Bab 6

1995 Kata
Cici berjalan turun di tangga rumahnya menuju ke ruang makan. Saat ini Cici mengenakan rok span hitam dengan atasan kemeja biru tua dan sepatu heels berwarna hitam, serta mengikat tinggi rambut panjangnya. Wajah cantiknya dipolesi make up tipis dengan lipstik merah yang menambah kesan dewasa dan elegan di wajahnya. "Loh ma, papa dimana? Terus dia ngapain di sini" tanya Cici setelah tiba di ruang makan dan tidak menemukan sosok Papanya. Di meja makan saat ini hanya ada Erlan dan Mamanya. "Papa kamu ada meeting penting sama papanya Erlan, jadi harus berangkat pagi-pagi sekali. Terus Erlan ya ke sini buat jemput kamu, papa yang telpon dia tadi pagi." Cici memutar bola matanya jengah. Segala sesuatu yang berhubungan dengannya, entah kenapa orang tuanya selalu melibatkan Erlan. Lama-lama matanya bisa meledak karena selalu melihat wajah Erlan setiap saat, apa lagi setelah mulai bekerja. Wajah Erlan akan ada di setiap hari yang dilaluinya. Cici melirik ke arah Erlan dan pria robot itu terlihat biasa saja dan fokus dengan sarapannya. Setelah selesai sarapan Cici dan Erlan pun langsung berangkat ke kantor bersama. Seperti biasa suasana hening akan menyelimuti mereka saat sedang berada di mobil bersama. Cici seperti merasa berada di rumah doa jika hanya berduaan dengan pria ini. Gadis itu memilih memandang keluar jendela mobil, memandangi pemandangan kota Jakarta yang terlihat padat di pagi hari seperti ini. Setelah empat puluh menit perjalanan panjang karena terjebak macet, akhirnya mobil yang dikendarai Erlan tiba di basement gedung perusahaan. Erlan langsung turun dari mobil setelah mematikan mesin dan membukakan pintu untuk Cici. Erlan segera berjalan menuju lift diikuti oleh Cici. Pria itu berjalan dengan langkah panjangnya yang tentu saja membuat Cici menggerutu di belakangnya. Jelas-jelas dirinya sekarang sedang memakai sepatu berhak tinggi tapi pria itu seakan sengaja berjalan dengan cepat. "Selamat pagi pak Erlan," sapa Feno setelah Erlan dan Cici tiba di lantai kantor Erlan. "Ruangan Anjani sudah siap?" tanya Erlan pada Feno yang dibalas anggukan. Erlan mengalihkan pandangannya pada Cici seakan mengisyaratkan Cici untuk kembali mengikutinya. Erlan masuk ke dalam sebuah ruangan kecil yang nyaman. Di ruangan tersebut terdapat sebuah meja yang sudah ada beberapa dokumen dan sebuah komputer. "Ini ruangan kamu. Kamu bisa membaca beberapa dokumen yang ada di ruangan ini," Erlan menatap ke arah jamnya sebelum kembali memandang ke arah Cici, "sebentar lagi orang yang akan menjadi asistenmu akan datang, kamu bisa menanyakan hal-hal apapun padanya. Saya harus pergi sekarang karena ada meeting penting yang harus saya lakukan". Tanpa menunggu jawaban Cici yang bahkan belum mengeluarkan sepatah kata pun, Erlan langsung berlalu dari ruangan tersebut dan pergi bersama Feno, meninggalkan Cici. "dasar cowo gila. Ngomong singkat, padat, dan jelas terus pergi gitu aja." Sambil menghentakkan kakinya dengan kesal, Cici berjalan menuju ke meja yang ada di ruangan tersebut. Gadis itu segera meletakkan pantatnya di kursi yang ada di depan meja tersebut. karena tidak tahu harus melakukan apa, Cici akhirnya membuka beberapa berkas yang menumpuk cukup banyak di meja tersebut. "gila, laporan sebanyak dan seribet ini harus gue baca semua. Wah cowo robot itu kayanya mau ngerjain gue deh." Saat sedang pusing membaca berkas-berkas yang ada di mejanya, Cici dikagetkan dengan suara ketukan pintu. "lohhh Nani," ujar Cici terkejut saat melihat sosok yang berjalan masuk ke ruangannya. Gadis yang baru masuk itu tersenyum ke arah Cici sambil berjalan mendekati meja, "selamat pagi mba Cici, apa kabar?" Cici tersenyum senang melihat orang yang sangat dikenalinya ini. Nani adalah cucu dari kepala pelayan di rumahnya yang sudah berhenti bekerja karena sudah cukup tua. Terakhir Cici ingat gadis yang lebih muda dua tahun darinya ini diberi beasiswa oleh orangtuanya untuk kuliah di Jogja. Saat kecil mereka sering bermain bersama jika Nani dibawah oleh neneknya ke rumah. "Apa kabar kamu? Kok bisa ada di sini?" "Kan saya yang bakal jadi asisten mba Cici" "Wahhhh beneran, bagus dong kalo gitu." Gadis yang mengenakan celana kain serta kemeja lengan panjang ini tersenyum menanggapi perkataan Cici memelas. Nani segera mendekati meja dan menarik kursi yang ada di depan meja untuk diletakkan di samping Cici, "kalau gitu kita pelajari bareng-bareng aja mba, nanti yang nggak mba mengerti biar saya bantu jelasin". Cici pun mengangguk senang dan mulai membaca kembali berkas-berkas tersebut. "Oh iya Nani. Btw lo udah lama kerja di sini?" "Lumayan mba. Saya selama ini kerja sebagai asistennya Bu Laras, Manager bagian Keuangan" "Terus kalau lo jadi asisten gue, si Bu Laras itu gimana?" "Dia udah berhenti mba, baru aja sebulan yang lalu. Suaminya udah nggak ngizinin dia kerja lagi. Udah hamil gede soalnya." Cici mengangguk mendengar jawaban nani. Gadis itu kembali membaca berkas yang ada di hadapannya. Berharap segala kata yang ada di berkas-berkas itu bisa masuk ke dalam otaknya. "Aaahhhhhhh gue udah nggak kuat," keluh Cici sambil menempelkan dahinya di meja. "Sabar mba. Emang susah sih kalo nggak terlalu paham dan harus dipaksa belajar." "Gue tuh nggak ngerti yang beginian," ujar Cici sambil menatap horor ke arah kertas-kertas yang sudah berserakan di mejanya ini. "mba mau saya buatin kopi nggak?" Cici mengangguk sebagai jawaban. Nina tersenyum lalu berjalan keluar dari ruangan menuju pantry. Sambil menunggu Nina, Cici memilih meletakkan kepalanya di meja. Rasanya sudah tidak sanggup gadis itu membaca lagi semua berkas di hadapannya. Sudah satu jam lebih dirinya mencoba membaca semua itu, tapi tidak ada yang masuk ke otaknya sama sekali. "mba, ini kopinya udah jadi. Saya bawain beberapa cemilan juga" Cici segera mengangkat kepalanya dan tersenyum bahagia saat melihat Nina yang membawa nampan berisi kopi dan beberapa cemilan. Gadis itu segera bangun dari duduknya dan menuju sofa kecil yang ada di dalam ruangannya. "Wah Nani, lo emang paling bisa diandalkan," puji Cici. Nani hanya tersenyum dan meletakkan nampan di meja dekat sofa lalu duduk di samping Cici. Keduanya akhirnya menghabiskan waktu mereka dengan menikmati kopi dan cemilan yang di bawa oleh Nani, keduanya pun memilih mengobrol bersama. Saat asyik mengobrol kedua gadis itu dikagetkan dengan suara pintu yang terbuka dan menampilkan sosok pria kaku dengan tubuh tegap yang memandang ke arah mereka. Melihat sosok pria yang masuk di dalam ruangan Cici, Nani segera berdiri dan menunduk hormat pada orang kedua yang paling berkuasa di perusahaan ini. "Pak Erlangga" "lo nggak bisa ya kalo masuk ketuk pintu dulu?" tanya Cici sambil menatap kesal pada Erlan. Erlan tidak menanggapi pertanyaan Cici, pandangan matanya malah tertuju pada meja kerja Cici yang terlihat berantakan karena kertas-kertas yang berhamburan. Setelah itu pandangan matanya menuju ke arah meja dan mengernyit saat menemukan gelas kopi di meja tersebut. "Kenapa meminum kopi? Apa kamu lupa punya riwayat Maag?" tanya Erlan dengan ekspresi datar. "Gue lebih tahu kondisi tubuh gue." "Jika kamu sakit, saya juga yang repot." Cici langsung saja berdiri dan menatap kesal ke arah Erlan, "jadi maksud lo gue itu selalu ngerepotin lo gitu? Kalo ngerasa repot ya ngomong sama orang tua gue biar lo nggak perlu selalu ngawasin gue" Erlan memijat pelipisnya dengan wajah frustasi seakan menunjukkan bahwa dia benar-benar lelah dengan sikap Cici, sedangkan cici terus saja memberi tatapan tajam padanya. Nani yang berada di tengah dua orang yang sedang berdebat ini hanya diam menunduk, entah kenapa dua orang ini seakan mengeluarkan aura yang sama menyeramkan saat sedang berdebat. "saya sedang tidak ingin berdebat dengan kamu Anjani. Ambil tas kamu kita harus pergi ke suatu tempat." "pergi kemana? Gue nggak mau pergi sama lo" "Pak Andi menyuruh saya jemput kamu di kantor. Dia mengajak makan siang bersama." "Kasih tahu aja restorannya dimana. Gue bisa berangkat sendiri." "Ambil tas kamu dan ikut saya dengan cara baik-baik. Kamu tidak mau saya menyeret kamu ke dalam mobil kan?" Cici mendengus kesal dan berjalan ke meja kerja untuk mengambil tasnya. "dasar robot tukang perintah" gerutu Cici. "Saya bisa dengar perkataanmu" "gue emang berniat buat lo denger kok." Erlan hanya menggelengkan kepala sambil berjalan menuju pintu ruangan Cici dengan diikuti gadis tersebut. Belum sempat keluar Erlan berbalik dan menatap ke arah Nina. "Saya mau saat kembali ruangan ini sudah bersih dan saya peringatkan kamu bahwa ini terakhir kalinya kamu memberikannya kopi." "Ba..baik Pak Erlangga," ucap Nani gugup sambil menunduk. Gadis itu benar-benar tidak bisa berkutik saat merasakan aura mengintimidasi dari Wakil Direktur tersebut. "Dasar bossy tukang perintah. Sampai minuman gue aja diatur" "Saya melakukan itu atas perintah pak Andi. Mengawasi kamu dan memperhatikan hal kecil yang selalu kamu kacau kan," ujar Erlan karena mendengar gerutuan Cici. Keduanya segera masuk ke dalam lift setelah lift terbuka. Di dalam lift Cici terus saja menggerutu kesal. Hidupnya benar-benar akan penuh aturan karena akan selalu diawasi oleh Erlan. Gadis itu jadi ingat saat mereka masih bertunangan, walau Erlan tidak memiliki perasaan apapun padanya, tapi pria itu selalu menjadi anjing penjaga yang terus mengikutinya karena perintah dari papanya. Setelah lift sampai di lantai basement gedung, dengan mulut yang saling terkatup rapat keduanya berjalan menuju mobil milik Erlan. Erlan segera membukakan pintu penumpang di samping kemudi pada Cici, setelah Cici masuk pria itu berlari kecil mengitari mobil dan masuk ke bagian kemudi. Pria itu segera menyalakan mesin mobil dan melajukan mobilnya meninggalkan basement kantor. Selama perjalanan Cici sibuk melihat keluar jendela. Setelah 20 menit perjalanan mobil yang mereka tumpangi telah sampai di sebuah restoran. Erlan keluar dari mobil setelah mematikan mesin mobil lalu mengitari mobilnya dan membuka pintu untuk Cici. Keduanya langsung berjalan memasuki restoran dan menuju ke ruang private yang ada di restoran tersebut. Cici mengerutkan keningnya saat memasuki ruangan di mana papanya sudah terlihat duduk di sebuah meja. Papanya tidak sedang sendiri. Selain ada Arseno Mega, ada juga banyak orang yang duduk bersama Papanya dan menatap ke arah dirinya dan Erlan yang baru saja masuk ke ruangan tersebut. "Maaf jika kami sedikit terlambat," ucap Erlan sopan sambil menuntun Cici untuk duduk di kursi yang kosong di sampingnya. "Ini putri saya Anjani Cicilia Rahid" Mendengar ayahnya memperkenalkan dirinya, Cici hanya tersenyum sopan sambil menatap ke arah orang-orang yang melihatnya. Gadis itu sama sekali tidak tahu bahwa makan siang yang dimaksud Erlan adalah makan siang dengan para dewan direksi perusahaan. "Seperti yang kita bahas tadi, Putri saya yang akan bertanggung jawab untuk ulang tahun perusahaan sebulan yang akan datang. Erlangga hanya akan mengawasi pekerjaannya." Mendengar perkataan papanya, Cici hanya menahan ekspresi bingung sambil melirik ke arah Erlan, namun pria robot itu tidak terlihat terkejut dengan perkataan papanya.. "Saya harap nona Anjani bisa menghasilkan acara yang hebat saat ulang tahun perusahaan nanti. Kami mempercayai anda," ujar salah seorang pria paru baya yang duduk di samping Papanya. Cici tersenyum dan mengangguk singkat walau sebenarnya tidak tahu apa-apa, "Terimakasih atas kepercayaannya". Setelah berbincang-bincang singkat. Semua orang yang ada di ruangan itu mulai memesan makanannya dan menyantap makanan mereka sambil mengobrol santai. Erlan juga sesekali menimpali dalam pembahasan mereka dan hanya Cici yang seperti anak hilang di tengah kerumunan orang-orang ini. Mereka membahas saham, laba perusahaan, dan urusan bisnis lainnya yang sama sekali tidak dimengerti oleh dirinya. Setelah acara makan siang singkat itu selesai, semua orang terlihat berpamitan pada Andi Wiguna Rahid dan mulai satu persatu keluar dari ruangan tersebut hingga hanya tersisa Cici, Erlan, serta kedua papa mereka. "Papa kok nggak bilang apa-apa sama Cici, ngasih tanggung jawab ke Cici tanpa nanya dulu," ujar Cici kesal sambil menatap papanya. "Sekalian saja tadi papa kasih tahunya. Toh ini kan bisa jadi pengalaman buat kamu nak." "Tapi gak dadakan kaya gini juga pa. Aku kaya orang bego tadi, mana gak tahu apa-apa." "tenang sayang kan ada Erlan. Dia akan mengawasi dan membantu kamu selama proses acara ini. Toh kamu akan dibantu sama EO, jadi gak terlalu sulit." Cici hanya diam sambil melipat tangannya. Ekspresi kesal masih tidak luntur dari wajahnya, membuat tiga pria yang berada bersamanya saat ini hanya menghembuskan nafas dan memaklumi perilakunya saat ini. "Papa sama Om Arseno harus pergi lagi, kami harus bertemu klien. Kamu kembali ke kantor dengan Erlan lagi ya." Cici hanya mengangguk, membiarkan papanya yang sudah berjalan menuju pintu. Arseno Mega sempat tersenyum sebentar papa Cici lalu menatap ke arah putranya. "hati-hati mengemudikan mobil" Erlan mengangguk singkat mendengar nasihat Papanya. Kemudian dua pria paru baya itu keluar dari ruangan tersebut meninggalkan Erlan dan Cici. "sebaiknya kita kembali ke kantor sekarang" Cici hanya mengangguk lalu berjalan duluan meninggalkan ruangan tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN