Bab. 13

2125 Kata
   Sesuai rencana, malam ini Ben mengajak Noel untuk menyambangi sebuah kafe milik seorang artis muda yang cantik. Noel sangat bersemangat mendengarnya, sudah lama ia tak mengunjungi kafe-kafe berkelas. Ben tidak lupa menceritakan soal Natalie yang sempat meneleponnya tadi siang, Noel hanya terkekeh mendengarnya. Ia tahu Natalie hanya berpura-pura mencarinya, yang sebenarnya ia hanya ingin mendengar suara Ben. Wanita itu tak pernah lelah mengejar Ben dengan berbagai alasan.   Ben dan Noel memakai pakaian berwarna gelap agar tidak terlalu mencolok saat di tengah keramaian. Tapi tetap dengan gaya pria-pria berkelas, Ben sudah mengatur semuanya agar kehadiran mereka tampak senormal mungkin. Sama halnya seperti pria-pria kaya kebanyakan, datang hanya untuk mencari hiburan dan bersenang-senang.   Gaya Noel sebagai maniak club malam, atau tempat-tempat hiburan tak diragukan lagi. Ia dengan mudah berbaur dan menciptakan kesan natural sebagai pria lajang butuh hiburan. Berbeda dengan Ben yang agak kesulitan menjadi bagian dari mereka, ia masih tampak kaku dan dingin.   Willona Kafe, cukup norak sebagai nama sebuah kafe. Ben menyunggingkan senyumnya saat pertama kali membaca tulisan untuk sebuah kafe yang elite. Semua orang akan mengenal Willona sebagai pemilik kafe, tapi menurutnya menggunakan nama akan sangat membahayakan. Jelas pandangan Ben berbeda sebagai seorang yang dikelilingi bermacam orang-orang jahat.   Sebelum masuk, Ben dan Noel sempat dicurigai dan diperiksa. Rupanya tak mudah sebagai pengunjung baru untuk masuk ke kafe. Namun keduanya berhasil lolos tanpa diminta keterangan secara mendetil setelah menunjukkan kartu identitas.   “Aku merasa hidup sekarang,” bisik Noel pada Ben. Ia tampak lebih bersemangat sangat beberapa wanita cantik melambai dan tersenyum padanya. “Ini kafe rasa diskotik.” Noel terkekeh. Tapi ia segera menutup mulutnya rapat-rapat.   “Kafe adalah sebuah kedok. Kau akan lebih terkejut lagi nanti,” timpal Ben setengah berbisik. Ujung matanya terus mengawasi sekeliling. Di mana pun ia berada tak akan pernah merasa aman.   “Itu menarik, Kawan. Lama aku tidak merasa terkejut akhir-akhir ini. Semoga tempat ini banyak memberiku kejutan.” Noel memamerkan deretan gigi putihnya, lalu melambai meninggalkan Ben menuju tempat yang paling menyenangkan menurutnya.   “Jangan sampai lengah.” Noel mendengar suara Ben dari Earpiece, alat yang menempel di ditelinganya. Noel nyengir, lalu menutupi telinganya dengan anak rambut dan topi kupluk rajut berwarna hitam.    ***       Ben mulai berjalan-jalan melihat seluruh area kafe. Dengan sikap santai dan tidak mencurigakan. Targetnya menemukan Aris secara diam-diam. Rupanya di kafe itu sangat luas. Selain taman yang luas dengan berbagai macam lampu penerang hias, di dalam bangunan terdapat banyak tempat dan ruang. Semua sesuai fungsinya. Feelingnya benar, tempat ini bukan sekadar kafe pada umumnya, Ben dapat mencium bahwa tempat ini tempat bisnis terlarang. Ada banyak kode yang tanpa sengaja Ben temukan. Hanya orang-orang yang paham yang mengerti arti kode-kode itu.   Banyak pengunjung yang memasuki area untuk menyantap berbagai menu kafe, kemudian mencari hiburan di area lainnya yang menyediakan fasilitas seperti ruang club bahkan kamar-kamar kosong khusus tamu yang ingin menyewa. Ben menangkap sosok Noel sudah menggandeng seorang wanita menuju salah satu kamar.   “Hai, sendirian aja?” tanya seseorang yang tiba-tiba berdiri di dekat Ben.   Melihat seorang gadis memamerkan senyum manis padanya, Ben tidak langsung menjawab. Ia tersenyum miring, dan mengamati gadis itu seksama. Seorang gadis berparas cantik dan memiliki senyum memikat. Matanya besar dengan bulu mata palsu yang panjang dan lentik. Riasan wajahnya tidak terlalu berlebihan seperti gadis-gadis lain yang pernah Ben temui di kafe atau club malam, gadis di hadapannya tetap anggun natural. Gaun putihnya membuat ia terlihat sempurna.   “Aku Willona. Pemilik kafe ini. Sepertinya kamu pengunjung baru di sini.”   Ben berusaha bersikap santai, pantas saja wajah gadis di hadapannya tak asing ia lihat. Ben pernah melihat Willona saat mencari tahu tentang Aris di internet. Sebagai seorang artis, Willona tidak terkesan berlebihan dalam bersikap.   “Saya David. Ya, saya baru berkunjung malam ini di kafe yang sangat mengesankan bagi saya.” Sedikit pujian untuk Willona.   Willona tertawa kecil. Ia tampak senang dipuji Ben. “Kamu sudah mencicipi menu kafe kami, Tuan David?” tanya Willona antusias. Dan Ben menggelengkan kepala.   “Kalau begitu, ayo akan kutunjukkan menu spesial kami. Menu di sini semuanya adalah resep turun temurun dari keluargaku. Sebagai pengunjung baru, aku kasih potongan harga untuk menu-menu spesial.”   Kini Ben sudah mengikuti Willona di tempat di mana pengunjung dapat menikmati menu kafe dengan nyaman. Meja-meja dan kursi yang tertata rapi, banyak hiasan seperti lukisan dinding dan panjangnya miniatur yang unik. Desainnya ruangan yang menarik dan berkelas. Namun bukan semua yang terlihat di depan mata yang sedang Ben pikirkan. Ia terus memikirkan Willona, mengapa ia tampak begitu ramah terhadap orang asing? Apakah tugasnya sebagai pemilik kafe harus seperti ini? Ben merasa ada yang ganjal.     ***      “Selamat menikmati,” kata Willona setelah waiters menyajikan menu-menu favorit kafe di atas meja. Di tempat duduk seberang meja Ben Willona menatap antusias.   Ben mengucapkan terima kasih atas suguhan spesialnya. Ia tidak lupa memuji citarasa makanan itu saat mengunyahnya. Ben hanya memakan beberapa potongan kecil daging panggang yang dilumuri saus keju yang lezat, lalu ia menyudahi makannya. Ia sudah menebak Willona akan keberatan dengan cara makan Ben yang tidak sesuai keinginannya.   “Kenapa nggak dihabiskan?”   “Sudah cukup. Saya sudah merasa sangat kenyang. Andai perut saya masih banyak ruang, sudah saya habiskan tanpa diminta.”   Willona tertawa kecil sambil menutup mulutnya. “Baiklah, kapan-kapan kamu bisa mencoba menu-menu lainnya.”   “Tentu,” jawab Ben sambil melihat arlojinya.   Waktu sudah menunjukkan pukul 22:00, dan ia belum melihat batang hidung Aris di kafe ini. Sedangkan Noel masih bergumul dengan gadis-gadis yang menyenangkannya.   “Aku tadi nggak sengaja melihatmu menuju ruang pemeriksaan, jarang-jarang pengunjung digiring ke sana kecuali ada sesuatu yang orang-orang kami curigai. Jadi ... boleh aku menanyakan sesuatu?”   Sudah Ben duga sebelumnya, bukan tanpa alasan Willona mau repot-repot menemui seorang pengunjung baru. Ben sudah tahu arah pembicaraannya.   “Saya ke sini tidak lain untuk menyenangkan teman saya yang kesepian. Kau akan melihatnya keluar kamar di ujung lorong tidak lama lagi. Dia seorang maniak,” jelas Ben, ia sengaja membuat Willona percaya.   “Lalu, tau darimana kafe ini?” selidiknya kemudian.   Ben tidak suka cara bicara Willona yang terkesan menginterogasi. Atau memang itu yang ia lakukan sekarang tanpa Ben sadari.   “Dari seorang teman. Seorang fotografer yang namanya cukup dikenal dari kalangan para artis.” Ben menatap Willona tajam.   “Siapa dia?”   “Raditya Putra.”    Dalam hitungan beberapa detik, Ben sudah dikepung oleh beberapa pria berseragam.   Ben menarik sudut bibirnya, tersenyum puas.   ***       “Siapa kau sebenarnya?” Aris mendekati Ben. Sementara beberapa pengunjung yang berada di lokasi itu mengambil posisi aman, mereka terlihat menjaga jarak tapi tidak ada kesan ketakutan.   WillonaKafe, sudah menjadi rahasia umum bagi para pengunjungnya. Tempat itu sarang bagi para penjahat. Tidak heran bila sewaktu-waktu ada pengepungan, interogasi, bahkan orang-orang saling baku hantam. Sekilas tampak sebagai tempat yang kacau, tapi semua sistem sudah dibentuk sedemikian rupa. Keamanan, dan orang-orang yang ditugaskan untuk memberi pelajaran bagi yang berani berbuat ulah. Dan Ben, termasuk orang yang dicurigai atas kehadirannya.   Ben mengetuk-ngetukkan telunjuknya di meja, menusuk tajam kedua mata Aris. Sekilas, Aris tampak ragu. Ia seakan tak asing melihat sorot mata itu.   “Kita pernah bertemu sebelumnya. Mungkin kau sudah lupa, anak muda.”   “O, ya?” Aris membesut hidungnya, mengamati Ben lebih teliti, laluutar tubuh menghadap kekasihnya, Willona. “Sayang, aku harus membawanya ke ruangan.”   Gadis cantik itu tersenyum kaku. Ia tahu Aris membutuhkan ruang privasi. Tampaknya pembicaraan ini cukup serius ditindaklanjuti.   “Ben, kau baik-baik saja,” tanya Noel terdengar dari Earpiece. Suara laki-laki itu terdengar masih tersengal-sengal. Ben tak bisa memikirkan apa yang sudah ia lakukan sekarang. Ia juga tak membalas pertanyaan Noel, Aris dan beberapa orang tengah menggiringnya ke suatu tempat.   Ben tahu ini akan terjadi, Aris memang pria b******k. Tempat ini tidak seperti yang terlihat, ada banyak kegiatan berbahaya yang orang lain tidak ketahui. Saat berjalan beriringan dengan anak buah Aris dan Willona, Ben dapat mencium aroma alkohol yang menguat dari mulut pria-pria itu. Mereka baru saja menenggak minuman, dan Ben tidak akan kesulitan membasmi orang-orang bodoh seperti mereka.   Willona sedikit menaikkan gaunnya saat berjalan di samping Aris, terlihat belahan kaki jenjangnya yang mulus tersingkap. Ben membuang muka, sungguh pemandangan memuakkan.   “Masuk!” dorong seorang laki-laki yang tadi terus menggiring Ben. Orang itu kelihatan sangar dan jahat.   “Hei, saya tamu di sini. Apa kalian tidak tahu sopan santun?” Ben mendesis, lalu melangkah memasuki sebuah ruangan yang lebih mirip tempat interogasi daripada tempat santai untuk berbincang. Ben mengutuk Aris berkali-kali dan berjanji akan menghabisi si necis itu bila ia berani berbuat kesalahan.   “Kalian semua keluar, tinggalkan gua sendirian di sini,” perintah Aris pada beberapa orang anak buahnya. Dan mereka pun segera menuruti perintah tanpa disuruh dua kali.   Willona masih menggelayut di samping Aris, bisa ditebak ia juga penasaran dengan Ben yang tiba-tiba muncul di kafenya. Tapi Aris memintanya untuk menunggu di ruangan lain.   “Aku ikut di sini,” kata Willona setengah merajuk. Sekilas ia melirik ke arah Ben.   “Nggak, Sayang. Ini berbahaya. Kamu tunggu di tempat biasa. Aku janji semuanya akan baik-baik aja. Cuma sedikit obrolan dengan tamu kita ini.”   “Kamu yakin?” Tangan lentiknya mengibaskan rambut panjangnya ke belakang. Leher jenjang yang mulus itu tampak bercahaya terkena sinar lampu yang sangat terang dalam ruangan. Aris mengecup bibir Willona cepat.   “Hemm, aku janji gak akan lama.”    ***       Di ruangan lain, Noel sangat kesal karena Ben tidak menjawab apa pun pertanyaan darinya. Mulut Ben bungkam, hanya helaan napas teraturnya yang terdengar. Tapi Noel tahu Ben dalam kondisi terdesak, ia harus menyembunyikan rahasia komunikasi mereka.   Noel baru saja meniduri gadis bermata sipit, artis keturunan China. Entah mengapa gadis itu sangat tertarik saat melihat Noel. Noel yang memang gemar bermain-main dengan para gadis tentu saja tidak menolak saat gadis bermata sipit itu memberinya lampu hijau. Ia seperti kucing kelaparan yang menemukan seekor ikan goreng di dapur juragan.   “Aku harus keluar sebentar,” kata Noel, melepaskan pelukan gadis itu dan dengan cepat menuju kamar mandi. Tidak lama ia sudah keluar dengan pakaiannya yang rapi.   Gadis itu bernama Meiline, tubuhnya masih ditutupi selimut di atas ranjang. Ia tak rela Noel begitu cepat meninggalkannya, sedangkan ia masih ingin berlama-lama. Hampir setiap wanita berperilaku sama, termasuk Meiline yang bermuka cemberut saat Noel pamit untuk keluar ruangan.   Ben dalam masalah!   Noel tak ingin bersenang-senang sementara temannya dalam kondisi tidak aman.   “Boleh aku minta nomor ponselmu, Dylan?” Meiline setengah memohon. Ia mengambil ponselnya di balik bantal dan bersiap mengetik angka-angka yang disebutkan Noel.   “Kau bisa menghubungiku nanti, Cantik. Tapi aku harus pergi sekarang. Im so sorry.”   Meiline menghela napas panjang sepeninggal Noel dari ruangan itu. Ia tersenyum simpul, baru kali ini ia bertemu laki-laki seperkasa Noel. Pria yang sangat macho. Juga manis.   Di ponselnya, Meiline segera mengirim pesan kepada seseorang.   “Pria itu luar biasa. Tapi aku ingin menyampaikan informasi bahwa ia harus dicurigai. Aku melihat alat yang terpasang di telinganya dan beberapa benda tajam di balik jaketnya. Tapi kumohon, jangan sakiti dia bila pria itu tidak membuat kekacauan.”    ***      Noel bergegas ke luar kafe menuju parkiran, sesuai perintah Ben sebelumnya bila terjadi apa-apa ia harus menunggu di sana. Noel menyalakan mesin motor miliknya, sekaligus milik Ben.   Sebelum memasuki area parkir, Noel masih melihat suasana kafe yang tampak normal seperti biasa. Tidak ada wajah-wajah pucat atau kengerian yang terjadi. Gadis-gadis berdansa dengan gemulai bersama pasangan mereka, sebagian tertawa senang menikmati minuman dan bergurau konyol yang memuakkan. Beberapa wanita mencoba menghalangi langkah Noel untuk sekedar menyapa atau berkenalan. Noel sudah terbiasa dengan orang-orang seperti itu, masalahnya ia sama sekali tak menyangka kafe berkelas milik seorang artis ternama ternyata tak ada bedanya dengan club malam kelas bawah.   Noel meludah asal.   Di atas motor yang menyala, samar Noel mendengar Ben bicara. Bukan untuknya, tapi kepada seseorang yang saat ini sedang bersamanya. Namun satu kalimat seperti kode untuk Noel, Ben mengatakan 'bersiap' yang seperti sebuah desisan kecil.   “Ben, aku sudah di parkiran,” kata Noel setengah berbisik. Ia harap Ben bisa fokus mendengarkannya dan segera menuju lokasi. Namun sudah lebih sepuluh menit Ben belum juga keluar.   “Kenapa mesinnya dinyalakan terus?” kata petugas parkir. Sejak tadi ia terus memperhatikan gerak gerik Noel. Berhubung pengunjung cukup ramai, ia tidak terlalu memedulikan sikap aneh Noel.   “Ini motor butut. Harus dipanasin terus biar mau jalan,” jawab Noel asal. Tapi ia segera tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Memindahkan motornya dan motor milik Ben ke luar area parkiran. Dengan itu langkah mereka lebih mudah.   Petugas itu mengerutkan dahi, apa yang dikatakan Noel tidak sesuai dengan kenyataan saat ia melihat kedua kotor yang menyala. Tapi akhirnya ia memilih tak peduli.   “Aku sudah di luar area parkir, kau masih di sana Ben?”   Belum lama Noel mengatakannya, Noel melihat Ben melesat cepat berlari melintasi area parkiran dan sudah mendarat di atas motornya.   “Let’s go!”          
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN