Pagi yang cerah di hari minggu merupakan salah satu hari yang dinantikan oleh Cici. Setelah selama seminggu ini tidak ada waktu istirahat maka hari ini Cici akan menghabiskan waktunya untuk bersantai. Saat ini Cici sedang berolahraga di taman samping rumahnya. Sudah tiga puluh menit gadis itu berlari di treadmill hingga keringat bercucuran di wajah dan badannya.
"Anjani Cicilia Rahid" teriak Dewi Antari .
Cici yang sedang olahraga hanya mendengus kesal mendengar teriakan mamanya memanggil namanya, "apa lagi sih mama nih?" gumam Cici kesal.
Gadis itu segera mematikan tredmill lalu turun dari benda itu dan berjalan masuk ke dalam rumah.
"Kenapa sih mama teriak-teriak dari tadi?" ujar Cici kesal sambil mendekati mamanya yang tengah masak di dapur.
"Bantuin mama," ucap wanita paru baya itu dengan ekspresi wajah khawatir.
"Minta bantuan apa? Kok kaya khawatir gitu?" tanya Cici heran melihat mamanya yang masak sambil terlihat gelisah dan khawatir.
"Itu loh, tadi kan papa kamu nelpon Erlan suruh nganterin dokumen gitu. Terus Erlan bilang nggak bisa nganter karena lagi nggak enak badan. Erlan tuh jarang ngeluh sakit, jadi kalo dia sampe bilang sakit berarti emang udah parah."
"Bisa sakit juga tuh robot" cibir Cici yang langsung dihadiahi pukulan di lengan gadis itu, "auhhh sakit ma"
"Ya habis kamunya. Mama ini lagi khawatir sama Erlan, dia juga manusia bisa sakit. Erlan pasti kecapean ngurus kantor sama ngawasin pekerjaan kamu."
"Bukan salah aku dong. Salahin Papa tuh yang ngasih kerjaan banyak ke Erlan."
"Tapi seenggaknya kamu kan salah satu orang yang buat kerjaan Erlan banyak. Dari pada kamu bawel mending bantuin mama"
"Bantuin apaan?" tanya Cici dengan wajah malas.
"Mama buatin bubur sama sup untuk Erlan tapi bentar lagi mama harus pergi arisan sama temen-temen mama. Nah kamu tolong anterin Bubur sama sup ini buat Erlan."
"Nggak mau ma, kenapa harus Cici yang anterin? Minta aja sopir," ujar Cici memelas, "aku tuh mau nyantai ma di hari minggu ini".
"Kenapa harus nyuruh sopir kalo ada kamu? Udah anterin pokoknya. Habis dari apartement Erlan kamu bisa nyantai sepuasnya. Sana siap-siap."
"Males banget ih mama nih," dengan perasaan kesal Cici berjalan dengan langkah malas menuju kamarnya.
Sesampai di kamarnya, Cici segera menuju kamar mandi dan langsung mandi secepat kilat. Setelah lima belas menit gadis itu keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju walk in closet miliknya. Cici segera mengambil kaos putih dan celana jeans untuk dikenakan, gadis itu langsung mengikat seluruh rambutnya. Tanpa mengenakan make up dan hanya menambah liptint di bibirnya agar tidak pucat Cici segera meraih tas dan memakai sepatu converse lalu keluar dari kamarnya.
"Aku hanya nganter ini aja kan, Habis itu bisa langsung pulang?", tanya Cici memastikan.
"Iya. Kamu hanya perlu mastiin Erlan memakan habis makanan ini habis itu langsung pulang" jawab Dewi Antari sambil menyerahkan kotak makan pada Cici.
"Aku pake mobil mama ya. Kan nggak mungkin aku minta Nani buat jemput di hari minggu"
"Ya udah iya, kamu bawa aja mobil mama. Biar mama nanti minta di anter sopir pake mobil papa kamu."
Cici tersenyum senang lalu berjalan keluar rumah menuju mobil lamborghini putih milik mamanya.
Setelah masuk di dalam mobil, Cici meletakkan kotak makanan tersebut di kursi penumpang, tidak lupa ia mengenakan sabuk pengaman. Gadis itu segera menyalakan mesin mobil dan mulai melajukan mobilnya perlahan keluar dari pekarangan rumahnya. Hanya butuh waktu 15 menit hingga Cici tiba di gedung Apartement Erlan.
Cici sudah pernah sesekali ke apartement Erlan, tapi itu pun selalu dengan mamanya. Mamanya selalu belanja bahan makanan dan menyusun di kulkas pria itu agar dia bisa memasak makanan tanpa perlu makan makanan instant atau makan di restoran.
Lift berhenti di lantai 12 tempat apartemen Erlan berada. Gadis itu segera keluar dari lift dan berjalan menuju pintu apartemen Erlan. Tanpa perlu menekan bel, Cici langsung menekan password apartemen pria itu yang dia ketahui karena sering menemani mamanya menaruh bahan makanan untuk pria itu. Password apartemen pria itu hanya angka 1111 yang tentu saja tidak sulit untuk diingat dirinya.
Setelah pintu terbuka, Cici segera masuk ke dalam apartemen pria tersebut. Gadis itu langsung menemukan Erlan yang sedang menatapnya bingung sambil duduk di sofa ruang tengah apartemennya dengan beberapa berkas di tangan dan mejanya. Wajah pria itu terlihat sedikit pucat.
Mengabaikan tatapan bingung Erlan, Cici berjalan mendekati pria itu dan segera menempelkan punggung tangannya di dahi Erlan. "Ternyata beneran panas. Robot ini beneran bisa sakit," ejek Cici
Erlan segera menepis tangan Cici yang ada di dahinya, "ngapain kamu di apartemen saya?"
Cici segera berjalan menuju ke arah dapur dan mengambil mangkok di rak piring, "gue disuruh mama nganterin makanan buat lo. Mending lo makan dulu nih bubur sama sup dari mama. Btw lo lagi sakit tapi masih maksain baca berkas-berkas itu? Dasar gila kerja," ujar Cici sambil mencibir.
"sampaikan terimakasih untuk Ibu Dewi, kau bisa pergi sekarang," usir Erlan sambil berjalan menuju ke meja makan dengan langkah pelan.
"Gitu ya cara lo perlakuin tamu yang udah baik hati bawain makan buat lo. Gue nggak boleh balik kata mama sampai mastiin lo habisin makanan itu," ujar Cici yang sudah duduk di kursi depan Erlan.
"Terserah kamu," ujar Erlan yang mulai menyantap makanan pemberian Dewi Antari.
"Lo kenapa sih gak tinggal sama om Arseno aja? Kan seenggaknya di sana ada pengurus rumah tangga yang bisa bantu ngurus keperluan lo. Ribet tahu tinggal sendirian, apalagi pas sakit kaya gini."
"Saya sudah terbiasa hidup sendiri. Papa tidak keberatan dan membiarkan saya tinggal sendiri"
"Ya papa lo mah ngomong iya di mulut, emang lo tahu pikiran aslinya. Orang tua itu kalau anaknya masih sendiri pasti maunya menghabiskan waktu mereka sama anaknya, nanti kalo udah nikah ya pasti waktu anaknya lebih ke istri atau suaminya. Bokap lo juga pasti mikir gitu kali"
Erlan memilih tidak menanggapi perkataan Cici.
Mengingat dirinya tadi sedang mencuci pakaian di mesih cuci membuat Erlan menghentikan makannya, "saya baru ingat ada cucian di belakang. Saya ke belakang dulu".
"Eh lo masih makan. Udah biar gue aja," ujar Cici sambil menahan Erlan yang akan berdiri.
Erlan menatap bingung ke arah Cici, "memangnya kamu bisa mengurus cucian Anjani?" tanya Erlan.
"lo pikir gue nggak pernah nyuci?" ujar Cici memasang wajah kesal, "gue pernah tinggal sendiri di london. Nyuci baju udah jadi hal biasa buat gue".
Cici segera berjalan menuju ke arah tempat cuci pakaian di apartemen Erlan tanpa menunggu jawaban dari pria tersebut. Saat sampai di ruang cucian Cici segera mengangkat pakaian dari mesin cuci yang sudah selesai berputar. Gadis itu segera membilas pakaian-pakaian tersebut.
Setelah sudah dibilas, gadis itu langsung memasukkan pakaian-pakaian itu ke dalam alat pengering.
Hanya butuh waktu dua puluh menit untuk Cici membilas dan mengeringkan pakaian Erlan yang memang tidak terlalu banyak. Setelah selesai, gadis itu memutuskan untuk membawa keluar semua pakaian yang sudah kering itu.
Dengan pakaian yang berada di gendongannya, Cici mendekati Erlan yang sudah selesai makan dan kembali duduk di sofa ruang tengah dengan berkas-berkasnya itu.
"nih baju-baju harus gue taruh dimana?" tanya Cici yang masih memeluk pakaian-pakaian milik Erlan.
Erlan tersenyum tipis menahan tawa melihat Cici yang kesusahan membawa pakaian-pakaiannya.
"kamu bisa langsung membawanya ke kamar saya," tunjuk Erlan pada sebuah pintu yang ada di hadapan Cici.
Cici segera berjalan masuk ke kamar pria itu dan meletakkan pakaian-pakaian itu di tempat tidur.
"Pakaian-pakaian kantor udah gue taruh di tempat setrika. Ini pakaian rumah apa gue lipat aja ya?" tanya Cici pada dirinya sendiri sambil menatap pakaian Erlan yang tergeletak di ranjang.
"ihhh kenapa gue harus repot-repot ngurusin dia," ujar Cici yang kemudian berbalik dan hendak keluar dari kamar Erlan, namun mengingat sesuatu membuat langkah gadis itu terhenti, "tapi kan tuh cowo lagi sakit, mana sempet dia lipat baju-baju itu," dengan berat hati Cici kembali berbalik menuju ranjang Erlan.
Cici duduk di ranjang Erlan dan mulai melipat pakaian-pakaian yang Erlan gunakan sehari-hari jika tidak ke kantor. Setelah semua pakaian sudah di lipat, gadis itu segera berjalan menuju lemari dan mulai memasukkan semua pakaian pria itu ke dalam lemari.
"Terimakasih"
Cici terlonjak kaget mendengar suara tersebut. Gadis itu segera berbalik dan melihat Erlan yang sedang berdiri menyender di pinggiran pintu dengan kedua tangan yang terlipat sambil memandang Cici. Jika boleh jujur Erlan yang mengenakan celana santai selutut dan kaos yang membalut tubuh berototnya benar-benar kombinasi yang sempurna.
Ya ampun apa yang kamu pikirkan cici? Dia pria robot yang menyebalkan, ingat itu.
"Seenggaknya lo sering bantu gue, jadi gue rasa bantuin dikit nggak masalah," ujar Cici berusaha acuh.
"Jadi ini kamar lo?"
Cici mengedarkan pandangannya ke arah kamar yang berdominan warna hitam dan abu-abu ini, tadi saat masuk kamar ini Cici tidak sempat memperhatikan kamar ini.
"btw, lo pasti sering bawa cowo ya ke kamar ini," ujar Cici dengan nada jahil.
Wajah Erlan yang tadi sedikit rileks kembali berubah datar.
"apa kamu masih saja yakin bahwa saya seperti yang kamu pikirkan itu?"
"udah gak usah malu-malu sama gue. Gue tuh kaum open minded, jadi nggak akan menghakimi kok."
Erlan tersenyum sinis lalu berjalan mendekati Cici. Melihat Erlan yang mendekat padanya dengan tatapan seperti itu entah kenapa membuat Cici seketika gugup
"eh lo mau ngapain?"tanya Cici sambil berjalan mundur.
"Kenapa harus takut, bukannya kamu bilang saya nggak tertarik dengan perempuan," ujar Erlan sambil masih berjalan mendekat ke arah Cici.
"Ya terus ngapain lo deket-deket?" ujar Cici gugup sambil terus bergerak mundur.
Gerakan Cici terhenti saat merasakan kakinya menyentuh ranjang.
Erlan terus berjalan dan berhenti setelah sudah berdiri sangat dekat dengan Cici.
"Saya ingin tahu apa pendapat kamu masih sama setelah ini," setelah mengatakan itu Erlan segera meraih tengkuk Cici dan menyentuh bibirnya ke di bibir Cici.
Cici melotot dan tubuhnya menegang saat merasakan sentuhan bibir Erlan di bibirnya. Tubuh Cici seakan kaku, bahkan untuk berontak pun gadis itu tidak berdaya.
Bibir mereka hanya menyentuh selama sepuluh detik sebelum akhirnya Erlan mulai menggerakkan bibirnya di atas bibir Cici. Erlan semakin mengeratkan tangannya di tengkuk Cici dan satu tangannya merangkul pinggang Cici perlahan hingga tubuh mereka menempel sempurna. Ciuman Erlan bergerak begitu lembut, bahkan dengan perlahan Erlan menggigit dan melumat lembut bibir bawah gadis tersebut.
Cici masih tidak bergerak selama ciuman mereka, namun karena terbawa suasana gadis itu mulai ikut menggerakkan bibirnya membalas ciuman Erlan. Tangan Cici yang semula diam saja mulai naik dan merangkul leher Erlan.
Erlan tersenyum di sela ciumannya saat mendapati Cici mulai membalas nya.
Ciuman yang berawal lembut itu semakin terasa berbeda,.Cici membuka mulutnya dan itu menjadi kesempatan untuk Erlan memasukkan lidahnya dan mengabsen barisan gigi Cici. Mereka tanpa sadar menikmati pagutan bibir mereka, menyesap dan saling merasakan manisnya ciuman ini.
Tubuh Cici sudah seperti jelly, saat ini tubuhnya bisa tetap berdiri tegak hanya karena pelukan Erlan di pinggangnya.
Tetap dengan pagutan bibir mereka yang belum terlepas, Erlan membaringkan perlahan tubuh Cici di ranjangnya.
Merasa sudah cukup, Pria itu mulai berhenti dan menatap gadis yang berada di bawah tubuhnya saat ini.
Erlan kemudian tersenyum tipis pada Cici, "masih mau bilang saya tertarik dengan pria?".
Seketika kesadaran Cici muncul saat itu juga. Gadis itu langsung melotot kaget menyadari apa yang terjadi. Dengan kuat Cici mendorong tubuh Erlan yang berada di atasnya lalu segera berdiri dengan nafas terengah-engah.
"Gu..gue mau balik," ujar Cici yang langsung berlari keluar dari kamar Erlan tanpa menunggu jawaban dari pria itu. Gadis itu segera menyambar tasnya yang ada di sofa lalu berlari keluar dari apartement Erlan.
"Bodoh...bodoh... apa yang lo lakuin Cici?" gerutu gadis itu sambil berlari memasuki Lift
Di dalam Lift Cici masih memegang jantungnya yang berdetak kencang.