Efek Ajaib

1874 Kata
Leonor melepaskan ciumannya. Mata Elang Jerome menatapnya dengan tajam dengan wajah penuh tanya. “Ma… maaf, Pak…. Ayo…., masuk,” ucap Leonor dengan suara tercekat, menarik Jerome ke dalam mobil. Untung di luar rumah sudah tidak ada siapa-siapa, Leonor malu kalau digoda. “Astaga….” “Kamu ngapain barusan?” “Yang tadi itu Ayah saya, Pak. Dia Dewan Penasihat di Yayasan. Hampir aja.” Jerome langsung diam seketika. “Pak Hakim tadi Ayah kamu?” “Iya, Bapak kenal sama Ayah saya?” “Gak, tau aja dari Papa,” jawabnya dengan santai dan mengendarai mobil. Leonor tidak habis pikir, kenapa Jerome tampak santai? “Pak, itu Ayah saya loh. Gimana kalau keluarga bapak tiba-tiba ngomong tentang saya sama bapak yang udah tunangan? Bisa kacau saya, Pak.” Jerome lebih focus pada ciuman yang dilakukan Leonor tadi. Bibir mereka menyatu, Leonor bergerak kecil seolah tengah memakan bibir Jerome tadi. “Pak, gimana kalau Ayah saya tahu?” Jerome mengabaikan hingga mereka sampai di apartemen. Ocehan Leonor itu tidak membuat Jerome focus, manik pria itu menatap bibir sang perempuan yang terus bergerak mengomel. “Ngoceh bisa tapi ciuman gak bisa.” “Maksud bapak?” Leonor langsung diam dan focus pada Jerome yang membuka coatnya. “Ciuman itu Cuma bagian dari alasan supaya saya gak ketahuan.” “Tapi kamu masih pemula kayaknya. Baru ciuman berapa kali sama mantan kamu?” “Pleasee. Jangan bahas itu kenapa sih? saya nebeng mandi disini,” ucapnya langsung masuk ke dalam kamar. Leonor bahkan tidak berani menatap manik Jerome, dia terlalu malu mengingat apa yang terjadi sebelumnya. “Lagian itu salah Ayah, kenapa ke Bandungnya Cuma sebentar. Emang ada masalah apa sih sampai dia datang malem-malem ke rumah orang.” Sambil menggerutu perihal ayahnya, Leonor keramas di bawah guyuran shower. Air hangat ini menenangkan, sayang sekali tidak ada bathub di kamar tamu. “Loh? Kok airnya berhenti?” tanya Leonor bingung. Shampoo itu semakin masuk dan membuat perih matanya. Tangannya meraba-raba mencoba menyalakan air. “Aaaaa perihhhh!” teriaknya panic. “Dok! Dokterrrr!” Leonor melompat karena matanya sangat perih sambil meraba sekitar mencari westafel. “Dokterrrrr! Pak! Pak Dokterr, perihh!” Jerome yang baru saja membuka baju itu langsung berlari ke kamar sebelah. Dari arah kamar mandi! Dia bergegas masuk dan…. Menelan salivanya kasar melihat Leonor yang tidak berpakaian sedang meraba sekitar. Sebagian tubuhnya tertutupi busa, tapi Jerome masih melihat jelas lekuk tubuh yang begitu indah. “Pakkk dokter mata saya perih! Airnya gak nyala ihhh! Bapak disana ‘kan?! bantuin saya! Cepet!” “Bentar, kamu jangan panic.” “Ih, bapak udah disini?!” tangannya langsung menyilang dengan kaki rapat. “Jangan berani ngintip saya! Saya sumpahin bintitan kalau liatin saya!” “Jangan teriak-teriak!” “Janji dulu gak liatin saya! Janji!” “Saya gak liatin kamu,” ucap Jerome yang mencoba membenarkan kran supaya air keluar. Matanya terfokus pada Leonor yang sedang bersandar ke dinding sambil berusaha menutupi tubuhnya. “Bapak ih udahh belum! Jangan liatin saya ya! awas saya sumpahin bintitan! Bintitan segede gaban sampe gak bisa liat apapun!” Jerome langsung mengalihkan pandangannya setelah air menyala. Dia juga pria normal yang tertarik melihat lekuk tubuh indah Leonor. “Minggir! Bapak keluar! Keluar!” Jerome langsung menurut. Dia menghela napasnya berat ketika keluar dari kamar mandi. “Shiit,” umpatnya pelan. “Bapak bintitan kalau tadi ngintip saya ya! Bintitan!” *** “A, mata kamu bintitan,” ucap Seline begitu sang putra membukakan pintu apartemennya. “Ini alasan kamu gak masuk kerja? Bintitan gitu?” “Mama kalau mau ngejek, pulang aja lagi.” “Nggak kok, Mama khawatir kamu sakit apa gitu. Makannya bawain banyak makanan nih.” Menerobos masuk ke dalam apartemen sang anak dan langsung menuju dapur. “Kok bisa bintitan gitu, A? abis ngintip siapa?” “Gak ngintip siapa-siapa.” Jerome yang kesal itu duduk, melihat cerminan dirinya di ponsel dan menghela napas dalam karena kedua matanya bengkak juga merah. Apa ini karena menginti Leonor? Mempan sekali sumpah bocah nakal itu. “Tolong potongin timun, Ma. mau dikompres.” “Jangan-jangan abis ngintip Leonor ya sampai bisa bengkak gitu?” “Jangan aneh-aneh, Ma.” “Habis kalian sampai ciuman di halaman depan itu karena apa?” “Leonor gak sempet makan rendang, makannya cium Aa buat rasain rendang buatan Nenek.” “Ada aja deh alesannya. Daripada kebabalasan, mending nikah aja. Mama yakin Leonor gak akan masalah kalau kita melangkah lebih, diamah Cuma malu-malu itu.” “Biarin dia beresin koas dulu.” “Aa keburu 33 tahun dong, A. udah keburu tua. Nanti Leonor gak mau sama Aa.” Khawatir sang anak tidak lagi menemukan tambatan hati. Sejauh ini, Jerome ini yang paling misterius kisah cintanya. Jaegar sudah terlihat jelas kalau dia menyukai tetangganya sendiri, si bungsu juga selalu bercerita. Tapi Jerome, bahkan sempat membuat Seline berfikir anaknya tidak suka perempuan. “A?” “Males ah kalau Mama udah gitu.” “Ih jangan dong. Iya mama minta maaf. Kan mama Cuma mau kamu punya keluarga aja, A.” Datang mendekat pada sang anak. “Mana liat matanya. Separah ap….,” ucapan Seline menggantung. “Banyak banget upilnya, A. kegantengan kamu langsung hilang seketika. Kira-kira Leonor ilfeel gak ya liat mata kamu yang merah bengkak terus upil dimana-mana? Iyuhh…” Jerome diam saja ketika dinistakan oleh Ibunya sendiri. “A, ada obat oles gak?” “Ada, bentar Aa bawa,” ucapnya berdiri kemudian melangkah dengan pelan, tapi akhirnya tidak sengaja menabrak meja. “Aduh.” Mengusap lututnya sebelum menggunakan tangannya juga untuk meraba. “Wahh, asli kayak orang buta,” ucap Seline menggelengkan kepala. “Dia ngintip siapa sih?” Sementara disisi lain, Leonor sudah tidak diganggu lagi oleh Jerome selama dua hari terakhir sejak makan malam keluarga. Dia kadang bertemu kakek yang memberinya kepalan tangan semangat juga senyuman yang manis. Bahkan pria tua itu masih sering mengirimkan Leonor makanan. Ketika Leonor chat, Jerome mengaku sakit. Namun ketika dia berniat menjenguk, Jerome melarangnya. Bukannya Leonor ingin menemui pria itu, dia takut Jerome tidak bisa menemaninya ke acara pernikahan Satria dan Yunda. “El, lu dimana?” “Gue dijalan. Bentar lagi nyampe.” Leonor akan mencari hadiah untuk mantannya. Koas dirumah sakit berbeda, Leonor harus menjemput Leena. “Gue udah nungguin nih. Cepetan.” “Woyy! Udah dibilangin bentar lagi nyampe. Lu yang nyetir ya.” “Okeyy!” Leena masuk dengan penuh semangat. “Ngomong-ngomong lu mau kesana bareng siapa? Gue jadi penasaran?” “Nanti ketemu aja disana.” “El, lu jangan nekad sendiri deh. Nanti malu-maluin. Atau nekad berhentiin acara nikahan itu. masih banyak cowok diluar sana.” “Gak usah khawatir sama gue,” ucap Leonor yang sedang sibuk mengirim spam pada Jerome. “Gue bakalan dateng sama gebetan gue.” “Sapa tuh?” “Lu gak akan tau.” Lagipula mereka beda rumah sakit. Jadi aman-aman saja membawa Jerome kesana. “Jangan halu, mending sama geng kita yang datang tanpa pasangan. Nanti bisa sambil ghibahin pengantin, julidin juga. Daripada sendiri.” Dokter Jerome: Sata pasto dstang. Stop spsm saua. Leonor mengerutkan keningnya. “Dia ngetik sambil merem atau gimana sih? gak bener banget ngetiknya.” *** Barulah ketika hari keempat Leonor tidak bertemu dengan Jerome, pria itu tiba-tiba menghubunginya untuk datang ke apartemen setelah pulang koas. Senyuman Leonor mengembang, dia bisa makan siang dengan tenang kali ini. “Dek Leonor, ini ada titipan. Dimakan ya,” ucap Ibu kantin memberikan pencuci mulut lebih banyak untuk Leonor. “Orang-orang nyangkanya lu jadi ani-ani nya Pak Direktur loh. Soalnya istrinya udah bau tanah.” “Gobllok,” ucap Leonor kesal. Mengabaikan semua gossip aneh yang beredar dan makan dengan nikmat. Dalam perjalanan kembali menuju stase THT, Leonor melewati Dept. Organ Dalam. Melewati koridor ruang para dokter. Leonor dan temannya mendengar suara pertengkaran dari dalam sana. “Jangan mentang-mentang anda itu cucunya direktur jadi seenaknya. Pengalaman anda lebih sedikit dari saya. Kenapa sampai berani menangani pasien tersebut?! itu ibu saya!” Leonor dan beberapa temannya langsung berhenti dan mengintip ke ruangan tersebut. “Dokter Shim, Ibu anda baik-baik saja. Barusan anda salah dengan informasi. Itu bukan pasien yang ditangani oleh dokter Jerome.” Sang perawat berucap setelah menerima telpon. Membuat si pria marah itu terdiam, sementara Jerome mendekat dengan pelan. “Saya tunggu surat pengunduran dirinya,” ucap Jerome kemudian keluar dari ruangan itu. Anak-anak Koas langsung berpencar. Yang satu memungut sampah, yang satu seolah kebingungan sementara Leonor memeluk tembok seperti cicak. “Guyss, ini tekstur temboknya halus banget. Pake cet apa ya?” Jerome memutar bola mata dan melewati anak-anak itu dengan wajah masih menahan amarah. “Wahh…. Serem banget urusan sama pewaris ya, langsung disuruh keluar.” “Lagian jangan remehin dokter Jerome sih. dia udah pro banget kan?” “Yuk cabut ah. Ayok,” ucap Leonor yang terlalu takut melihat wajah Jerome lagi. Kalau dirumah sakit, Jerome itu masuk mode senggol bacok. Tidak dapat diajak bercanda, kadang tidak membalas sapaan koas dan disegani dokter lain. Leonor juga memiliki ketakutan itu. Namun begitu dia berdiri di depan pintu apartemen, semuanya jadi berubah, Leonor dengan berani menekan bel berulang kali sampai Jerome membukakannya. “Dokter sakit apa sih selama ini? gak masuk sampe 4 hari loh.” “Bukan urusan kamu.” “Cie… masih badmood gara-gara tadi ya?” Leonor langsung berani begitu memasuki apartemen. “Mau dibikinin makan malam dulu gak nih? Sebelum saya kasih semua persyaratan ke nikahan mantan saya.” “kamu mau masak apa emangnya?” “Nasi goreng.” “Gak usah.” Jerome langsung hilang napsu. “Saya pesan aja.” “Boleh minta dipesenin, Dok? Saya juga mau makan malam disini dong, tapi dijajanin sama dokter ya?” “Gak tau diri kamu.” “Makasih, Dokter,” ucap Leonor duduk di sofa dan mulai membuka ponselnya. “Nah, ini tampilan kita kalau ke pesta nikahan besok. Acaranya ini, dokter bisa dansa ‘kan? pokoknya harus jadiin saya perempuan paling berharga dan membuat yang lainya iri. Pake mobil ini juga, dokter pake jam bermerk, dan semuanya harus ganteng dari rambut sampai kaki.” Jerome focus pada bibir Leonor yang terus menjelaskan apa yang akan mereka lakukan nanti. “Kita harus keliatan saling mencintai pokoknya.” “Mau tau apa yang bikin orang percaya kita saling mencintai?” “Apa?” “Ciuman. Di pesta dansa itu pasti banyak pasangan yang ciuman, kalau kita enggak, maka bakalan keliatan gak natural.” Leonor terdiam. “Yaudah kayak waktu itu aja.” “Ciuman kamu kaku, jelek banget, gak suhu. Udah kayak kanebo kering. Bikin bibir saya sakit.” “Sembarangan!” teriak Leonor kesal. “Saya bisa.” “Iya, bisanya bikin bibir saya sariawan.” “Saya bisa, dok,” ucapnya tidak terima. Jerome hanya terkekeh. Ketika pria itu hendak beranjak, Leonor menahannya dan langsung menduduki pria itu. “Kita anggap ini latihan.” Kemudian menyatukan bibir keduanya. Jerome kaget karena ciuman Leonor ini tampak seperti orang kelaparan daripada menikmati cinta didalamnya. “Minggir,” ucapnya mendorong kening sang perempuan hingga hampir terjungkal ke belakang. “Tapi kayak gini.” Membaringkan Leonor di sofa kemudian memangut bibirnya penuh kelembutan. Leonor sampai kaget. Ini apa?! kenapa membuat tubuhnya terasa panas dan matanya terpejam otomatis. “Eunghhh…”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN