Nayla mulai menceritakan sosok David Jhonson. Entah mengapa ia memiliki perasaan suka pada pria itu. Dingin, kaku tapi menyenangkan. Sejak awal kedatangannya hingga beberapa kali pertemuan mereka setelahnya, Nayla tak pernah untuk tidak mengagumi pria itu. Pria berkharisma. Kadang sikapnya menakuti Nayla, kadang ia menunjukkan sikap hangat dan melindungi. Nayla sulit untuk tidak mengakui kalau ia tengah jatuh cinta. Di akhir cerita, Nayla mengatakan bahwa Dave pernah mencari temannya yang bernama Aris. Kontan saja perihal itu membuat Aditya menatap wajah adiknya seksama.
“Kamu punya foto pria itu?” tanya Raditya agak cemas, “Jangan mudah percaya dengan siapapun, Nay. Dia bisa aja orang jahat yang pura-pura nyasar.”
“Aku gak punya fotonya, Kak. Tapi dia baik, kok. Lagian, aku pikir soal dia nyari nama Aris, kan memang banyak orang punya nama yang sama. Kayaknya dia juga orang kaya, Kak. Mobilnya juga mewah.”
“Ck, matrenya kamu itu gak pernah bikin kapok. Kamu jadi hancur kayak gini gegara matre!”
“Kakak!” teriak Nayla hampir menangis. Ia tahu dia salah. Tapi tak seharusnya kakaknya berkata sinis dan menyalahkannya. “Kakak tega!”
Raditya mengembuskan napas dalam-dalam. “Dengar, aku nggak menyalahkan kamu, Nay. Tapi harusnya kamu bisa mengambil pelajaran dari hubungan kamu sama Aris kemaren. Banyak cowok kaya di kota ini, tapi yang kaya belum tentu baik hatinya.”
Perasaan Raditya sudah tak enak. Ia takut adiknya jatuh ke lubang yang sama. Sudah cukup ia dirusak oleh Aris, desainer muda yang kaya raya itu sudah memanfaatkan kepolosan dan keluguan Nayla. Tapi ia lupa bahwa Nayla memiliki seorang kakak laki-laki yang sama bajingannya dengannya. Raditya tak akan membiarkan siapapun yang berani menyakiti Nayla.
Raditya kembali melihat layar ponsel. Tangannya sibuk menggeser layar, lalu menunjukkannya pada Nayla.
“Apa dia orangnya?”
Wajah sembab Nayla mendongak, menatap layar ponsel di hadapannya. Betapa terkejutnya ia saat melihat foto seorang pria memenuhi layar ponsel.
Nayla membekap mulutnya. Matanya melebar tak percaya. “Dave,” ucapnya nyaris tak terdengar.
“Kamu tahu siapa dia?” Raditya menggertakkan giginya. Raut wajahnya mengeras dan penuh amarah. “Kalau benar dialah David Jhonson, sebaiknya kami putuskan hubungan dengannya, Nay. Aku nggak mau kamu berurusan dengan pembunuh bayaran seperti dia.”
***
Nayla menangis sepanjang hari di kamarnya. Ia tak menyangka kalau Dave-nya adalah seorang pembunuh bayaran. Ia tak rela pria itu jahat, tapi kenyataannya memang begitu. Dave adalah seorang pembunuh!
Kedua mata Nayla bengkak, ia terus menangis meratapi kesialannya. Juga perkataan Raditya yang meminta Nayla untuk menjauhi pria itu. Menjauh atau mati. Raditya mengatakan bahwa kedatangan Dave bisa saja memang faktor kesengajaan, barangkali seseorang sudah memerintahkannya untuk membunuh Nayla.
“Jangan pernah berhubungan lagi dengan pria itu. Atau kamu akan mati, Nay. Jangan buat kekacauan lagi!”
Kata-kata Raditya terus terngiang. Nayla belum siap jika harus melupakan Dave. Ia baru saja menumbuhkan rasa itu dalam hatinya. Nayla juga mengingat bagaimana lembutnya perlakuan Dave saat mengecup bibir tipisnya. Sentuhan yang sangat manis dan lembut.
Ada perasaan senang, sedih, takut, lalu kengerian akan darah dan kematian menyergap. Nayla tersengal, ia tak bisa membayangkan hal-hal buruk menimpanya. Ia baru saja sembuh dari rasa sakit di hatinya. Di rahimnya. Diingatannya.
Malam itu, Nayla terpaksa menelepon Ben untuk membuat janji pertemuan.
***
“Aku nggak nyangka, Dave, kalau kamu seorang pembunuh bayaran. Jadi, apa kamu mau bunuh aku, Dave?” Sambil menangis Nayla mengatakannya. Ia berpikir, mungkin nyawanya tak akan lama lagi akan dirampas di markas ini.
“Saya tidak membunuh perempuan lemah,” jawab Ben dingin. Pandangannya lurus pada Nayla. “Apa kamu pernah hamil, Nay?”
“Tolong jangan menginterogasiku, Dave. Aku capek. Aku butuh istirahat sekarang.” Nayla kembali tergugu. Beberapa kali punggung tangannya mengelap matanya yang basah.
Ben menyandarkan punggungnya di sandaran kursi setelah menekan ujung rokok dalam asbak kuat-kuat. Menyilangkan kedua tangan di belakang kepala. Ia tak menyangka akan seperti ini, Nayla mengetahui siapa ia sebenarnya. Tapi Nayla tampak tidak takut sedikit pun.
Dilihatnya Noel sedang memeriksa beberapa senjata, berpikir untuk menggunakannya bila diperlukan.
“Itu cocok untukmu, Noel. Kau boleh menyimpannya untukmu sendiri. Saya sudah tidak memerlukan senjata itu lagi. Tapi berhati-hatilah, Sam tahu itu milik saya.” Ben melirik ke arah Nayla sebentar, tersenyum tipis, lalu kembali berkata pada Noel, “Nanti malam, kita harus menemui seseorang. Mantan kekasih gadis di hadapan saya ini.”
“A-pa maksudmu, Dave?” sambar Nayla tidak mengerti.
Noel terlihat tersenyum miring, sambil menimbang-nimbang pistol ia menghampiri Ben dan duduk di kursi kosong di sebelahnya. “Apa kita akan menghabisinya malam ini juga?” tanya Noel, tatapannya meneliti wajah Nayla. Gadis itu tertunduk, menahan tangis.
“Malam ini kita akan bersenang-senang terlebih dahulu, Noel.” Ben menjawab, “Seseorang telah memerintah saya untuk melenyapkan Aris, tentu saja dengan bayaran yang setimpal. Saya tidak tahu mengapa ia meminta saya melenyapkan pria itu kecuali kamu akan menjelaskannya pada saya sekarang.” Kali ini ia melihat tajam ke arah Nayla.
“Lihat saya, Baby,” kata Ben, setengah berbisik.
Nayla menggeleng kuat-kuat. “Aku tahu kakakku menyuruhmu untuk membunuh Aris, Dave. Tapi kumohon jangan lakukan itu. Aku ... aku takut.”
Ben memiringkan wajahnya, menyeringai dingin. “Takut katamu? Ini urusan antar pria. Tapi sebelum semuanya terjadi saya ingin mendengar seberapa jahatnya Aris terhadapmu.”
“Aku nggak mau cerita soal itu!” Nayla mencoba mengangkat wajah, matanya sudah basah, menatap lekat wajah Ben yang kaku dan dingin. “Itu terlalu privasi, Dave. Apa mungkin aku membuka aibku sendiri?”
“Sebaiknya aku tidak di sini,” kata Noel, “Ben, aku menunggu di ruang kerjamu, Kawan.” Pria itu beranjak dan menepuk pundak Ben. Ben hanya diam dan melihat Noel melangkah menuju pintu keluar markas. Meninggalkan suara berat pintu besi tertutup.
“Ceritakan,” pinta Ben setelah hanya mereka berdua di ruangan itu. Tapi sebelumnya ia mengambil minuman kaleng dalam lemari pendingin di sudut ruangan untuk Nayla.
Nayla masih bungkam. Ia menimbang-nimbang apa mungkin Ben bisa dipercaya. Ia ingat pesan kakaknya untuk tidak mudah percaya dengan laki-laki manapun. Ben memang baik padanya, tapi ia tak ingin menutup mata bahwa orang yang duduk di hadapannya adalah seorang pembunuh bayaran.
“Apa kamu tidak memercayai saya, Nay?” Suara Ben kembali terdengar membuat Nayla semakin gelisah.
“Baiklah, saya tak ingin memaksa. Tapi saya tidak akan membiarkanmu pergi dari sini begitu saja. Kamu harus tinggal di sini dalam waktu yang diperlukan.”
“Apa katamu, Dave?”
“Yah, kamu saya tahan untuk sementara waktu. Sampai kamu mengungkap semuanya.”
Nayla tersentak. Ia merasa Ben sudah membuat keputusan semaunya sendiri. Ia bukan orang jahat yang harus disekap, diculik atau apa pun. Nayla tiba-tiba merasa Ben sudah diluar batas. Baru saja ia ingin membuka mulut untuk menolak keputusan Ben, suara dering ponsel dalam tas ranselnya terdengar cukup keras.
Nayla segera merogoh tasnya dan mengambil ponsel miliknya setelah mengatakan 'maaf' pada Ben. Raditya meneleponnya. Nayla melirik ke arah Ben, ia takut untuk menerima panggilan kakaknya.
Ben menaikkan satu alisnya, ia seolah bertanya siapa yang menghubungi Nayla.
“Kakakku,” kata Nayla ragu. Ia berharap Ben menyetujuinya untuk menerima telepon. Sayangnya Ben menggelengkan kepala.
“Kenapa?” tanya Nayla setelah panggilan berakhir. Tidak sampai di situ, panggilan terus berulang-ulang dari Raditya. Nayla rasa kakaknya sudah mengkhawatirkannya. Ia lupa sudah berjanji akan memberi kabar jika ia sudah sampai di kampus siang ini.
“Nonaktifkan ponselnya,” perintah Ben penuh penekanan. Ia tak ingin ambil resiko. Ben sudah memperhitungkan semuanya. “Cepat!”
Dengan gugup dan sedikit gemetar Nayla menonaktifkan ponselnya dan menaruh benda itu kembali dalam tas. Mendadak tenggorokannya terasa kering, ia terus memikirkan Raditya, kakaknya pasti sangat cemas sekarang. Apalagi ia sudah tahu Nayla mengenal bahkan sedang dekat dengan seorang pembunuh.
Belum lama, giliran ponsel Ben bergetar di balik saku celananya. Ben pikir itu Raditya yang menelepon, ternyata bukan. Ia melihat nama Natalie di sana.
“Ben, apa Noel sedang bersamamu?” tanya Natalie setelah Ben menerima panggilannya.
Ben melirik ke arah Nayla sebentar. “Ya,” singkat Ben. Ia tak habis pikir mengapa wanita itu menghubungi di waktu yang tidak tepat. Di saat ... Nayla sedang bersamanya. Gadis itu memasang wajah seperti menyelidik.
“Oh, ya ampun. Apa kalian akan ke club bersama-sama malam ini, Ben?”
“Tidak, Natalie,” jawab Ben, matanya tak lepas dari Nayla.
“Hemm, aku pikir kita bisa kembali bertemu malam ini. Aku ingin meminta maaf soal ....”
“No problem, Natalie. Jangan khawatir. Saya sudah memaafkanmu. Maaf, saya tidak bisa bicara banyak saat ini. See you next time.” Ben mematikan ponselnya. Kembali fokus pada Nayla.
Wajah Nayla tampak cemberut. Mendengar nama Natalie disebut ada perasaan cemburu menjalari ruang hati. Ben seperti sangat menjaga sikap saat menerima telepon dari wanita bernama Natalie itu.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Ben, membuka kaleng minum miliknya dan menenggaknya dengan cepat.
“Siapa Natalie?” Akhirnya Nayla bertanya. Tak tahan untuk mengetahui siapa wanita yang barusan menelepon Ben.
Ben tertawa kecil. Nayla sangat tampak menunjukkan rasa cemburu. Tapi Ben tidak begitu menanggapi. “Teman,” jawabnya singkat. “Ia menanyakan Noel.”
“Cowok yang tadi di sini?”
“Yup.”
Nayla terdiam. Ia tak tahu lagi harus bertanya apa. Selain takut, ia merasa tidak ada hak untuk bertanya terlalu jauh. Lagipula, ia cukup merasa lega sebab wanita itu menanyakan laki-laki lain.
“Minumlah, kamu tampak haus sekarang,” kata Ben sembari menyodorkan minuman milik Nayla yang sudah ia buka.
Nayla menahan senyum. Ia pernah diperingatkan Raditya soal Ben, si pembunuh berdarah dingin. Tapi ia sendiri merasa aneh, walau ada kengerian terhadap pembunuh itu, tapi ia merasakan perasaan nyaman yang sulit ia jelaskan.
***
“Untuk sementara, ini kamarmu.” Ben membuka kamar yang terletak di samping ruang kerjanya di rumah. Ben tidak memiliki kamar tamu di rumahnya, Nayla terpaksa tinggal di kamar Ben sendiri.
Kamar itu jarang ditiduri Ben, hampir setiap hari ia berdiam di ruang kerja atau di markas. Sedangkan kamarnya masih tampak rapi dan bersih. Nayla melihat ke arah Ben ragu, lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan.
Kamar Ben tidak terlalu buruk untuk seukuran kamar pria lajang. Ruangan itu tertata rapi, dengan ranjang besar berada di tengah-tengah ruangan, di sisi kiri terdapat lemari besar berwarna hitam. Gorden berwana hitam-gold menutupi jendela kaca yang berada di belakang ranjang. Ben membuka tirai itu, seketika cahaya matahari menyilaukan ruangan.
“Kamu suka?” tanya Ben menyeringai. Kemudian ia duduk di sofa panjang di dekat jendela sambil menyilangkan kakinya. Beberapa saat dilihatnya Nayla masih belum mengatakan apapun.
“Aku mau pulang,” desis Nayla,ia merasa tidak nyaman tinggal serumah dengan Ben.
“Kamu akan aman di sini,” kata Ben, seakan tahu apa yang diresahkan Nayla.
Nayka menggigit bibir bawahnya. Ragu ia melangkah masuk. Nayla memilih duduk di sisi ranjang, mengusap sepertinya lembut dan melihat ke sekeliling. “Apa ada wanita lain yang pernah kamu ajak ke sini, Dave?”
Ben terbahak, ia tak menyangka Nayla akan menanyakan hal di luar dugaan. Ben benar-benar sulit menebak pikiran Nayla yang kerap berubah-ubah.
“Jadi, sejak tadi kamu mengkhawatirkan itu, Baby?” Ben menusukkan tatapannya ke dalam mata Nayla.
Nayla membuang muka. Tak ingin beradu pandang dengan Ben. Pria itu seperti magnet yang terus menarik perasaan Nayla untuk terus mendekat padanya. “Sialan, Dave,” rutuknya menyesali atas pertanyaannya barusan.
Ben beranjak dari duduknya. Sekilas ia mengintip ke bawah, dari jendela itu ia bisa memantau siapapun yang datang menuju markas ataupun rumahnya. Ia juga memasang banyak kamera pengintai baik di dalam atau luar rumah. Namun sebagian sudah dirusak oleh penjahat yang sudah menghanguskan sebagian sudut markasnya.
Siang ini matahari sangat terik. Ben tidak mendapati seseorang di luar sana, bahkan seekor binatang pun. Ben kembali mengalihkan tatapannya pada Nayla. Gadis itu berpura melihat ke arah lain.
“Saya pernah tidur di kamarmu, sekarang kamu akan tidur di kamarku. Saya rasa itu ide yang bagus dan kita impas. Tapi ada aturan yang harus kamu patuhi di sini,” kata Ben, kini ia sudah berdiri di samping Nayla. “Untuk keamanan, serahkan ponselmu pada saya. Kamu dilarang keluar dari kamar tanpa saya perintah. Dan ... jangan pernah berpikir untuk melarikan diri. Nyawa kakakmu ada di tangan saya. Kamu paham, Baby?”
Nayla mengerjap-ngerjapkan mata tak percaya. Ben dianggapnya sudah gila. Ia tak mungkin mengikuti aturan itu yang menurutnya keterlaluan. Tapi ia tak bisa berbuat banyak selain menggerutu dan menyerahkan ponselnya pada Ben. Ia tak ingin Raditya bermasalah. Diam-diam dia menyesali mengapa Raditya menyewa Ben untuk membunuh Aris.
“Good,” ucap Ben saat menerima ponsel Nayla. Ia akan mengamankan benda itu di ruang kerjanya. “Oh, ya. Saya ada di ruang sebelah. Bila ada perlu, kamu bisa menekan tombol yang ada di sini.”
Nayla hampir tak dapat melihat dengan jelas tombol yang dimaksud Ben di atas meja kaca samping ranjangnya. Tapi ia sedikit melihat warna merah di permukaannya. Meja kaca itu tampak seperti meja kaca biasa, Nayla cukup terkejut saat melihat permukaan tangan Ben mengusap meja itu dengan perlahan, lalu sebuah tombol berwarna merah terlihat tampak dari dalam kaca. Ben menekan tombol itu dan keluar suara seperti getaran ponsel.
“Apa semua barang-barang di sini secanggih itu?” Nayla merasa takjub. Ia hampir lupa akan kekesalannya akan pertanyaan Ben tadi yang sempat membuatnya merasa malu.
“Nanti akan saya tunjukkan,” kata Ben, “Saya harus menemui Noel sekarang.”