Bab 5

1962 Kata
Cici saat ini sedang berada di dalam kamarnya, ia terus saja berjalan mondar mandir sambil menggigit kuku di jarinya. Gadis itu selalu seperti ini jika sedang memikirkan sesuatu di dalam kepalanya. Setelah pulang dari mall tadi siang Cici terus memikirkan syarat yang diberikan Papanya. "Kerja di perusahaan papa dan biarin diri sendiri diperintah sama si robot itu," gumam Cici bingung, "nggak. Nggak mau gue tiap hari makan hati kalo ketemu manusia robot itu". Cici kembali bolak balik sambil terus berpikir, "tapi kalo gak kerja di perusahaan, masa gue mau diem aja di rumah kaya gini. Udah setahun loh ini" keluh gadis itu sambil menghentakkan kakinya kesal. "Apa gue kerja aja di perusahaan papa, ya udahlah jadi suruhan si manusia robot sebentar, setelah itu kan gue bisa minta modal buat restoran gue sendiri" Setelah merasa yakin dengan keputusannya Cici pun keluar dari kamarnya. Ia itu segera berjalan cepat menuruni tangga menuju ke ruang makan untuk makan malam. "Kamu tuh ya lama banget turunnya, udah karatan papa sama mama nungguin kamu," ujar Dewi Antari saat melihat kehadiran putri tunggalnya. "Maaf ma, toh emang Papa sama Mama udah karatan. Udah tua kan?" Ucapan Cici tentu saja membuat mamanya melotot marah pada anak gadisnya tersebut, Andi hanya tertawa geli melihat istri dan anaknya yang terus saja berdebat tanpa henti. "Papa, ada yang mau Cici sampein," ujar Cici sambil menyendok makanan ke dalam piringnya. "Mau bilang apa lagi sama papa kamu? Minta duit pasti nih, jangan coba-coba buat masalah lagi Cici," cerocos mamanya. "Mama tuh pikirnya negatif mulu tentang Cici," ujar Cici kesal. Perkataan Cici hanya dibalas kekehan jahil mamanya. Cici kembali beralih menatap papanya yang menunggunya untuk menyampaikan keinginannya. "Cici udah mikirin tawaran papa. Cici mau deh coba kerja di perusahaan papa. Tapi papa harus janji, setelah aku udah cukup belajar papa harus kasih modal untuk aku buka restoran milikku sendiri." Dewi dan Andi langsung saja tersenyum bahagia mendengar keputusan putri mereka ini. "Ya ampun, akhirnya anak mama sadar juga. Kayanya salah satu doa mama selama ini udah dikabulkan sama Tuhan." Cici mendengus kesal melihat mamanya yang terlihat bahagia dengan keputusannya. Tentu saja hal paling membahagiakan bagi mamanya adalah saat Cici berada di tempat yang satu lingkungan dengan Erlan. Menjadikan Erlan menantunya sudah seperti mimpi yang paling diidamkan bagi mamanya dan Cici yakin keinginan mamanya itu akan tetap menjadi angan-angan semata.. "Papa senang sama keputusan kamu. Papa akan menghubungi Erlan untuk mengurus segala hal yang diperlukan selama kamu kerja di perusahaan. Kamu bisa mulai masuk hari senin nanti." Cici hanya mengangguk mendengar perkataan papanya dan mulai fokus menyantap makanannya ini. ***** Cici berlari masuk ke dalam gerbang rumahnya. Gadis itu menarik dan mengeluarkan nafasnya dengan perlahan untuk mengontrol detak jantungnya yang berdetak cepat karena kelelahan. Hari ini adalah hari minggu dan Cici baru saja selesai jogging keliling kompleks. Mengenakan tank top potongan pendek yang sedikit menunjukkan perutnya dengan celana training serta rambut yang diikat tinggi sehingga memamerkan leher jenjangnya. Cici mengusap wajahnya dengan handuk kecil yang diletakkan di bahunya, rambut gadis itu setengah basah akibat keringat. Dengan langkah lelah cici masuk ke dalam rumahnya. Gadis itu mengerjitkan dahinya saat menemukan presensi Erlan di rumahnya, gadis itu melirik sebentar ke arah jam dinding yang menunjukkan jam delapan pagi. Sungguh pria yang rajin, batin Cici mencibir. "Ngapain lo pagi-pagi udah di rumah gue?" Erlan hanya menatap Cici sekilas lalu kembali menatap ke arah berkas-berkas di hadapannya, seakan Cici bukan hal penting yang perlu di respon. Ingin sekali Cici membuka sepatunya sekarang dan memukulnya ke kepala pria kulkas di hadapannya ini. "Eh Erlan. Pagi-pagi udah di sini aja. Mau ngapain?" Cici dan Erlan sama-sama mengalihkan pandangannya ke arah Dewi yang sudah melangkah mendekati keduanya dan berdiri di samping Cici sambil tersenyum sumringah pada Erlan. Erlan langsung berdiri dan menyalami Dewi dengan senyuman sopan. "Saya baru dari kantor tadi dan memeriksa beberapa berkas. Ada beberapa laporan yang sudah beres dan akan saya serahkan pada Pak Andi" Ujar Erlan sopan menjawab pertanyaan dari Dewi. "Emang harus di hari minggu apa? Lo pikir papa itu kaya lo robot penggila kerja," cibir Cici yang langsung dihadiahi pukulan keras dari Dewi di lengannya. "Auhhhh sakit ma," ujar Cici sambil mengelus lengannya yang memerah. "Makanya, mulut kamu tu kalo ngomong disaring dulu," dewi mencibir lalu beralih menatap Erlan. "Om Andi baru beres mandi, bentar lagi pasti turun." Erlan hanya mengangguk singkat mendengar perkataan Dewi. "Mama kenapa sih liatin aku kaya gitu banget," tanya Cici saat menyadari mamanya memandang dirinya dengan sinis. "Ya kamu gak malu? Erlan sama mama udah wangi bersih di pagi hari, kamu malah kelihatan butek penuh keringat kaya gini. Sana mandi, jangan jorok jadi perempuan." Cici mendengus kesal mendengar hinaan mamanya. Gadis itu bahkan ingin meledak saat itu juga saat melihat sudut bibir Erlan yang terlihat sedikit terangkat menahan senyum. Sambil menghentakkan kakinya Cici berjalan dengan kesal menuju kamarnya untuk membersihkan diri. "Ya kali habis olahraga wangi, dimana-mana juga habis olahraga ya keringetan lah. Rese," gerutu Cici sambil berjalan menuju kamarnya untuk mandi. *** Cici sudah selesai mandi stelah menghabiskan waktu selama 30 menit, saat ini dirinya sedang sibuk mencari pakaian yang akan dikenakannya. Hari ini Cici berencana akan berbelanja pakaian untuk dikenakannya saat ke kantor besok. Gadis itu tidak pernah merasakan kerja di perusahaan, jadi tentu saja setelan kerja tidak pernah ada di dalam koleksi pakaiannya. Setelah melihat dress biru selutut dengan bentuk leher V, Cici segera meraih dress itu dan mengenakannya. Dengan memakai dress biru langit yang tadi di ambilnya dari lemari, Cici segera menuju ke meja rias dan menyapu wajahnya dengan make up tipis. Ia memilih menggerai rambut lurusnya yang panjang. Merasa sudah beres dengan dandanannya, Cici segera menuju ke arah rak sepatunya dan mengambil sepatu heels putih untuk dikenakannya. Gadis itu tersenyum puas melihat penampilannya. Cici mendengus kesal saat menyadari bahwa dia sangat cantik. Tapi, kenapa sulit sekali baginya untuk mendapatkan pasangan. Tentu saja dia sudah pernah dekat dengan banyak pria, tapi pria-pria yang mendekatinya hanyalah pria-pria b******n yang mengincar harta papanya atau anak-anak kolega bisnis papanya yang mengincar jabatan di perusahaan. "Emang kayanya kecantikan lo akan selalu tertutupi dengan harta papa Ci," gumam Cici.. Cici segera meraih tasnya dan berjalan keluar dari kamarnya. Gadis itu berjalan dengan ceria turun dari tangga. Matanya menangkap sosok papanya yang sedang duduk di ruang keluarga sambil mengobrol dengan Erlan. Berusaha mengabaikan Erlan, Cici berjalan mendekati papanya dan merangkul pria paru baya itu. "Hay pa," sapa Cici ceria. "Mau ke mana kamu? Udah rapi aja." Cici segera berbalik sambil tersenyum ke arah mamanya. "Aku mau belanja ma, kan besok aku udah mulai masuk kantor. Mama tahu sendiri aku nggak punya setelan kantor selama ini." "Kalo begitu biar Erlan temani kamu," ujar Andi. Cici segera berbalik dan memasang wajah memelas pada papanya, "Cici bisa pergi sendiri Pa, nggak perlu ditemani si ro... ah maksud aku nggak perlu ditemani Erlan." "Papa kamu bener. Mending sama Erlan aja. Jaman sekarang bahaya kalo pergi belanja sendirian," ujar mamanya yang ikut menimpali dan tentu saja mendukung papanya untuk membiarkan Cici pergi bersama Erlan. Satu-satunya harapan gadis itu adalah Erlan, semoga saja pria itu menolak untuk mengantarkannya. "Pa, Ma Erlan pasti sibuk. Jadi biar Cici pergi sendiri aja ya." Tanpa menghiraukan perkataan Cici, Andi Wiguna Rahid menatap ke arah pemuda di hadapannya, "kamu bisa Erlan mengantar Cici belanja?" tanya Andi yang dibalas anggukan oleh pria tersebut. Cici langsung saja menghembuskan nafasnya pasrah, merasa sangat terkhianati. Bagaimana mungkin dia bisa mengharapkan penolakan dari Erlan untuk papanya. "Lo tuh gak bisa ya nolak perintah papa gue. Males banget gue pergi belanja sama lo" ujar Cici kesal. Saat ini Cici dan Erlan sudah berada di dalam mobil pria tersebut. "Tidak usah kesal, orangtua mu hanya ingin kamu aman." "Emangnya hanya sama lo gue aman? Gue punya banyak teman yang bisa nemenin gue." "Setahu saya satu-satunya temanmu yang benar Cuma si pemilik butik itu, sisanya tidak ada yang benar. Bahkan terakhir kali kamu hangout dengan teman-temanmu saya harus menjemput kamu di kantor polisi tengah malam" Cici benar-benar kesal mendengar perkataan Erlan yang mengungkit lagi kasus yang terjadi padanya. Gadis itu memilih diam dan tidak menanggapi perkataan Erlan. Mobil mereka sudah terparkir di basement salah satu mall terbesar di Jakarta. Keduanya berjalan bersama memasuki mall. Cici tersentak kaget saat merasakan rangkulan di pinggangnya, gadis itu segera menatap ke sampingnya dan pelaku yang merangkul pinggangnya ini seperti bertingkah biasa saja. "Lo ngapain pake ngerangkul segala?" tanya Cici sambil berusaha melepaskan rangkulan Erlan di pinggangnya. Tapi semakin Cici berontak rangkulan Erlan di pinggangnya malah semakin kuat dan membuat tubuh Cici menempel pada pria itu. "Kamu lihat ke arah sana, banyak pria-pria yang menatapmu nakal." Cici segera menatap ke sekitarnya dan benar saja banyak pria yang sedang menatap ke arahnya. Sudah Cici duga pergi bersama Erlan akan membuat kemungkinannya untuk berkenalan dengan pria tampan dan mendapat gebetan tidak akan pernah terjadi. Pria robot ini selalu overprotektif padanya terkait pria-pria yang mendekatinya. Sudah lebih dari dua jam keduanya berkeliling mall. Erlan bukan tipikal pria yang suka mengeluh saat menemaninya belanja. Setahu Cici papanya selalu mengeluh dan meminta cepat pulang setiap kali mamanya meminta menemani berbelanja tapi Erlan adalah tipikal pria yang diam saja dan terus mengikuti langkah Cici sambil memegang hasil belanjaan Cici yang bahkan sudah sampai enam kantong. "Sebaiknya kita makan siang dulu" ajak Erlan setelah mereka keluar dari salah satu toko pakaian. Merasa lapar juga, Cici memutuskan mengikuti saran Erlan untuk makan. Hari ini hari minggu dan mall tentu saja sangat ramai, bahkan saat memasuki sebuah restoran pun keadaan restoran sangat ramai. Banyak pasangan keluarga yang makan di restoran tersebut. Erlan mengedarkan pandangannya dan kemudian menemukan meja kosong yang berada di dekat jendela di samping sebuah keluarga yang sedang makan. Setelah tiba di meja tersebut, Erlan meletakkan kantong belanjaan Cici dan menuju meja kasir untuk memesan makan bagi keduanya. Sambil menunggu Erlan, Cici memilih memainkan handphonenya. Gadis itu merasa terganggu saat mendapati colekan yang diberikan seorang ibu-ibu padanya, namun demi kesopanan Cici memilih tersenyum pada ibu tersebut. "Neng cantik mukanya kok gak asing ya. Mirip artis siapa gitu yang saya liat di TV," ucap ibu itu. Gadis itu yakin, ibu ini pasti melihat beritanya yang sempat heboh di televisi. Untung saja ibu tersebut tidak langsung mengenal dirinya. "Cuma mirip aja kali bu," jawab Cici ramah. "Yang tadi itu suaminya ya neng?" Cici langsung melotot kaget, gadis itu hendak membantah namun ibu itu langsung memotong pembicaraannya. "Ganteng ya suaminya, cocok sama neng yang cantik. Pasti pengantin baru kan?" Erlan yang sudah selesai memesan terlihat memegang nampan makanan dan meletakkannya ke meja lalu duduk di hadapan Cici. "Eh mas gantengnya udah dateng. Mas ganteng beruntung loh punya istri cantik kaya neng ini. Di jagain ya mas" Mendengar perkataan ibu tersebut membuat Erlan menatap bingung ke arah Cici yang hanya dibalas gadis itu dengan mengangkatkan bahunya. Keduanya pun memilih hanya tersenyum pada ibu tersebut lalu kemudian memakan makanan mereka. Saat makanannya sudah hampir habis rombongan ibu yang tadi mengira mereka pasangan suami istri sudah keluar dari restoran. "Dasar ibu-ibu, bisa-bisanya ngira kita suami istri," ujar cici kesal. "Sudah tahu begitu kenapa kamu tidak membantah. Harusnya kamu mengatakan pada ibu itu jika kita bukan pasangan suami istri. Apa jangan-jangan kamu mengharapkan hal itu?" tanya Erlan yang langsung dibalas pelototan tajam oleh Cici. "Lo gila ya. Gue udah mau ngebantah, tapi ibunya ngerocos terus. Gila aja gue mau punya suami kaku kaya loh, bisa mati muda yang ada." Erlan memilih diam dan kembali memakan makanannya, membiarkan Cici yang terus menggerutu tidak terima dengan tuduhannya tadi. Setelah selesai makan, keduanya memutuskan langsung menuju basement untuk pulang. Cici berjalan santai membiarkan Erlan yang memegang semua belanjaannya. "Apakah kamu tidak berniat memegang beberapa belanjaan mu ini?" Mendengar pertanyaan Erlan membuat Cici berbalik sambil menatap kesal padanya. "Lo gak bilang dari tadi, sekarang baru ngeluh" ucap cici sambil mengambil beberapa kantong yang ada di tangan Erlan. Keduanya pun kembali berjalan bersama menuju ke parkiran.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN