“Udah sana kalian lanjut lagi. Semangat ya adek-adek koas,” ucap sang direktur utama mengepalkan tangannya ke udara dengan wajah yang ceria.
Sampai membuat temannya yang lain bertanya, “Emang kayak gitu ya, Dok? Baik banget direktur disini?”
“Hemmm, enggak terlalu sih. Cuma mungkin kebetulan aja Leonor mirip sama calon menantunya. Iya ‘kan?”
“Hehehehe, iya,” jawab Leonor dengan wajah yang kikuk. Bukan hanya Jerome, tapi Kakek juga sudah tahu dirinya disini.
Ketika jam makan siang tiba, Leonor pergi ke kantin bersama dengan temannya yang lain. Tidak mengenal mereka, tapi mencoba berbaur saja daripada sendirian. “Gue sih dapet beasiswa dari Bank Indonesia waktu itu. jadi gak dapet dari rumah sakit ini. Tapi masih bisa masuk sini.”
“Gue juga beruntung bisa dapet beasiswa dari sini karena salah satunya ngundurin diri. Ya emang untung-untungan sih.”
Yang paling Leonor takut itu saat semua orang menatapnya dan bertanya, “Lu dapet beasiswa apa sampe bisa masuk rumah sakit ini?”
Menelan salivanya kasar dan hanya diam sebagai jawaban. “Woy, Leonor. Lu dapet beasiswa apa?”
“Anuu… itu gue dapat ini,” ucapnya dengan terbata-bata.
Focus mereka baru teralihkan ketika seorang pria berjas datang mendekat dan memberikan nampan berisi pastry, pudding dan juga cokelat batang beserta susunya. “Ini untuk Nona Leonor.
“Dari siapa?”
“Dari Pak Direktur,” ucapnya menunjuk ke arah lantai dua. Menoleh ke sana dan langsung melihat pria yang sedang melambaikan tangannya sambil tersenyum. “Selamat menikmati.”
“Makasih, Pak.”
“Kayaknya lu beneran mirip pacar cucunya deh, pacarnya Pak Jerome berarti ‘kan?”
“Atau udah meninggal ya pacarnya sampe si Pak Direktur segitunya?”
Teman koasnya malah saling berbisik membuat Leonor tidak nyaman. Dilihatnya ke atas lagi, masih ada sang kakek disana seolah menunggunya makan. Begitu Leonor menyuapkan satu pudding, pria paruh baya itu langsung tepuk tangan. “Lahap banget si cantik makannya.”
“Lahap dari mananya, dia gak nyaman diliatin Kakek terus,” ucap Jerome yang tiba-tiba datang dan menarik sang Kakek dari sana. “Udah Aa bilang jangan terlalu jelas, Kek. Leonor gak nyaman.”
“Ck, Kakek Cuma mau liat dia makan dengan baik dan benar.”
“Dia gak nyaman kalau temen-temennya tau.” Tetap menarik Kakek untuk berjalan menjauh dari area kantin. “Dia gak mau orang lain tahu kalau Aa sama dia ada hubungan. Takut dipandang gimana gitu.”
Kakek sampai berdecak, Jerome benar-benar membawanya sampai ke depan pintu direktur utama. “Ya emang sih, dia pasti malu punya pacar yang udah tua kayak kamu.”
“Maksud kakek?”
“Gak, mikir aja sendiri.” Kakek membuka ruangannya. “Besok jangan lupa ajak makan malam. Biar kita langsung ngomong serius.”
“Oke.”
“Hei kamu,” panggil Kakek pada salah satu perawat yang lewat. “Nanti ke asisten saya buat bawa makanan. Kasih ke anak Koas di stase THT yang namanya Leonor.”
“Baik, Pak.”
“Kakek jangan keterlaluan,” ucap Jerome menghela napas dalam saat Kakek masuk ruangan. Melangkah menuju ruangannya dan langsung disambut telpon dari sang Kakak. “Bang, udah gue kirim duitnya. Stop ngancam mau ngasih tau Mama. Gue juga bantuin dia karena mabuk.”
“Cieee…. Yang udah satu kamar. Tapi kalau mau nngikngok mending nunggu nanti kalau udah jadi suami istri. Beuh lebih nikmat.”
TUT. Jerome langsung menghentikannya. Hari ini dia dibuat pusing oleh Kakek dan Kakaknya. Begitupun dengan Leonor. Ketika dia kembali ke Kamar Koas, seorang perawat mendatanginya dan memberikan sebuah papper bag. “Dari siapa, Sus?”
“Dari… yang punya rumah sakit. Saya diminta jangan sebutin siapa yang kirim.”
***
Ternyata, Leomor tidak bisa focus sehari saja. dia melihat kedatangan Jerome dari kejauhan saat dirinya masih bertugas. “Bro,” panggil Jerome pada sang SVP kemudian membisikan sesuatu yang langsung membuat dokter itu menoleh pada Leonor. “Got it?”
“Got it.” Langsung mendekat pada Leonor. “Kamu boleh balik sana, pelajari lagi dirumah. Jangan sampai lupa kayak tadi. Udah mau jadi dokter kok malah lupa.” Mengingatkan pada kejadian sebelumnya.
“Maaf, Dok. Ini saya boleh pergi?”
“Tugasnya lanjut besok aja lagi. Jerome nunggu kamu di parkiran katanya.”
“O… iya, Dok. Terima kasih.”
“Bentar.” Menahan tangan Leonor dengan mata memicing. “Kamu….”
“Bukan, Dok. Saya bukan pacarnya Pak Jerome kok.”
“Lah, yang nyangka kamu pacarnya Jerome siapa emangnya? Tadi Jerome bilang kamu ada urusan sama dia karena udah rusak property dia. Lain kali hati-hati, Jerome itu bisa bikin kamu gak lulus stase dia, nanti harus ngulang di akhir. Mau?”
Sial sekali dirinya dianggap perusak property. Membuatnya memandang Jerome dengan kesal saat mereka di parkiran. “Bapak ngomong apa sama temen bapak? Enak banget ngejelekin nama saya, kalau saya dikasih nilai jelek gimana?”
“Jangan kabur, ikutin mobil saya.” Jerome tidak menanggapi itu. dia ingin buru-buru klarifikasi dengan dua saudaranya.
Membawa lagi Leonor ke apartemennya. Di meja sana sudah ada beberapa papper bag yang isinya kostum yang harus dikenakan oleh Leonor besok. “Makan malam besok pake baju itu.”
“Gak salah motif macan tutul?”
“Biar keluarga saya gak suka.”
“Itu mah sama aja dengan saya jelekin image saya sendiri, Pak.”
“Mau ketahuan gak punya beasiswa?”
Leonor langsung diam.
“Buatin saya makan malam dulu. Nanti langsung video call.”
Jerome masuk kamar mandi, meninggalkan Leonor yang menjulurkan lidahnya kesal. “Dasar bujang lapuk.” Satu lagi nasi goreng untuk Jerome, mengabaikan ketika pria itu protes dengan masakan yang dibuatnya.
Leonor mendesak supaya cepat melakukan video call. Dia ingin segera pulang dan bertemu kedua orangtuanya. Leonor dan Jerome duduk berdampingan di mini bar dekat dapur. Ponselnya diletakan hingga wajah keduanya masuk frame. “Inget harus sesuai arahan saya.”
“Iya, Pak. Kenapa rewel banget sih?”
“Besok pulang dari RS langsung ke apartemen buat siap-siap makan malam. Berangkatnya dari sini.”
Sambil menunggu panggilan diangkat, mereka berbincang dengan wajah kaku karena harus tetap siaga. “Bapak juga harus datang ke nikahan mantan saya. Dan harus jadi yang paling wow, menawan dan kece dari dia.”
“Gak harus dimodif juga udah ganteng.”
Beberapa kali mereka berselisih pendapat, bahkan jarak dan ekspresi saja dipermasalahkan. “Saya udah senyum paling manis ini, Pak. Ih!”
BYUR! “Leonor!”
Perempuan itu tidak sengaja menumpahkan air di meja hingga mengenai perut Jerome. “Haduh maaf, Pak. Lagian ini salah bapak gak bisa diem,” ucapnya panic dan membungkuk mencoba mengeringkan dengan tissue.
Videocall sudah tersambung tanpa mereka sadari. Melihat adegan ambigu dimana Leonor yang terhalang meja terlihat sedang melakukan sesuatu di bagian bawah Jerome.
“Becek banget sih, Pak!”
Membuat Jaegar kaget disana. “Keluar banyak lu, Jer?”
Yang membuat keduanya langsung panic. Shiloh yang melihatnya tertawa speechless. “Mataku ternodai.”
“Sampe kerongkongan gak?”
“Bukan, gitu….,” ucap Leonor berkaca-kaca dan panic.
“Stop.” Jerome menatap tajam kedua saudaranya hingga berhenti tertawa. “Kalian salah paham, Leonor jatuhin air terus kena baju.” Tahu perempuan itu gugup. Jerome mengusap rambutnya. “Kenalin diri kamu, Sayang.”
***
Setelah menjelaskan pada mereka, Leonor sedikit lega meskipun masih terlihat wajah tidak percaya. “Makannya punya pacar biar gak jadi bujang lapuk. Jadilah gue korban kepalsuan dan drama si bapak,” gumam Leonor ketika mobil memasuki pekarangan.
Sebelum keluar dari mobil, Leonor berganti pakaian dengan yang lebih tertutup. Menghapus riasan yang tebal dan langsung memasang wajah yang ceria. Tidak tahu saja Leonor diluar sana sangatlah panas dan menggila. Kalau dirumah, dia akan jadi si manja yang lucu. “Yayahhhhh,” ucapnya memeluk sang Ayah.
“Kangen banget sama kamu.”
“Baru juga sehari gak pulang.”
“Besok Ayah mau ngunjungin Abang kamu di Bandung, mau ikut?”
Mengadahkan kepalanya menatap sang Ayah. Kakak keduanya itu tinggal di Bandung, masih single dan menjabat sebagai seorang Hakim di pengadilan negeri. “Gak bisa, adek kan lagi koas. Nanti Ayah pulang lagi?”
“Iya, Nak,” jawab Elea yang baru turun dari lantai dua. Ikut memeluk sang anak dan suami.
Keluarga itu begitu manis dirumah, tapi membahayakan diluar. Setelah lelah dengan drama diri sendiri, Leonor menghabiskan malam menonton drama dengan Mama dan Ayahnya. mereka tidur bersama di ruang televise, dengan karpet bulu yang membentang. Leonor ada di tengah, sesekali menerima suapan dari sang Ayah yang sedang mengupas buah, sementara Mamanya yang sibuk membuka buku.
“Tolong buah kiwi, Mang.”
“Bilang apa?” tanya Gardea mengarahkan pisau pada sang anak.
“Mama, nih Ayah….”
“Heh,” ucap Elea memperingati.
“Mama lagi liat apa sih?”
“Buku alumni. Ini Mama waktu muda.”
“Gak mirip sama Leonor, miripnya sama Kak Gideon. Kangen banget ih sama dia. Apa jangan-jangan dia gak pulang ke Jakarta karena udah punya pacar?”
Elea mencium puncak kepala sang anak. “Lagi banyak kasus, Sayang. Kakak kamu sibuk.”
“Ini kok dikitan, Ma?” focus lagi pada buku kenanngan sang Mama.
“Ini buku buat para pemimpin organisasi internal sih. Ini Mama kan Presma waktu itu.”
Manik Leonor menyipit merasa tidak asing. “Ini…..”
“Ini namanya Seline. Dia dulu ketua DPM sebelum Mama hapusin Organiasasi gak guna itu. Ck, dia gak tahu aja betapa gak gunanya organisasi itu. Suaminya masih jadi dekan fisip, Mas?”
“Masih, Sayang,” jawab Gardea yang langsung membuat Leonor diam membeku.
Mereka saling tahu!