“Lakukan dengan baik.” Seorang pria dengan hoodie yang menyembunyikan warna rambutnya terlihat menunjukkan sebuah foto pada pria bertopi di depannya.
“Ya kau tenang saja, sekarang mana bayaranku.” Pria bertopi itu melihat foto tersebut dan meminta bayaran sesuai perjanjian.
“Kau bahkan belum bekerja sudah minta bayaran.” Meski berdecak kesal orang itu memberikan sebuah amplop berisi uang pada pria bertopi di depannya.
“Tenang saja, ini mudah. Aku tak akan mengecewakanmu.” Pria bertopi itu membuka amplop tersebut dan menghitung banyaknya lembaran uang di dalamnya.
“Tak perlu melukainya terlalu parah. Buat seakan semua murni perampokan,” perintah pria itu dengan seringai menghias wajahnya.
“Ya. Siap bos!” ucap pria bertopi hitam itu dan menjabat tangan orang yang memberinya perintah, ia segera berlalu dan bergegas melaksanakan tugas.
Membuka hoodie yang menutupi surai merahnya, pria itu menyeringai kejam seraya bergumam, “Ini pelajaran untukmu wanita tua.”
***
Di jalanan yang cukup sepi Yasmin tengah berjalan menuju minimarket yang berjarak tak cukup jauh dari rumahnya.
Ia seorang ibu rumah tangga yang mandiri, meski kaya dan mampu membayar banyak asisten rumah tangga ia memilih menjadi ibu rumah tangga yang baik. Tak ada asisten rumah tangga untuk membantunya memasak, hanya ada beberapa asisten rumah tangga untuk membersihkan rumah.
Ia sendiri jugalah yang mengurus Aksa selama ini. Aksa tak suka ada orang lain atau orang luar yang mengurusnya. Dari makan hingga kebutuhan lainnya yang Aksa tak mampu semua dibantu dan dilakukan Yasmin. Meski Aksa selalu berusaha mandiri sebisanya, namun ia tak tega dan mencoba membantunya.
Sekarang pukul 10.00 pagi dan jalanan cukup sepi karena ini berada di jam sibuk kerja. Yasmin berjalan dengan tenang sampai seseorang dari belakang merampas dompet yang ia bawa dan mendorongnya hingga jatuh tersungkur. Kepalanya yang membentur kerasnya jalanan beraspal membuatnya pingsan. Sementara si perampok kabur dan meninggalkan Yasmin yang tak sadarkan diri.
“Misi berhasil,” gumam perampok itu disela pelariannya.
***
Bau obat-obatan begitu terasa di sebuah kamar bernuansa putih. Yasmin terbaring lemas diatas ranjang rumah sakit dengan perban yang melilit kepalanya. Ia mulai sadar dan membuka mata.
“Anda sudah sadar?” Sebuah suara membuatnya menoleh pada gadis yang duduk di kursi di sisi ranjang.
“Siapa kau? Dimana ini?” Yasmin memegangi kepalanya yang terasa sakit dan mencoba bangun untuk duduk bersandar.
“Anda sekarang berada dirumah sakit.” Gadis itu membantu Yasmin duduk dan membenarkan letak bantal sebagai sandaran.
“Kau yang menolongku? Jam berapa sekarang?” Yasmin mencoba mengingat apa yang sebelumnya terjadi dan sadar bahwa ia baru saja menjadi korban perampokan.
“Sekarang jam 3 sore. Sebelumnya saya minta maaf belum menghubungi keluarga anda, saya tidak tahu nomor yang dapat dihubungi. Karena anda sudah sadar mungkin anda bisa menghubungi keluarga anda sekarang.” Gadis itu memberikan ponselnya pada Yasmin.
“Terimakasih.” Yasmin menerimanya dan segera menghubungi sang suami.
Sementara di rumah, Bramono yang baru menginjakkan kakinya ke dalam rumah terlihat cemas. “Dimana ibumu, Aksa?” tanyanya pada Aksa yang tengah berbaring di atas tempat tidur.
“Ayah sudah pulang?” Mendengar suara ayahnya ia segera bangun untuk duduk.
“Perasaaan ayah tidak enak, dimana ibumu?” tanyanya kembali, karena tak mendapati Yasmin dimanapun di dalam rumah.
“Ibu bilang ingin membeli sesuatu tadi siang, jam berapa sekarang? Apa ibu belum kembali?” tanya Aksa yang terlihat cemas.
Drt … Drt ...
Merasa handphone dalam sakunya bergetar, Bramono segera mengangkat panggilan dari nomor tidak dikenal. “Siapa?” tanyanya saat mengangkat panggilan tersebut.
“Sayang ini aku, aku ada dirumah sakit sekarang.”
Suara Yasmin membuat Bramono kaget terlebih istrinya itu mengatakan jika ia di rumah sakit.
“Apa?! Apa yang terjadi? Baiklah aku segera kesana.” Mematikan sambungan telepon dan hendak segera menuju rumah sakit.
“Apa yang terjadi, Ayah?” tanya Aksa penasaran mendengar suara ayahnya terdengar cemas dan gugup.
“Ibumu ada di rumah sakit. Ayah akan menyusulnya, kau tetaplah di rumah,” perintahnya pada Aksa.
“Apa? Apa yang terjadi pada ibu?” Mendengar ibunya di rumah sakit membuat Aksa terkejut dengan rasa khawatir yang terlihat jelas di wajahnya.
“Ayah tidak tahu. Ayah akan menghubungimu saat sudah sampai,” ucapnya, kemudian segera pergi menuju rumah sakit.
Disaat seperti inilah Aksa merasa benar-benar tak berguna. Karena keadaannya ia tak bisa melakukan apapun.
Tangannya mengepal erat, ia benci dengan keadaannya yang seperti ini. Ingin menyusul sang ibu, tapi sadar ia tak mampu melakukan apapun disana. Bukannya membantu ia justru akan merepotkan.
“Sembuh lah … sembuh lah …,” gumamnya sambil mencengkram pahanya kuat. Giginya bergemeletuk, ia benar-benar lelah dan marah dengan keadaannya. Ia benar-benar tak berguna.
***
Sesampainya di rumah sakit, Bramono segera berlari menuju kamar Yasmin dirawat setelah bertanya pada petugas rumah sakit.
Kriet...
Pintu terbuka dan ia dapat melihat istrinya terbaring di atas ranjang dengan perban yang melilit kepala.
“Yasmin!” Ia segera menghampiri dan melihat dengan seksama Yasmin. “Apa yang sebenarnya terjadi?” Bramono duduk di tepi ranjang dan mengusap lembut perban di kepala istrinya.
“Seseorang mengambil dompetku dan aku terjatuh. Saat aku bangun aku sudah ada disini,” kata Yasmin menjelaskan dengan mencoba tersenyum.
“Apa kita lakukan pengecekan ke rumah sakit yang lebih besar?” Bramono kembali memperhatikan istrinya itu dari ujung kepala sampai ujung kaki.
“Tidak perlu, Sayang, hanya kepalaku yang mencium aspal. Ini hanya luka ringan.” Dengan tersenyum Yasmin berusaha meyakinkannya bahwa ia baik-baik saja, hanya luka ringan.
“Apakah anda keluarga bibi?” Suara seseorang yang memasuki kamar itu membuat keduanya menoleh.
“Dia yang menolong dan membawaku kerumah sakit, Suamiku,” ujar Yasmin memberitahu.
“Terimakasih telah menolong istriku,” ucap Bramono dengan tulus.
Gadis itu mendekat dan berdiri di sisi ranjang. “Tidak apa-apa Paman, aku hanya kebetulan lewat dan menemukan bibi pingsan. Jika orang lain, mereka pasti melakukan hal yang sama,” ujar gadis itu.
“Tetap saja kau yang sudah menolong istriku, sekali lagi terimakasih.”Bramono berdiri dari duduknya dan membungkuk sebagai rasa terima kasihnya membuat gadis itu merasa tak enak hati dan memintanya kembali berdiri tegak.
“Jangan lakukan itu Paman,” ucap gadis itu merasa tak pantas orang yang lebih tua darinya mengucapkan terimakasih hingga membungkuk. “Karena keluarga Bibi sudah ada disini saya akan pulang sekarang. Semoga Bibi lekas sembuh.” Gadis itu membungkuk pada Yasmin dan Bramono untuk berpamitan.
“Sekali lagi terimakasih, Nak,” ucap Yasmin dengan tulus.
Gadis itu hanya tersenyum dan berbalik berjalan ke arah pintu.
“Tunggu, siapa namamu?” tanya Bramono sebelum gadis itu menghilang di balik pintu.
“Khaila Naura,” ucap gadis itu sambil tersenyum dan melanjutkan tujuannya untuk pulang.
**"
“Hati-hati.” Bramono memapah Yasmin berjalan menuju kamar mereka sesampainya di rumah.
“Tidak apa-apa, Suamiku. Dimana Aksa?” Hal pertama yang Yasmin tanyakan ialah Aksa. Ia yakin Aksa pasti sangat khawatir.
“Ibu ... Ibu sudah pulang?” Aksa berada diambang pintu kamar hendak menyusul Yasmin.
Fugaku segera mendorong kursi roda Aksa menuju Yasmin setelah membaringkannya di atas tempat tidur.
“Iya Aksa, maaf membuatmu khawatir.” Yasmin mengusap wajah putra bungsunya sayang saat Aksa telah berada di depannya.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Aksa dengan penuh rasa khawatir. Saat ia mencari dan meraba wajah Yasmin, ia merasakan perban melilit kepala ibunya.
“Ibumu jadi korban perampokan, seseorang mengambil dompet ibumu dan membuat ibumu mengalami luka kecil,” kata Bramono menjelaskan kondisi Yasmin saat ini. Ia tahu Aksa pasti sangat khawatir dan tak ingin membuatnya semakin khawatir jika tahu luka ibunya sampai mendapat beberapa jahitan.
“Apa? Lalu bagaimana keadaan ibu sekarang?” Aksa mencari tangan Yasmin, meraba dan merasakan jikalau bukan hanya kepala saja yang terluka.
“Ibu baik-baik saja, sungguh,” ucap Yasmin. Ia menggenggam tangan Aksa meyakinkan.
Aksa menggeram marah. “Jika aku tidak buta dan cacat, aku pasti bisa melindungimu, Bu.”
“Sudahlah Aksa, jangan berkata seperti itu. Yang penting ibu baik-baik saja bukan? Jangan pernah menyalahkan dirimu.” Mendengar ucapan Aksa justru membuatnya bersedih. Ia tidak ingin Aksa selalu menyalahkan keadaannya saat ini atas apa yang ia alami.
***
Sudah satu minggu pasca kejadian yang menimpa Yasmin, kini ia sudah sembuh total. Perban di kepalanya pun sudah diganti dengan plester. Kini ia dan sang suami tengah berada di depan rumah seseorang. Setelah menekan bel dan menunggu, seseorang keluar dan melihat keduanya dengan wajah heran.
“Maaf apakah benar ini rumah Khaila Naura?” tanya Bramono memastikan.
“Iya benar, anda siapa?” tanya orang itu yang tak lain adalah si pemilik rumah. Hanya mendapat senyuman dari dua orang di depannya, akhirnya ia mempersilahkan tamu itu untuk masuk ke dalam rumah.
Kini Bramono dan Yasmin telah bertemu dengan si pemilik rumah. Mereka duduk berhadapan di ruang tamu rumah itu.
“Sebelumnya perkenalkan, aku Bramono Mahardika dan ini istriku Yasmin Mahardika.” Bramono terlebih dahulu memperkenalkan diri.
“Saya Adrian Kuncoro dan ini istri saya Melinda Kuncoro. Jadi apa sebenarnya tujuan anda?” tanya pria paruh baya yang tak lain adalah si tuan rumah.
“Apa Naura membuat masalah?” tanya Melinda, ibu Naura yang juga merasa penasaran.
“Ah! tidak justru tujuan kami kemari untuk berterimakasih pada Naura.” Kini Yasmin yang berbicara dan menjelaskan.
“Berterimakasih?” tanya keduanya bersamaan.
“Iya benar, kemarin Naura telah menolongku. Kami ingin mengundang anda sekeluarga untuk makan malam sebagai ucapan terimakasih,” ucap Yasmin dengan tersenyum.
“Apakah anda Tuan Mahardika pendiri Mahardika Corp?” tanya Adrian memastikan.
“Iya benar,” jawab Bramono dengan mengangguk.
Perusahaan ayah Aksa adalah salah satu perusahaan terbesar di Bandung. Perusahaannya bergerak di beberapa bidang, dengan banyak anak perusahaan yang tersebar di berbagai daerah. Tak heran nama Bramono Mahardika cukup dikenal banyak kalangan terutama dikalangan pemilik perusahaan menengah seperti Adrian.
“Suatu kehormatan bagi keluarga kami mendapat undangan dari anda Tuan Mahardika,” ujar Adrian ramah dan membungkuk 30 derajat.
“Ini sebagai rasa terima kasih kami pada putri anda. Apakah Naura ada di rumah?” tanya Yasmin berharap bisa menemui Naura dan mengatakan maksud tujuannya kesini secara langsung.
“Kebetulan ia ada dirumah sekarang, akan aku panggilkan.” Melinda bangun dari duduknya dan berjalan menuju kamar Naura di lantai atas.
“Naura!” panggil Melinda saat sudah berada di depan kamar Naura.
Mendengar ibunya memanggil, Naura keluar dari kamar dengan menunduk. “Ada apa, Bu?” tanyanya.
“Ada orang yang mencarimu. Temui mereka,” ucap Melinda dengan dingin dan segera berjalan kembali ke ruang tamu.
Menuruti perintah sang ibu, Naura berjalan di belakang Melinda dengan menatap punggungnya sendu.
Saat Naura telah sampai di ruang tamu, Yasmin tampak sangat senang melihatnya. “Hai Naura,” sapa Yasmin saat Naura duduk berhadapan dengannya.
“Paman dan Bibi?” Naura cukup terkejut melihat dua orang yang ada di rumahnya adalah orang yang ia tolong satu minggu yang lalu. “Apa yang Paman dan Bibi lakukan disini?” tanyanya.
“Kami ingin mengundang keluargamu untuk makan malam sebagai ucapan terimakasih karena kau sudah menolong bibi waktu itu,” kata Yasmin menjelaskan maksud dan tujuannya.
“Seharusnya Bibi tak perlu repot-repot hingga harus mengundang kami makan malam.” Naura mencoba menolak dengan halus. Niatnya tulus saat menolong Yasmin dan sama sekali tidak mengharap balasan apapun. Waktu itu ia hendak membeli sesuatu dan menemukan Yasmin pingsan dengan darah yang mengalir dari pelipisnya. Ia segera memanggil ambulans dan meminta tolong pada beberapa orang yang lewat. Sesampainya di rumah sakit ia lah yang menanggung jawabi segala urusan untuk menangani Yasmin.
“Kau tak seharusnya menolak niat baik seseorang Naura.”Adrian kini membuka suara. Bagaimanapun juga seorang Bramono Mahardika sampai datang kerumahnya untuk mengundang makan malam dan ia tak mungkin menolak meski tujuannya adalah berterimakasih pada putrinya.
“Tidak apa-apa Naura, bibi justru sangat berharap kau dan keluargamu bisa hadir,” ucap Yasmin penuh harap.
Tak enak hati dengan permintaan Yasmin dan kesediaan ayahnya untuk hadir, Naura akhirnya mengangguk sebagai jawaban.