Namun Leonor rasa, itu bukanlah hal yang penting. Mereka hanya mengenal di masa lalu bukan? Tapi…. Ayahnya adalah dewan penasihat Yayasan di Universitas Thribhuana. Papanya Jerome juga jadi Dekan di salah satu Fakultas. “Mereka akan jarang ketemu ‘kan?” gumam Leonor mengharapkan tidak ada pertemuan diantara mereka.
Karena jam tugas sudah selesai, Leonor bersiap untuk pulang. Dia akan pulang ke apartemen Jerome untuk makan malam. sebenarnya hari ini Leonor melihat bagaimana Jerome yang baru datang itu menangani seorang pasien di IGD. Sang spesialis jantung yang meneriaki perawat karena tidak cekatan.
Masih terbayang bagaimana wajah marah Jerome mengundang rasa takut para tenaga medis di IGD. Selain memiliki kekuasaan, pria itu memiliki skill tinggi juga.
“Kenapa Pak Direktur sering ke Dept.THT ya?”
Mendengar itu, Leonor bergegas ke kamar koas untuk menghindari sang direktur utama. Kakek senang sekali membuntutinya! Padahal Leonor sangat tidak nyaman karenanya! “El, mau join belajar bareng kita gak?”
“Gak bisa, sorry.”
Buru-buru ke parkiran dimana Jerome sudah ada disana. Pria itu naik mobilnya sendiri diikuti oleh Leonor dari belakang. “Siap-siap di kamar itu.”
“Iyaaa,” jawab Leonor bersiap sesuai dengan request Jerome. Dimana dia memakai pakaian yang bercorak macan tutul dengan bando yang senada pula. “Ini gue gak disangka mau dangdutan ‘kan? Tapi gak papa deh, bagus kalau itu keluarga gak suka sama gue, biar cepet kelar urusan sama si Bapak.”
Menunggu Jerome sambil menyalakan televisi. Leonor betah disini, pemandangannya sangat bagus dan sepi. Jika dia tinggal sendiri, akan tenang di tempat ini setelah semalaman mabuk dalam tarian penuh alcohol. Mulai melamun sampai terbayangkan tubuh bagian atas Jerome yang berotot. “Gak boleh, gak boleh kayak gitu….” Leonor menyembunyikan wajah di bantalan sofa dengan posisi menungging.
Jerome sampai membulatkan mata melihat panttat bulat yang tercetak jelas. “Ekhem!”
“Eh, berangkat sekarang, Pak?”
“Ayok cepetan.”
Dengan Jerome yang menjelaskan scenario nanti, Leonor hanya mengangguk-angguk saja menyetujui. Jerome juga sadar kalau pakaian Leonor terlalu ketat, sampai membuat tubuhnya tercetak sempurna.
“Saya sadar kok kalau ini aneh,” ucapnya sambil memakai lipstick tebal. “Tapi saya pengen cepet-cepet putus sama bapak. Hmmm… dengan catatan udah datang ke kondangan temen saya sih. sama bapak ke reunian.”
“Kamu nyaman ‘kan pake baju gitu?”
“Aman kok, saya udah terbiasa pake yang ginian. Apalagi kalau ke klab.”
“Emang sih, kehujanan aja kebal.”
“Pak, janji ya jangan libatin keluarga saya. Pokoknya Bapak harus selek deh semua pertanyaan mereka.”
Jerome menngangguk saja. Dia membawa mobil menuju ke rumah Kakek dan Nenenknya. Tapi melewati dulu rumah kedua orangtuanya, “Itu rumah orangtua saya.”
“Bjiirr, gede juga ya.”
“Lebih gede punya saya.”
“Apartemen punya bapak mah kecil ah.”
Jerome terkekeh penuh arti sambil terus menyetir menuju ke rumah Nenek dan Kakeknya yang jauh lebih besar lagi. “Woahhh…. Gede banget,” ucapnya sambil menelan saliva kasar.
Khawatir dia akan dipermalukan dengan gaun seperti ini. “Pak, jangan liatin saya kayak gitu dong. Ini bapak yang milih loh.”
“Emang saya ngomong apa?” tanya Jerome membawa Leonor masuk ke dalam mansion.
“Lohh?” Leonor membulatkan mata.
“Ihhh baju kita kembarrr! Coraknya sama,” ucap Seline memekik. Dia datang pada Leonor kemudian memeluk calon menantunya itu. “Leonor ternyata satu style sama Mama ya. Makin mudah dong nanti kalau kita shopping bareng.
Jerome sampai terdiam disana. Dia tahu kalau sang Mama memang eksentrik. Tapi tidak terfikirkan sampai sejauh ini. “Bagus, A. kamu pinter nyari pacar,” ucap sang Papa.
***
Dihidangkan banyak makanan enak, Leonor makan dengan lahap tanpa malu-malu. Berharap kalau yang satu ini akan membuat keluarga Jerome jadi ilfeel. “Tambahin lagi nasi buat Leonor. Duh, Nenek suka deh kalau ada yang makan masakan Nenek kayak kamu.”
Namun apapun yang dilakukan Leonor tampaknya diterima baik. “Kamu katanya koas di Rumah Sakit punya Aa ya?”
“Iya, Tante.”
“Mama dong manggilnya. Status udah melebihi pacaran kok malah manggil Tante.”
“I-iya, Ma.”
“Tapi Leonor gak suka jadi pusat perhatian dan pembicaraan teman-temannya. Jadi kita pura-pura gak kenal kalau udah sampe disana,” ucap Kakek. “Padahal Kakek pengen banget bawa kamu ke bagian terbaik dari koas.”
“Bagus dong. Tapi jangan lama-lama dirahasiainnya ya.” Nenek menatap Leonor. “Biarin aja orang lain mau ngomong apa juga.”
“Bener tuh, apalagi kalian udah di tahap tunangan. Rasanya gak sopan kalau Aa udah lamar Leonor tapi belum ada pertemuan keluarga. Jadi, mau kapan?”
Leonor menelan salivanya kasar kemudian menatap Jerome.
“Nanti dulu, Leonor harus focus koas.”
“Terus ngapain Aa lamar dia dong?”
“Buat penjelasan kalau Aa gak kasih dia harapan palsu makannya langsung dilamar.”
Leonor enggan bicara, jadi dia terus menendang pelan kaki Jerome di bawah sana untuk memberikan isyarat.
“Dilamar secara pribadi masuknya bukan tunangan atuh. Kalau mau ikaatan lebih jelas, seenggaknya harus ada pertemuan diantara dua keluarga. Gimana?”
“Keluarganya Leonor sibuk. Belum bisa ditemui dalam waktu dekat.”
“Memangnya orangtuanya bekerja di bagian apa?” tanya Seline penasaran. “Mama tuh pengen kalian cepet resmi dengan dua keluarga gituloh.”
“Di bidang hukum, Ma. Hehehe.”
“Hukum? Oalahh.”
Leonor semakin menggerakan kakinya dibawah sana pada Jerome untuk mengambil alih situasi. Jerome yang paham langsung menghentikan percakapan seputar itu dan mengalihkannya dengan, “Mama jangan terlalu berharap banyak, kan udah punya cucu dari Bang Jaegar. Dari Shiloh juga mau satu.”
“Tapi kan beda, Mama pengen dari kamu juga, A.”
“Aa mau ke kamar mandi dulu,” ucap Jerome pergi. Leonor diam mematung. Jerome sudah pergi, tapi kaki yang ditendang oleh Leonor masih ada dibawah sini. Ini kaki siapa?
“Nenek jangan mancing-mancing. Nanti kalau udah gak ada orang,” ucap pria paruh baya itu yang langsung membuat Leonor menarik kakinya. Astaga! Ternyata punya Kakek!
***
Leonor tidak diizinkan langsung pulang. Ditahan dulu untuk makan dessert bersama. Sekalian Leonor mendengarkan tentang pembicaraan keluarga pemilik rumah sakit ini yang hendak melakukan pembangunan lagi. wahh, cukup kaya ternyata.
“Leonor kalau nanti udah nikah sama Aa, bisa pegang satu cabang ya, Kek?”
Mendengarnya saja membuat Leonor langsung menelan saliva kasar. Masuk kedokteran saja membuat otaknya penuh dengan kontroversi. “Jangan, di amah focus dirumah buat urus rumah tangga, ngurus anak-anak juga.”
“Aa setuju sih kalau itu. Tapi mau gimana kalau Leonornya belum siap.”
Membuat perempuan itu memicingkan matanya. Ingat kalau Jerome ini berniat membuat citranya tampak jelek di depan keluarga. Bahkan rencana putusnya seperti itu. “Leonor belum siap karena masih agak ragu.” Tidak mau citranya buruk sepenuhnya. “Kan ini masalah perasaan. Apa benar perasaan Aa buat aku seorang?”
“Uhuk! Uhuk!” panggilan itu membuat Jerome terbatuk, apalagi ditatap menggoda oleh Leonor. “Dia anaknya strict parents, Ma, mau diantar pulang sekarang. Ayo, Sayang.”
“Jangan cepet-cepet napa, A. Kan belum selesai ngomongnya ini.”
“Udah malem, Ma. besok Leonor harus Koas.”
“Bener tuh, yang Koas sekarang banyak loh. 200an lebih kayaknya. Leonor harus cari celah dapetin peluang.”
“Kok Ibu bisa tau?”
“Ciri anak Koas kan nempel di dinding. Ibu pas ke RS banyak banget yang nemplok.”
Leonor jadi sadar dirinya memang seperti itu. “Tunggu deh! Jangan dulu berangkat! Mama punya sesuatu buat Leonnor! Pasti suka!” Seline langsung berlari ke lantai dua dan kembali membawakan dua pakaian sama. “Mama dulu beli ini pas diskon. Buat Leonor satu ya, biar kita nanti couple-an.”
Jerome mengerutkan keningnya. “Baju aneh.”
“Heh, aneh apanya? Ini klasik tau, A. ini motif ulat bulu.”
“Warna dugong.” Lanjut Jerome.
“Tapi Leonor suka ‘kan?”
“Su-suka, Ma. makasih banyak. Kapan-kapan dipake sama Leonor ya.”
“Foto dulu dong kita, biar samaan baju macam tutulnya.”
“Sini, Sayang. biar mas yang fotoin.” Zain menawarkan diri.
Jerome menghela napas berat melihat Seline dan Leonor yang berpose centil di depan kamera. Leonor tampak menikmati peran, bagaimana mereka bisa lepas jika orangtuanya malah menyukai perempuan ini? “Udah, mau pulang dulu. ayo, Leonor.”
“Tunggu, Nak. Makasih banyak ya.” Seline menggenggam tangan Leonor. “Tolong bertahan sama si Aa ya. dia mungkin kalau bangun tidur suka jatuh, suka manja terus minta dipukpuk nantinya, tapi harus sabar ya?”
“Ma, udah, Ma.” menarik tangan Leonor untuk dibawa pergi. “Kita pulang.”
Mereka mengantarkan sampai ke beranda rumah, melihat Jerome dan Leonor yang saling menggenggam dan melangkah menjauh. “Serasi banget mereka ya?”
Mata Leonor menyipit ketika melihat mobil yang tidak asing datang.
“Wahh, kayaknya ada hal urgent di Yayasan,” ucap Zain melangkah menuju sang tamu. “Pak Gardea!” panggilnya.
Yang langsung membuat Leonor membulatkan mata. “Anu… anu….,” ucapnya gagap.
“Jangan drama lagi kamu,” ucap Jerome.
Posisinya yang masih jauh dari mobil dan tidak mau menyapa ayahnya sendiri, Leonor membalikan badan menghadap Jerome kemudian menarik tengkuk pria itu dan menyatukan bibir mereka.
Seketika membuat orang yang melihatnya terdiam. “Apa saya sedang melihat adegan asus*la?” tanya Gardea.
“Mas, bawa Pak Gardea masuk!” teriak Seline.
“Pak, ayok, Pak. Itu anak kedua saya sama pacarnya. mohon maaf itu pacar pertama anak saya, makannya gak inget tempat gitu,” ucap Zain membawa sang tamu masuk ke dalam rumah.
“Jangan berkembang biak di ruang terbuka. Aa, besok kkita harus diskusiin buat temuin orangtuanya pacar kamu,” ucap Seline sebelum masuk ke dalam.