Bab 11

2000 Kata
"Gue kok takut ya turun ke bawah" "Jangan ragu Ci, lo harus nunjukin Cici yang penuh percaya diri. Jangan kelihatan gugup depan dia." "Gimana nggak gugup. Lo mikir aja , gimana gue harus bersikap di depan dia setelah kejadian ciuman kemarin," tanya Cici frustasi. Cici terus saja berjalan mondar mandir di kamarnya sambil menempelkan handphonenya di telinga. Dirinya sudah bersiap untuk ke kantor dari tadi, tapi rasanya untuk turun ke lantai bawa benar-benar membuatnya gugup. Jadinya dia hanya menghabiskan waktu untuk menenangkan diri sambil menelpon Raras. "Lo mau ngehindar dari dia? Sampai kapan Ci? Kalo lo ngehindar cepat atau lambat juga lo bakal ketemu dia dan itu malah buat lo lebih malu lagi. Jadi mending lo hadapi dia dan tunjukin bahwa kejadian kemarin nggak mempengaruhi lo" "menurut lo gue bisa nggak ya bersikap biasa aja sama si Erlan?" "Lo itu adalah seorang Anjani Cicilia Rahid, pasti bisa dong." "Oke, gue nggak akan terlihat lemah depan cowo robot itu," tegas Cici sambil menarik nafas untuk menenangkan kegugupannya. "Kalo gitu gue berangkat kantor dulu. Thanks Ra" "Good luck beb" Setelah panggilan tersebut terputus Cici segera menghempuskan pelan nafasnya. Gadis itu menatap pintu kamarnya dengan penuh keyakinan, "Lo bisa Ci, semangat!" Cici melangkah pelan keluar dari kamarnya. Pikirannya terus mensugestikan dirinya untuk harus bersikap biasa saja dan tidak gugup saat menemui Erlan nanti. Saat langkahnya hampir mencapai ujung tangga, langkah Cici mulai melambat, sambil menyipitkan matanya untuk memastikan orang yang sedang berbicara dengan mamanya. Rasa gugup pada dirinya seketika hilang begitu saja saat menyadari siapa yang terlihat berdiri di pintu rumahnya. Cici bingung dengan perasaannya saat ini setelah menemukan presensi Nani di rumahnya, ada rasa lega dan kecewa bercampur menjadi satu. Ternyata kegugupan dan kegelisahaannya dari tadi sangat tidak berguna yang menjemputnya hari ini ternyata Nani bukan Erlan. "Nahh itu si Cici udah dateng," ujar mamanya saat Cici sudah berjalan mendekati kedua wanita berbeda usia tersebut. "Udah dari tadi Nan?" Tanya Cici yang sudah berdiri di samping gadis itu. "Lumayan mba, tapi saya ngerti kok. Orang kaya mba Cici mah nggak mungkin sebentar aja kalo buat bersiap-siap." "Kamu nggak mau sarapan dulu?" Cici memandang ke arah mamanya sambil tersenyum dan menggeleng pelan . "Nggak deh ma, aku sarapan di jalan aja sma Nani" ujar Cici yang kemudian mencium pipi mamanya dan segera menarik Nani menuju ke mobil. "Berangkat dulu Bu Dewi," pamit Nani yang sudah berjalan menuju mobil bersama Cici. Setelah masuk ke mobil, Nani segera menyalakan mesin mobil dan melajukan mobil milik Cici meninggalkan pekarangan rumah Andi Wiguna Rahid . "Mba, mau sarapan dimana sebelum ke kantor?" tanya Nani sambil sibuk menyetir. "Nggak deh, langsung ke kantor aja. Gue nggak mood sarapan." "Yakin mba? Sarapan dulu aja ya, nanti kalo mba sakit atau lemah pas di kantor gimana?" Cici menoleh ke arah Nani dengan wajah kesal, "gue nggak laper, jadi nggak usah maksa Nani," gadis itu kembali menatap ke luar jendela dengan mood yang sudah benar-benar hancur. "Maaf deh mba. Ya udah kalau mba nggak mau makan, kita langsung ke kantor aja," ujar Nani pasrah. Namun selama perjalanan gadis itu terus saja resah. Bagaimana jika Pak Erlangga tahu Cici belum sarapan? Bisa-bisa dirinya yang disalahkan karena tidak menyuruh wanita itu makan. Mobil yang dikemudikan Nani tiba di basement kantor setelah tiga puluh menit perjalanan karena macet yang selalu terjadi di Jakarta. Nani segera turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Cici. Nani berusaha mengikuti langkah panjang Cici menuju lift. "Mba yakin nggak mau sarapan," tanya Nani berusaha memastikan lagi. Cici berbalik dan memandang asistennya dengan kesal, "mau berapa kali si Nan lo nanyain gue. Gue nggak laper." tegas Cici. "Ya mastiin aja mba. Kalo mba laper bilang saya, biar nanti saya pesenin makan." "Hm" gumam Cici malas. Keduanya tiba di ruangan Cici. Cici segera berjalan menuju ke arah mejanya sedangkan Nani berjalan ke arah sudut ruangan tempat meja kecil dan kursinya di letakkan. Cici tentu saja langsung memeriksa laporan-laporan terkait perencanaan acara ulang tahun perusahaan yang ke 50 tahun ini. Segala perencanaan sudah selesai, dia hanya tinggal menyiapkan segalanya saja. "Nan, nanti buat temu janji sama mba Lulu ya. Ada beberapa hal yang harus gue bahas sama dia." Nani yang mendengar perintah atasannya itu segera mendongkak dan menatap Cici, "baik mba, nanti saya hubungi pihak mba Lulu untuk janji temunya", Nani terlihat berpikir sebentar sebelum menyampaikan pikirannya pada Cici, "ehmm kira-kira saya harus lapor ke pak Erlangga nggak mba? Siapa tahu mba mau ketemuan sama mba Lulu bareng Pak Erlangga". Seketika perhatian Cici pada berkas-berkas itu langsung buyar dan tergantikan dengan bayangan ciumannya dengan Erlangga. Gadis yang sedang salah tingkah itu memilih meletakkan berkas yang dipegangnya dan menatap Nani. "Nggak usah deh, aku bisa pergi sendiri. Kan ada lo yang bakal nemenin gue," jawab Cici. "Baik mba." Nani kembali fokus pada pekerjaannya di meja, sedangkan Cici sudah terlihat tidak konsentrasi lagi dengan segala berkas di mejanya. Gara-gara Nani yang membahas Erlangga lagi, dirinya jadi kembali memikirkan pria robot itu. Ia masih bingung apa yang harus dilakukan jika bertemu lagi dengan Erlan? Sikap seperti apa yang sebaiknya harus ditunjukkan setelah kejadian ciuman itu? Sekarang saja hanya dengan memikirkan Erlan detak jantungnya bahkan berdebar cukup kencang. Cici tersentak kaget saat mendengar dering handphone yang cukup keras, namun sepertinya itu bukan dering dari handphone miliknya. Gadis itu segera menengok ke arah Nani dan terlihat asistennya itu sedang menatap layar handphonenya dengan gelisah. "Eehhmm mba, saya izin keluar dulu ya. Mau terima telpon," ujar Nani dengan wajah gelisah. Cici sedikit bingung melihat tingkah asistennya ini tapi dia memilih untuk mengabaikannya, "ya udah sana keluar". Mendengar jawaban Cici, Nani langsung saja melesat cepat keluar dari ruangannya. Cici bahkan sedikit tersentak mendengar Nani yang menutup pintu dengan terburu-buru. Ada apa dengan gadis itu sebenarnya? batinnya. Cici kembali sibuk dengan laporan dan perencanaan konsep acara, berusaha menghilangkan segala pikiran tentang Erlangga di kepalanya. Setelah selesai menelpon Nani kembali masuk ke dalam ruangannya. Wanita itu memasang wajah bersalah saat Cici menatap ke arahnya. "Mba, janji ya nggak akan marah sama saya," ucap Nani dnegan wajah memelas. Cici menautkan alisnya, menatap bingung ke arah gadis yang lebih muda dua tahun darinya ini, "emang kenapa gue harus marah sama lo?" "i..i..tu mba. Sa.." Sebelum Nani bisa menyelesaikan perkataannya pintu ruangan Cici dibuka dengan cukup keras. Nani segera berdiri dan menunduk dengan gemetar saat melihat sosok yang membuka pintu ruangan tersebut, Cici pun tidak kalah terkejutnya saat mendapati sosok tegap Erlan yang berdiri di pintu ruangannya saat ini. Cici berusaha terlihat biasa saja menatap pria itu tapi jujur jantungnya saat ini seperti sudah akan meledak. "Ikut saya. Sekarang!" Ucap Erlan dengan nada cukup tegas. "Gue lagi sibuk. Mau kemana emangnya?" tanya Cici berusaha menahan intonasi suaranya agar tidak terdengar gugup, ia juga berusaha memasang wajah datar pada pria di hadapannya ini. Tanpa menjawab pertanyaan dari Cici, Erlan berjalan menuju gadis itu dan meraih pergelangan tangannya. Cici tentu saja berusaha berontak namun tenaganya sebagai seorang perempuan tentu kalah jika dibandingkan dengan tenaga Erlan. "Sebenarnya mau kemana sih kita? Gue baru tiba di kantor," ujar Cici kesal. Saai ini dirinya dan Erlan sudah berada di dalam mobil pria itu. Seakan Cici hanyalah barang yang di bawanya. Erlan sama sekali tidak menanggapi pertanyaan Cici, bahkan menatap gadis yang diseretnya dan dimasukkannya ke mobilnya pun tidak sama sekali. "Dasar robot rese, kulkas dua pintu, papan iris dapur, tembok kosan, koran bekas. Cowo reseeeeee," gerutu Cici dengan berbisik sambil memandang ke luar jendela, berharap pria itu tidak mendengar gerutuannya Tidak butuh waktu lama hingga mobil yang di kemudikan Erlan berhenti. Pria itu segera membuka sabuk pengamannya dan keluar dari mobil. Setelah mengitari mobilnya pria itu langsung membungkuk untuk membuka pintu bagi Cici. "Ngapain kita ke restoran?' tanya Cici sambil menatap restoran di hadapannya ini. Seperti biasa, cowo papan ini tidak menjawab pertanyaannya dan malah langsung menarik Cici masuk ke dalam restoran. Setelah mendudukkan Cici di kursi, Erlan mengambil tempat di hadapan gadis itu lalu memanggil pelayan. "Pesan makanan untukmu," perintah Erlan pada Cici saat pelayan sudah datang ke meja mereka. Cici menatap bingung ke arah Erlan, "Mesan makanan buat apa? Gue nggak laper dan nggak butuh makan." "Saya nggak peduli kamu lapar atau tidak. Yang pasti kamu harus sarapan karena kamu manusia yang butuh makan, jangan mempersulit pekerjaan saya dengan kamu yang jatuh sakit," jawab erlan datar. Cici benar-benar kehabisan kata dengan pria dihadapannya ini. Dia pria yang sama yang sudah mengambil ciuman pertama Cici dan liat sikapnya bahkan tetap saja seperti robot dihadapannya. Pasti Nani meminta maaf padanya tadi karena melaporkan pada Erlan dia tidak ingin sarapan. Dasar asisten penghianat sebenarnya Nani bekerja untuknya atau Erlan? Dengan wajah yang ditekuk kesal Cici mengambil menu yang disodorkan oleh pelayan. Gadis itu memesan sebuah soup lalu memberikan buku menu kembali pada pelayan. "Tambah nasi satu piring," perintah Erlan pada pelayan tersebut dan dijawab anggukan. Pelayan itu segera meninggalkan meja mereka. "Gue nggak laper. Yang makan gue, kenapa lo yang ngatur sih?" ujar Cici kesal. Pria ini selalu bertingkah seenaknya dan ini semua karena perintah papanya pada Erlan untuk menjaganya. Cici benci akan fakta yang satu itu. "Jika kamu tidak suka saya atur, maka katakan pada Pak Andi. Saya hanya menjalankan perintahnya untuk selalu memperhatikan kamu selama bekerja di kantor." "Dan lo selalu melakukan perintah papa dengan maksimal. Sampai gue ngerasa kaya di penjara," cibir Cici. Pria itu memilih diam dan mengabaikan cibiran yang diberikan gadis dihadapannya ini. Erlan mengeluarkan handphone miliknya dan memutuskan menunggu Cici makan sambil membaca dan membalas beberapa email dari klien. Selama makan perasaan Cici sangat campur aduk. Pria bodoh ini benar-benar memblender perasaan Cici hingga benar-benar diaduk dengan keras. Dirinya merasa gugup, gelisah, dan marah di saat bersamaan. Jika saja Cici tidak mengingat sopan santun maka ingin sekali dia menjambak rambut pria dihadapannya ini. Setelah selesai makan Erlan dan Cici langsung kembali ke kantor menggunakan mobil Erlan. Selama mobil berjalan, Cici memilih tetap fokus menatap ke luar jendela dan berusaha mengabaikan Erlan. Saat mobil berhenti di depan lampu lalu lintas yang menyala merah, Erlan menyampingkan wajahnya ke arah Cici, "soal kejadian ci..." "Stop" potong cici cepat sambil menatap Erlan panik. Gadis itu kembali memalingkan wajahnya, "nggak usah dibahas lagi. Iya, gue udah percaya sekarang lo nggak gay. Jadi lupain aja kejadian itu." "Syukurlah, saya hanya takut kamu salah paham dengan kejadian itu. Saya awalnya hanya ingin menggoda kamu, tapi malah reflek menc..." "Nggak usah dibahas bisa nggak sih," potong Cici kesal, " Iya gue ngerti apa yang mau lo jelasin, jadi nggak perlu diomongin lagi. Lo pikir kejadian itu berpengaruh banget sama gue? nggak ada yang spesial dari kejadian itu," bohong Cici. "Baiklah kalau begitu" ujar Erlan mengalah sambil kembali melajukan mobil saat lampu lalu lintas berubah hijau. **** "Lo tu sebenarnya asisten gue apa asistennya Erlan sih" tanya Cici dengan suara keras. Sesaat setelah membuka pintu ruangannya Cici langsung menuju meja Nani dan menatap kesal pada wanita itu. "Eh mba Cici udah pulang," ujar Nani sambil menyengir lebar. Cici berjalan dan duduk di sofa yang ada di ruangannya sambil masih menatap Nani kesal, "apa semua hal yang gue lakuin harus lo lapor sama Erlan?" "Saya nggak ngelapor kok mba. Suer". Nani mengangkat tangannya sambil menunjukkan tanda v, "Pak Erlangga Cuma nanya sama saya tadi. Saya pas jemput mba Cici, mba lagi ngapain. Ya saya jawab aja mba pas saya dateng mba baru turun dari tangga terus kita langsung berangkat. Saya nggak ngomong sama sekali kalo mba belum sarapan. Sumpah mba." "Itu sama aja Nani, secara nggak langsung lo ngomong kalo gue langsung berangkat tanpa sarapan," ujar Cici frustasi. "Ya maaf mba, saya nggak berani bohong sama Pak Erlangga, muka dia tuh nyeremin banget mba. Dia ngomong biasa tanpa bentak aja rasanya tetap bikin merinding." "Jadi maksudnya lo lebih takut sama Erlangga daripada gue?" Nani kembali menyengir sambil menatap Cici, "ya iyalah mba. Toh saya nggak pernah akrab sama pak Erlangga. Kalo mba Cici kan setidaknya kecil kita pernah main bareng mba, jadi ya nggak takut lah saya sama mba. Kan mba Cici baik," puji Nani. "Rayuu aja lo bisanya." Cici segera bangun dan berjalan menuju meja kerjanya untuk melanjutkan pekerjaannya memeriksa laporan persiapan acara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN