotkan.
Sebenarnya Bramono dan Yasmin sudah meminta Aksa bergabung untuk makan malam bersama keluarga Naura, namun Aksa menolak. Ia takut jika orang tuanya nanti jadi bahan gunjingan orang tak dikenal dengan kondisinya yang buta dan cacat. Ia juga pasti merepotkan sang ibu karena harus menyuapinya di depan orang asing.
“Kubilang tidak,” ucap Aksa dengan nada suara sedikit mengeras. Mendengar paksaan Naura membuatnya kembali merasa kondisinya mempermalukan sang ibu.
“Naura ….” Suara dari luar lorong membuat Naura menoleh. Yasmin terlihat berjalan menghampirinya. “Apa kau sudah temukan toiletnya? Bibi khawatir jadi menyusulmu,” kata Yasmin yang belum menyadari Aksa masih di ambang pintu kamarnya.
“Sudah Bi, terimakasih.” Naura tersenyum dengan kembali merasa tak enak hati sudah membuat Yasmin menunggu lama.
“Aksa?” Perhatian Yasmin beralih pada putra bungsunya yang hendak menutup pintu. “Kau mau kemana?” tanyanya dengan mencegah Aksa sebelum menutup pintu.
“Kembali ke kamar,” jawab Aksa tanpa menoleh.
“Kenapa Aksa tidak ikut makan malam bersama?” tanya Naura pada Yasmin.
“Kau sudah mengenal Aksa?” Yasmin tampak terkejut mendengar pertanyaan Naura.
“I-- iya, sebenarnya kami beberapa kali pernah bertemu di taman,” jawab Naura dengan rona kemerahan tipis di wajahnya. Saat mengatakan pernah berjumpa di taman, ia kembali teringat dimana tanpa sadar telah menggambar sketsa wajah Aksa.
“Bibi sudah membujuk Aksa tapi ia menolak. Bibi tak menyangka ternyata kalian saling mengenal.” Yasmin tampak antusias mengetahui Aksa dan Naura sudah saling mengenal. “Karena kalian sudah saling mengenal jadi kau tak bisa menolak bergabung Aksa.” Yasmin mendorong kursi roda Aksa keluar kamar menuju ruang makan. Sebagai ibu, ia sama sekali tidak malu memperkenalkan putranya pada siapapun. Justru Aksa sendirilah yang menolak.
“Ibu ….” Aksa mencoba mencegahnya namun percuma.
“Tidak apa, Aksa,” kata Yasmin dengan tersenyum senang. Ia sudah seperti ibu yang jahat karena meninggalkan Aksa makan malam di rumahnya sendiri, tapi berkat Naura ia punya alasan agar anaknya itu tidak dapat menolak.
Sementara Naura mengikuti keduanya dari belakang. Hatinya menghangat saat Aksa bersedia ikut makan malam bersama.
Sampai Aksa setengah menoleh dan berkata, “Kau harus bertanggung jawab, Khaila Naura.” Dan ucapan Aksa sukses membuat Naura mematung sejenak.