"Dia nggak gay," ujar Cici lalu duduk di samping Raras yang saat ini sedang merevisi hasil sketsa rancangannya.
Karena tidak tahu harus kemana, Cici memutuskan pergi ke butik sahabatnya Raras.
"Maksud lo siapa sih?" tanya Raras yang kebingungan melihat sahabatnya yang baru datang namun tiba-tiba mengatakan hal ambigu padanya.
"Siapa lagi yang selalu kita bahas kalau bukan manusia robot itu," ujar Cici frustasi.
Raras hanya mengangguk dan beroh ria kemudian kembali fokus pada Sketsanya.
"Kan dari awal gue udah bilang dia nggak mungkin gay. lo nya aja yang kekeh nganggap dia gay," ucap raras tanpa melihat Cici.
"Iya, gue salah. Ternyata dia emang nggak gay.
"Btw kok lo bisa tahu dia normal?" tanya Raras.
"Dia nyium gue tadi."
"APAAAAA? Nyium?" jerit Raras yang sudah memandang Cici dengan wajah syok.
"Nggak usah teriak-teriak kali Ras. Sakit kuping gue."
"Ya gue kaget njiirrrr, kok lo sama dia bisa ciuman? Gimana ceritanya?" tanya Raras semakin heboh.
"Bingung gue jelasinnya," ujar Cici yang sudah bersandar di sandaran kursi sambil memejamkan matanya dan memijat pelipisnya untuk mengurangi rasa pusing di kepala.
"Perasaan lo gimana pas cipokan sama dia? Deg-degan nggak?"
Cici kembali duduk tegak dan memandang Raras dengan serius, "kalo boleh jujur sampe sekarang gue masih deg-degan Ras," jawab Cici dengan wajah memelas.
"Ya iyalah lo deg-degan namanya juga cinta"
"ihhh cinta apaan, gue nggak cinta ya sama si Manusia robot" jawab Cici mengelak.
Raras segera memandang Cici lekat dan memegang pundak sahabatnya itu, "dengar ya Anjani Cicilia Rahid. Nyadar nggak sih lo, tiap kali kita ketemu yang kita bahas itu pasti selalu Erlangga. Selama ini sih gue udah nyadar kalo perasaan lo ke Erlan itu nggak pernah hilang sama sekali".
"Berapa kali gue harus bilang kalo gue udah nggak ada perasaan apapun sama dia?" tegas Cici.
"lo pikir-pikir lagi deh. Lo beneran udah lupain dia atau cuma gengsi aja."
Cici terdiam memikirkan perkataan Raras. Entah kenapa untuk hal yang satu ini lidahnya kelu dan tidak bisa menjawab perkataan Raras padanya.
"Atau jangan-jangan lo nggak mau mengakui perasaan lo ke Erlan karena kejadian waktu SMA itu?" tanya Raras mengingat kejadian saat mereka berada di bangku kelas dua SMA.
Raras ingat kejadian saat itu. Bel pulang sekolah sudah berbunyi dari lima belas menit yang lalu. Raras masih berada di ruang kelas sendirian sambil menunggu Cici yang pergi mengantarkan barang milik Erlan yang dititip mamanya.
Setelah cukup lama menunggu, Cici muncul dari pintu kelas mereka dengan kondisi yang sudah sangat mengenaskan. Gadis itu berjalan memasuki kelas dengan wajah yang sudah penuh airmata, bahkan mata gadis itu sudah memerah dan bengkak karena menangis. Raras bahkan harus menenangkan Cici selama hampir 30 menit waktu itu.
Cici terdiam mengingat Raras mengungkit kejadian yang menyakitkan untuk Cici ingat. Gadis itu menunduk sambil meremas rambutnya kuat.
"Udah dong Ci, lo itu Anjani Cicilia Rahid. Masa selama bertahun-tahun ini lo terjebak sama satu cowo doang."
Cici menatap ke arah Raras dengan wajah memelas, "gimana gue bisa ngelupain dia Ras? Setiap hari gue selalu ketemu dia. Dari dulu dia nggak pernah berubah, dia selalu memperhatikan gue bahkan dari hal kecil sekalipun. Lo kalo jadi gue juga pasti bakal jatuh cinta sama dia".
Raras mengangguk tanda mengerti. Biar bagaimanapun ia sudah bertahun-tahun bersahabat dengan Cici. Dia melihat sendiri bagaimana Erlan yang dingin dan kaku tetap bisa memberikan berbagai sikap yang menjaga dan melindungi Cici. Pria itu bahkan rela menghadapi bahaya demi menjaga Cici.
"Andaikan aja rasa terimakasih dia ke orangtua gue nggak dia ungkapkan dengan terus bersikap baik dan menjaga gue, mungkin gue nggak akan jatuh cinta sama dia," ujar Cici frustasi.
"Ya kalo gitu lo lakuin aja hal yang sama dengan mulai bersikap baik ke Erlan . Buat Erlan jatuh cinta sama lo juga."
Cici langsung menggeleng saat mendengar perkataan raras.
"Lo pikir segampang itu. Ras dia itu nggak percaya komitmen sama sekali."
"Kok lo pesimis gini sih?" tanya Raras kesal, "Lo itu Anjani Cicilia Rahid, semua orang mengakui kecantikan lo Cici. Selama ini lo jatuh cinta sama Erlan karena sikap dia, kenapa lo nggak mencoba untuk buat dia jatuh cinta sama sikap lo juga ke dia."
"Emang lo pikir semudah itu buat dia jatuh cinta?" ucap Cici meremehkan perkataan Raras.
"Lo sama Erlan tiap hari loh Ci ketemunya. Selain itu bokap sama nyokap lo juga selalu mencari cara buat mendekatkan kalian. Yang perlu lo lakuin cuma perlahan-lahan merubah sikap lo ke dia. Semua cuma masalah waktu aja."
"Kalau gagal gimana?"
"Ya berarti kalian emang nggak berjodoh kali. Intinya kan lo udah mencoba dulu Cici, soal gagal atau nggak ya lo akan dapat jawabannya nanti. Masa lo mau kalah sebelum berperang sih."
"Ya udah gue coba deh."
"Nah gitu dong," ujar Raras sambil tersenyum bangga.
***
Cici keluar dari mobil dengan mengenakan seragam nasional SMA. Setelah berpamitan dengan sopir yang mengantarnya, Cici berjalan memasuki gerbang sekolahnya.
“Cici,” panggil Raras yang berjalan mendekatinya.
Cici tersenyum melihat Raras yang sudah berdiri di sampingnya, “Pagi Ras.”
Pandangan Raras beralih ke arah tangan Cici yang sedang memegang sebuah kantong, “apaan tuh?” tanya Raras penasaran.
“Titipan mama buat Erlan,” jawab Cici ceria.
Raras hanya ber oh ria menanggapi jawaban Cici. Keduanya segera berjalan bersama menuju ruang kelas mereka. Saat sampai di ruang kelas keduanya langsung duduk di kursi masing-masing.
“Barang titipan mama lo buat Erlan nggak mau langsung dianter sekarang aja? mumpung belum bel nih.”
Cici menggeleng, “Pas pulang sekolah aja nanti”.
Raras mengangguk tanda mengerti. Keduanya memilih mulai menyiapkan buku dan peralatan tulis untuk jam pelajaran pertama hari ini.
Waktu berlalu begitu cepat, tidak terasa pelajaran sekolah sudah selesai hari ini. Cici terlihat semangat merapikan buku dan peralatan tulisnya ke dalam tas. Setelah sudah beres Cici segera menutup tasnya dan meletakkannya di atas meja.
“Jagain tas gue dulu ya. Gue mau ke kelas Erlan buat ngasih titipan nyokap.”
“Oke gue jagain. Jangan lama-lama ya,” jawab raras sambil memberikan tanda jempol pada Cici.
Cici segera berdiri sambil mengangguk, tidak lupa ia mengambil kantong plastik berisi barang titipan mamanya yang harus ia serahkan pada Erlan.
Ruang kelas Cici berada di lantai satu yang merupakan deretan ruang kelas untuk anak kelas sepuluh, Cici harus naik tangga menuju lantai tiga tempat deretan kelas untuk anak kelas dua belas untuk menemui Erlan.
Setelah tiba di depan ruang kelas Erlan, Cici segera masuk dan mendapati ruangan tersebut sudah cukup sepi. Hanya ada Erlan dan dua orang temannya yang terlihat sedang mengobrol.
“Erlan,” panggil Cici sambil tetap berdiri di depan pintu ruang kelas Erlan.
Mendengar namanya dipanggil, Erlan segera menatap ke arah pintu ruang kelas dan mendapati presensi Cici. Ia segera berjalan menuju gadis itu.
“Ada apa mencariku?” tanya Erlan setelah sudah berada di hadapan Cici.
“Mama nitipin ini. Suruh ngasih kamu,” ujar Cici sambil menyodorkan kantong yang dibawanya pada Erlan.
Tanpa menjawab Erlan langsung mengambil kantong plastik tersebut dan kembali masuk ke dalam kelasnya. Cici sebenarnya sedikit kecewa, namun ia juga sudah terbiasa dengan sikap dingin pria tersebut.
Tanpa menunggu Cici memutuskan kembali ke kelasnya, namun saat sudah akan menuruni tangga Cici baru mengingat bahwa mamanya juga memberi pesan padanya untuk menyuruh Erlan langsung ke rumahnya setelah pulang sekolah.
Cici segera berbalik ingin menuju ke kelas Erlan lagi, saat sudah sampai di depan pintu kelas Erlan ia seketika menghentikan langkahnya saat mendengar pembicaraan Erlan dan teman-temannya.
“Masa lo sama sekali nggak naksir sama Cici? Padahal semua orang di sekolah ini juga tahu gimana lo begitu melindungi dia. Lo bahkan rela menerobos hutan demi nyari Cici waktu sekolah kita kemah di Bogor.”
“Itu Cuma karena rasa terimakasih ke orangtuanya. Nggak ada sama sekali perasaan antara cowo dan cewe diantara kami berdua. Jika bukan karena orangtuanya gue juga nggak akan peduli sama dia. Nambah-nambahin beban aja yang ada.”
Cici meremas kuat kedua tangannya. Air mata mulai membasahi pipinya tanpa instruksi sama sekali. Cici segera berbalik dan berlari menjauhi kelas Erlan.
Selama ini Cici begitu bahagia berada di dekat Erlan. Ia selalu menyangka pria itu walau bersikap dingin tapi pasti menyayangi dirinya karena selalu ada saat ia butuh dan selalu menjaganya dalam kondisi apapun. Cici tidak menyangka bahwa semua yang dilakukan Erlan padanya hanyalah karena rasa terimakasih pria itu pada orangtuanya.
Raras terkejut saat Cici memasuki ruang kelas mereka dengan wajah yang sudah penuh airmata.
“Lo kenapa? kok balik-balik nangis gini sih?” tanya Raras yang sudah berdiri di sampingnya sambil mengusap bahu Cici. Raras menuntun Cici untuk duduk di salah satu kursi yang ada di ruang kelas mereka.
Cici masih terus menangis berusaha melampiaskan seluruh rasa sakitnya. Raras memilih mengusap kepala Cici membiarkan sahabatnya itu meluapkan kesedihannya dengan menangis.
Setelah merasa sudah sedikit lebih tenang, Cici memandang Raras dengan sorot mata terluka, “Gue pikir perhatian yang Erlan kasih ke gue selama ini adalah rasa sayang Ras, ternyata enggak. Erlan Cuma nganggap gue beban.”
“Maksudnya? jadi lo nangis karena Erlan?” tanya Raras cukup terkejut. Setahu Raras, Erlan adalah orang yang paling siap 24 jam melindungi dan menjaga Cici.
“Perlakuannya selama ini ke gue hanya karena rasa terimakasih ke orangtua gue, itu nggak tulus dari hati dia Ras. Kenapa gue harus jatuh cinta sama dia kalau ternyata dia selama ini hanya menganggap gue beban yang harus dia tanggung karena rasa terimakasih.”
Airmata Cici kembali jatuh, ia kembali menangis setelah mengatakan semuanya pada Raras.
“Cup cup cup, udah dong jangan nangis terus. Darimana lo tahu tentang ini?” tanya Raras sambil tetap berusaha menenangkan Cici.
“Gue denger langsung pembicaraan dia sama temen-temennya.”
“Kok dia tega banget sih. Biar gue yang bicara sama dia,” ujar Raras yang mulai kesal.
Raras sudah akan berdiri untuk pergi mencari Erlan, namun Cici dengan cepat menahan lengan sahabatnya itu sambil menggeleng.
“Lo nggak perlu nyari dia dan marah-marah. Ini bukan salah dia Ras, ini salah gue yang udah salah mengartikan semua perhatian yang dia beri selama ini. Dari kecil perilakunya yang menjaga gue emang hanya karena rasa terimakasih ke orangtua gue. Seharusnya gue nggak besar kepala menganggap semua itu karena dia emang sayang sama gue hasil akhirnya malah gue yang jatuh cinta sama dia.”
Raras kembali duduk dan memeluk Cici, “Udah lo nggak usah sedih lagi ya. Masih banyak cowo di luar sana yang lebih hebat dari si Erlan”.
“Tapi nggak ada yang memperlakukan gue dengan baik seperti Erlan,” lirih Cici.
“Ada. Pasti Ada. Lo akan ketemu sama orang kaya gitu suatu saat nanti selain si Erlan. Yang pasti orang itu melakukannya dengan tulus karena menyayangi lo.” Ucap Raras meyakinkannya.