Cici dan Nani sedang duduk dan makan bersama di kantin kantor. Karena terlalu malas makan siang di luar, Cici memutuskan untuk menghabiskan jam makan siangnya di kantin saja. Walau harus menahan muka karena tatapan para karyawan yang terus saja tertuju padanya.
"Mba, itu makanannya kok hanya diaduk-aduk?" tanya Nani.
"Nggak mood makan gue, capek tahu nggak."
Sudah satu minggu Cici menghabiskan waktunya di kantor ini. Pekerjaan yang dilakukannya hanya mengurus acara ulang tahun perusahaan dibantu Nani. Dirinya hanya harus menghitung berapa biaya yang diperlukan, apa saja yang harus direncanakan, dan sebagainya. Jika tidak ada Nani yang membantunya mungkin Cici tidak akan bisa melakukannya sendiri.
"Makan mah ya karena laper bukan karena mood mba."
Cici mendengus kesal mendengar sindiran Nani padanya. Asisten barunya ini walau baru seminggu bersamanya tapi mulai sering menyidir dirinya.
Cici menangkap sosok Erlan ynag terlihat berjalan bersama beberapa dewan direksi. Pria itu terlihat serius berbicara sambil melangkah menuju keluar gedung kantor. Erlan memang terlihat sangat berwibawa saat berada di kantor dan dirinya mengakui hal itu. Cici bisa melihat bahwa karyawan-karyawan wanita di perusahaan ini bahkan menatap Erlan dengan tatapan memuja.
"Nani lu udah berapa lama kerja di sini?" tanya Cici penasaran.
Nani sedang berpikir sebentar, "kalo gak salah sekitar tiga tahunan mba saya jadi asistennya bu Laras. Emang kenapa?"
"Selama lo kerja di sini, pernah dengar kabar Erlan deket sama cewe nggak?"
"Seingat saya nggak pernah mba, bukannya mba cewe yang paling deket sama Pak Erlangga bahkan pernah jadi tunangannya karena dijodohin, itupun batal. Tapi kalau cewe-cewe yang naksir pak Erlangga sih banyak banget mba di kantor ini ataupun karyawan dari kantor lain yang merupakan klien perusahaan kita. Bahkan ya di perusahaan ini ada group cewe penggemar pak Erlangga loh."
Cici bergidik ngeri mendengar informasi dari nani, "Group penggemar Erlan?" Cici bergidik, "jangan-jangan lo juga masuk lagi di group itu," tuduh Cici.
Nani langsung saja menggeleng tegas dengan pandangan melotot, "ihh saya mah nggak mba. Saya gak suka yang kaya pak Erlangga, kelihatan galak dan dingin. Bulu kuduk saya selalu merinding kalo deket dia mba, bawaannya takut mulu sama auranya itu."
"Tapi masa sih dia nggak berhubungan sama cewe sama sekali selain pernah jadi tunangan gue. Apa jangan-jangan dia nggak normal dan nggak naksir cewe?"
Nani langsung melotot kaget, "ihh mba jangan sembarangan, nggak berani saya ngambil kesimpulan begitu. Mungkin Pak Erlangga Cuma belum mikirin soal pasangan".
"Ya tapi aneh aja gitu loh. Dia cowo mapan udah gitu good looking, terus umurnya juga udah 27 tahun. Masa sama sekali nggak pernah deket sama cewe, kan itu patut dicurigai."
"Saya nggak berani mba nerka-nerka kaya gitu, takut jadi fitnah lagi nanti. Mending mba habisin makannya aja deh, terus balik ke ruangan."
Cici kembali memikirkan perkataannya. Ia tahu Erlan tidak pernah ingin berkomitmen dengan wanita manapun, itu semua karena Erlan sangat membenci mamanya yang dulu pernah menyiksa dan memukul Erlan. Apa jangan-jangan karena kejadian itu Erlan memilih tidak tertarik pada wanita dan malah berbelok tertarik pada lawan jenis?.
*****
Setelah pulang melihat lokasi proyek hotel baru dan makan siang di luar, Erlan memutuskan langsung kembali ke kantor dan menyelesaikan beberapa pekerjaan yang menumpuk. Wakil direktur muda itu, terlihat sangat berkonsentrasi menatap berbagai macam berkas perusahaan.
Saat sedang sibuk dengan pekerjaannya, pintu ruangannya terbuka dan menampilkan sosok wanita yang selalu merepotkannya. Erlan menatap bingung melihat gadis itu berjalan mendekatinya sambil tersenyum mencurigakan.
"hayyy lo sibuk ya?"
Erlan bingung melihat Cici yang tiba-tiba masuk ke ruangannya dan menyapanya dengan sangat ramah tanpa nada kesal yang sering dikeluarkannya.
"Ada perlu apa ke ruangan saya?" tanya Erlan yang kembali fokus pada pekerjaannya.
Cici mendengus kesal melihat sikap datar Erlan, namun gadis itu kembali tersenyum dan menarik kursi yang ada di depan meja Erlan dan duduk di sana sambil menopang dagu dan melihat Erlan yang sedang bekerja.
"Lebih baik kamu cepat mengatakan keperluanmu, saya benar-benar sedang sibuk sekarang."
"Gue cuma mau nanya sesuatu kok".
"Nanya apa?" tanya Erlan sambil tetap sibuk dengan pekerjaannya.
"Gue lihat lo nggak pernah kelihatan dekat sama cewe manapun selama ini. Bener?'
Erlan tentu saja langsung mendongkak dan menatap Cici dengan pandangan heran, "kamu datang ke ruangan saya hanya untuk menanyakan hal tidak penting seperti itu?"
"ihhh ini penting tahu, mikir aja nih ya. Lo wakil direktur di salah satu perusahaan ternama di indonesia dan cukup berpengaruh di Asia, selain itu ya lo juga cukup good looking lah selain itu penghasilan lo bisa dibilang besar, apalagi umur lo udah matang banget. Aneh aja kan kalo belum pernah deket sama cewe sama sekali."
"Jadi kalau saya tidak pernah dekat dengan wanita manapun memangnya kenapa?"
Cici memajukan badannya ke arah Erlan, "lo pasti gay kan?" bisik Cici dengan senyuman liciknya yang hanya ditanggapi Erlan dengan wajah datar.
"Tenang aja, gue nggak akan bocorin hal ini ke orang lain kok"
"Jadi kamu membuat kesimpulan seperti itu dari hipotesis-hipotesismu?" tanya Erlan yang tetap bersikap tenang.
"Ini bukan sekedar hipotesis, ini fakta. Tenang aja gue nggak akan ngerusak reputasi lo sebagai Wakil Direktur. Asalkan lo bersikap baik sama gue," ujar cici dengan tatapan penuh kemenangan.
Erlam memijit pelipisnya menahan frustasi akan sikap gadis dihadapannya ini. Pria itu kembali menatap Cici, "terserah kamu ingin berpikiran apa. Saya sedang sibuk sekarang, jadi bisakah kamu tinggalkan saya sendiri."
"Nggak usah marah gitu kali hanya karena gue tahu rahasia lo. Gue nggak akan bocor kok" ucap Cici yang sudah berdiri dan berjalan keluar dari ruangan Erlan.
Erlan hanya menggeleng pelan. Setelah Cici keluar dari ruangannya ia kembali melanjutkan pekerjaannya.
*****
"Lo gila ya bilang kaya gitu ke Erlan," ujar Raras setengah menjerit.
Saat ini Cici sedang berada di butik milik Raras. Setelah pulang kantor tadi dirinya memutuskan untuk mengunjungi Butik sahabatnya ini dan menceritakan apa yang dilakukannya di kantor.
"Lah nggak salah dong. Gue ngomong fakta kok ke dia."
"Ya ampun ci, lo nggak waras deh kayanya. Dari mana lo yakin kalau dia gay?" tanya Raras sedikit frustasi
"Ya dari fakta yang ada lah. Dia nggak pernah deket atau berkencan sama cewe selama ini."
"Denger ya Anjani Cicilia Rahid, nggak kencan sama siapapun bukan berarti cowo itu gay. Mungkin aja dia emang belum mau berhubungan sama siapapun."
"Ya tapi masa gak pernah naksir sama cewe. Emang apa lagi alasan cowo nggak bisa naksir cewe kalo dia normal."
Raras memijit pelan keningnya menghadapi sahabatnya yang ajaib ini, "tapi gue rasa Erlan nggak mungkin gitu Cici. Kayanya lo salah deh".
"Dia aja kelihatan nggak ngebantah perkataan gue kok. Berarti emang bener kalo dia itu nggak normal. Lo mikir aja, selama setahun gue sama dia bertunangan. Gue ngikutin saran orang tua gue untuk coba mendekatkan diri sama dia, tapi dia malah selalu kelihatan menghindar sampai pertunangan kita dibatalin. Kalau dia deket sama cewe lain ya oke gak masalah, tapi faktanya dia juga nggak deket sama siapapun."
"Nggak tahu deh, bingung gue. Gue tetep ngerasa dia masih normal kok. Mungkin ada alasan aja dia nggak mau berhubungan sama cewe. Btw lo ngomentarin Erlan yang nggak ada pasangan, nah lo sendiri masih jomblo."
"Gue beda kasusnya ras, gue mah walau jomblo tapi sempet lah deket sama beberapa cowo. Selain itu lo sendiri tahu gue sempet punya perasaan sama Erlan."
"Bilang aja masih," bisik Raras.
"Lo ngomong apa?"
Raras segera menggeleng sambil tersenyum.
Cici mengedarkan pandangannya ke sekeliling butik sahabatnya ini hingga pandangannya terpaku pada sebuah gaun hitam dengan hiasan manik berwarna perak yang indah.
"Gaun ini bagus banget," ujar cici yang sudah mendekati gaun tersebut dan menyentuh kainnya yang terasa lembut.
"Itu desain baru gue. Kenapa lo naksir?" tanya Raras pada Cici yang sedang memandang penuh cinta ke arah rancangan sederhananya yang terlihat elegan.
"Suka banget Ras, boleh nggak gue ambil ini? Gue pingin make gaun ini di acara ulang tahun perusahaan nanti," ujar Cici dengan perasaan gembira.
Saat sedang asyik memperhatikan gaun tersebut, Cici dan Raras dikagetkan dengan kemunculan Nani di butik Raras.
"loh Nani, ngapain di sini?" tanya Cici bingung.
"Saya di suruh pak Erlangga buat jemput mba Cici. Disuruh harus segera balik ke rumah mba"
Raras tersenyum geli mendengar penuturan Nani sedangkan Cici sudah memasang wajah kesal mendengar bahwa manusia robot itu sudah menjadikan Nani alat untuk mengurangi kebebasannya.
"ngapain sih? Gue bukan anak kecil yang perlu dijemput segala."
"Saya cuma melaksanakan perintah mba. Takut saya kalo Pak Erlangga marah"
"lo tuh asisten gue bukan Erlangga. Kenapa malah perintah Erlangga yang selalu lo dahulukan sih?"
"hehehehe, maaf mba," ucap Nani sambil menyengir.
"udah ah, lo mah marah-marah mulu. Balik gih sana gue juga mau balik nih," ujar Raras.
Cici kemudian mengangguk dan langsung berjalan bersama Nani keluar dari butik Raras. Keduanya langsung menuju ke arah mobil Cici yang ternyata digunakan Nani.
Tunggu. Mobil Cici?
"Lo kok bisa bawa mobil gue sih?" tanya Cici sambil menatap Nani curiga.
"Itu mba, kata pak Erlangga mulai sekarang saya bawa mobil ini buat jemput dan antar mba Cici kemanapun."
Cici kembali dibuat kesal dengan perintah Erlangga pada Nani. Apa pria robot itu ingin balas dendam dengannya? Jika Nani menggunakan mobilnya, secara tidak langsung Erlan memerintahkan Nani untuk selalu mengikuti kemanapun dirinya pergi dengan mobil ini. Dasar manusia robot sialan.