Bara mengurut dahinya pelan. Setengah jam yang lalu ia baru selesai mandi saat sebuah denting ponsel terdengar. Setelah berpakaian lengkap, Bara menghampiri tempat ponselnya berada yang tergeletak di atas meja kecil samping tempat tidurnya. Ia mendapati sebuah email yang dikirimkan oleh Galih.
Glabelanya terangkat, ia heran karena Galih yang saat ini sedang cuti justru mengiriminya email dengan subjek : cacat barang PT. Jati Mulia dan lampiran beberapa file yang memuat foto satu set sofa dan meja juga ada lemari dan nakas.
Bara jelas tahu bahwa PT. Jati Mulia adalah salah satu perusahaan meubel yang bekerjasama dengan perusahaannya untuk memasok perabotan kedalam beberapa perumahan milik perusahaan Bara. Dan selama hampir dua tahun kerjasamanya, Bara belum pernah sekalipun mendapatkan laporan tentang adanya cacat barang karena setiap barang datang, tim yang ada di lapangan akan langsung mengecek keseluruhan.
Tapi kali ini, gambar yang dikirim Galih jelas menunjukan ada beberapa cacat fatal pada perabot yang terdapat di gambar. Untungnya di email itu Galih menjelaskan bahwa cacat itu terletak di perabotan yang ada di rumah yang baru ditempati Galih hari ini. Rumah yang menjadi hadiah pernikahan dari Bara.
Bara men-close aplikasi emailnya lalu mendial nomor Galih. Tepat di nada tunggu kedua, panggilannya diangkat oleh Asistennya itu.
"Ini benar cacat bawaan atau sengaja kamu rusakin biar dapat ganti lebih bagus?" tanya Bara to the point. Dia tidak serius mengatakan itu, tapi hanya ingin membuat bawahannya kesal.
Galih mendengkus di ujung sana.
"Kalau saya yang ngerusakin, saya masih mampu buat ganti sendiri, Pak. Itu saya kirim biar Bapak bisa minta petugas lapangan buat check ke semua rumah yang sudah include perabotan, takutnya ada cacat kaya gini juga. Kan lebih baik ketahuan sebelum di tempatin pembeli," ujar Galih, dia sangat tahu atasannya adalah orang yang perfectionist sehingga Bara sudah pasti akan murka jika kejadian ini dialami oleh buyer nya yang lain.
Bara berdehem sebentar lalu menyahut, "Oke, tolong buatkan laporannya dan kirim langsung ke sekretaris pengganti kamu ya. Besok perintah saya langsung turun untuk orang lapangan agar dilakukan sidak. Tapi saya sendiri lebih senang kalau kamu yang turun langsung," Di ujung sana Galih sudah akan menyela saat Bara kembali melanjutkan, "Saya akan sediakan paket 3 hari dua malam ke Bali. Sudah termasuk tiket hotel dan pesawat pulang pergi, itupun kalau kamu mau,"
Bara menyeringai saat tanpa pikir panjang Galih langsung menjawab, "Siap, Laksanakan," Bara sangat tahu bahwa bawahannya itu cukup matrealistis, diberi liburan gratis sudah pasti tidak akan menolak. Apalagi tadinya Galih dan istrinya berniat untuk tidak bulan madu, karena istrinya pun harus kembali bekerja seminggu setelah pernikahan mereka.
Bara kembali meletakan gawainya diatas nakas, ia menghela nafas pelan. Beruntung sekali yang mendapati cacat barang itu adalah Galih sebelum ada komplen dari buyernya yang lain. Karena kalau sampai buyer lain yang mengalaminya, itu akan jadi masalah besar karena Bara tidak pernah mau mengecewakan pelanggannya.
~
Abi menggosok tangannya agar lebih hangat, dia terlalu pagi berangkat ke sekolah hari ini karena sudah 10 menit menunggu, gerbang belum juga dibuka.
Jaket parasut yang ia pakai bahkan tidak cukup untuk membuat Abi merasa hangat, dinginnya cuaca masih saja membuatnya hampir menggigil. Namun penantiannya berakhir saat Pak Didi, penjaga sekolahnya datang dan langsung membuka gembok yang ada di gerbang. Tanpa menunggu lagi, Abi segera berlari ke arah kelasnya dan kemudian menenggelamkan kepalannya di atas lipatan tangan.
Abi masih mengantuk, tapi ini harus ia lakukan karena tidak ingin di pandangi aneh oleh seisi sekolah seperti dulu.
Benar. Dulu Abi masuk sekolah di jam normal seperti siswa lainnya, tapi semenjak banyak yang tahu bahwa dia adalah siswa luar biasa membuat banyak orang yang berbisik-bisik saat berpapasan atau melihatnya melintas seakan Abi adalah makhluk luar angkasa yang belum pernah menginjak bumi sebelumnya. Hal yang jelas sekali tidak Abi sukai.
Maka sebulan setelah ia naik ke kelas 11, Abi mulai berangkat pagi-pagi sekali dan berasalan bahwa ia ingin mengulang pelajaran lagi dikelas sebelum kelas dimulai. Dan entah bagaimana caranya, Bara mempercayainya begitu saja walaupun akhir-akhir ini Bara mulai meminta Abi berangkat seperti sebelumnya agar bisa diantar oleh Bara. Tapi Abi menolak dengan berbagai alasan, membuat Bara mau tidak mau mengiyakan kemauan anaknya.
Rasanya baru sekejap Abi memejamkan matanya saat terdengar banyak langkah kaki yang berhambur masuk ke dalam kelas. Dengan sedikit pusing, Abi mendongakan wajahnya dan benar saja kelas hampir terisi penuh. Abi membuka tasnya untuk mengambil selembar tisu basah lalu menggunakannya untuk melap wajah.
Tak berselang lama, Abi melihat Nawang yang berjalan dengan santai ke arah bangkunya. Gadis itu tersenyum secerah matahari dan menyapa hampir setiap orang yang ada di kelas. Tak sadar, Abi tersenyum tipis melihatnya seakan senyum yang dibagi oleh Nawang berhasil menular padanya.
"Selamat pagi, teman sebangku!" sapa Nawang sembari mengaitkan tas di belakang kursi.
Abi kembali tersenyum dan membalas sapaan Nawang dengan isyarat tangan.
"Lo dateng jam berapa? Udah duduk anteng gitu masih jam segini," cetus Nawang, kali ini gadis itu sudah duduk dan menghadap ke arah Abi.
Abi mengeluarkan tabletnya dan mengetikan sesuatu.
"Saya berangkat jam 6."
Bohong.
Tentu saja itu bohong karena kenyataannya tadi pagi Abi berangkat jam 5 kurang dari rumah.
Nawang salah fokus. Bukannya fokus pada jawaban Abi, gadis itu justru membulat ke arah tablet yang ada di genggaman Abi.
"Lo beli tablet baru? Kemarin kan tablet lo rusak!" serunya tanpa sengaja, Nawang tidak sadar bahwa suaranya membuat beberapa teman sekelasnya menoleh.
Abi yang juga terkejut dengan seruan Nawang hanya bisa meringis dan mengangguk pelan.
Dan tindakan impulsif Nawang tidak berhenti sampai situ, setelah mendapat anggukan dari Abi, gadis itu bertepuk tangan kecil seraya menggumamkan kata waw.
"Hebat. Gue kalau ngerusakin barang, engga di marahin aja udah syukur. Boro-boro minta ganti," cetusnya polos.
Abimana tersenyum, tingkah Nawang yang apa adanya entah kenapa membuat Abi lebih nyaman. Ia mengetikan balasan untuk Nawang.
"Tablet kan penting buat komunikasi saya, jadi mau engga mau Papa saya beliin yang baru."
Setelah membaca, Nawang mengangguk mengerti. Gadis itu bahkan sempat menyentuh pelan tablet milik Abi yang kelihatan mengkilat itu.
"Jangan heran, Na. Abi itu anak orang kaya. Kesayangan Papinya, bisa dibilang anak Papi."
Celetukan itu meluncur dari sang ketua kelas. Walaupun nadanya terdengar bergurau, tapi bagi Abi suara Gallen itu lebih mirip sebuah genderang perang.
Nawang pun hanya menjawab dengan tawa yang diikuti oleh teman-temannya yang lain. Yang tidak Nawang sadari, tawa dari teman-temannya jelas terdengar bernada meledek tidak seperti tawa yang dia berikan.
~
Abi menatap Nawang yang masih berdiam di bangkunya padahal bel pulang sudah berbunyi dari lima menit yang lalu.
"Na, pulang naik apa?"
Bukan hanya Nawang yang terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba itu, tapi Abi yang sedang menyapu pun ikut terkejut. Ada Gallen disana yang sedang berdiri menunggu jawaban Nawang.
"Dijemput," jawab Nawang singkat, tapi ia sertakan senyuman manis di jawabannya.
Gallen mengangguk lalu menawarkan diri untuk menemani Nawang menunggu jemputan yang langsung ditolak halus oleh gadis itu. Setelahnya Gallen pamit untuk pulang lebih dulu.
Saat Abi selesai membersihkan kelas dan menata ulang peratalan kebersihan di belakang kelas, Nawang beranjak dari duduknya dan mendekati Abi.
"Pulang naik apa, Bi?" tanyanya.
Abi menoleh, mengisyaratkan bahwa ia pulang jalan kaki.
"Bareng gue, mau? Gue di jemput Kakak gue bentar lagi," tawar Nawang.
Abi menolak, sama seperti yang Nawang lakukan pada Gallen. Abi beralasan bahwa ia sudah terbiasa jalan kaki. Nawang pun mengerti dan mengajak Abi keluar sekolah bersama karena jemputan gadis itu juga sudah tiba.
Di depan gerbang, Nawang melambai pada seorang pria berwajah mirip dengan dirinya yang sedang berdiri di sebelah mobil city car.
"Itu Kakak gue, lo yakin engga mau bareng?" tanyanya pada Abi yang berdiri di sebelahnya.
Abi tetap menggeleng sebagai jawaban. Terlihat Kakak dari Nawang berjalan menghampiri mereka.
"Temen kamu?" tanya Naga, ia menunjuk ke arah Abi.
Nawang mengangguk, "Teman sebangku ku."
Naga terdiam sembari memindai Abi diam-diam. Dia teringat soal teman Nawang yang katanya tidak bisa bicara. Melihat gelagat Abi yang hanya tersenyum dan mengangguk sopan ke arahnya, Naga yakin pria inilah yang dimaksud adiknya.
"Mau ikut bareng?" tanya Naga pada Abi.
Abi lagi-lagi menggeleng dan Nawang membantunya untuk menjawab.
"Abi katanya mau jalan kaki aja. Udah biasa, dia bilang."
Naga mengangguk mengerti lalu berpamitan dan berjalan bersisian dengan Nawang.
Saat mobil yang membawa Nawang dan Kakaknya menjauh, Abi merasakan sebuah hantaman dari benda yang tidak keras namun begitu terasa amis dan lengket.
Ia menoleh ke belakang, mendapati Gallen yang berdiri di pos satpam dan menyeringai puas ke arahnya. Abi menghela nafas berat, menyentuh belakang kepalanya yang lengket dan memilih berjalan meninggalkan sekolah.
Sempat terdengar Gallen berteriak,
"Sadar diri lo! Engga usah banyak tingkah cuma karena Nawang jadi temen sebangku lo!"
Tapi di abaikan oleh Abi. Dia sudah harus pulang karena beberapa orang yang melihatnya justru ikut tertawa tanpa ada yang berniat membantu sama sekali. Bagi mereka, Abi adalah sebuah hiburan. Hinaan dan kata-kata merendahkan dari mereka lah yang membuat kepercayaan diri Abi menyusut drastis.
Walaupun Bara kerap kali memuji putranya, walaupun Mbok Lastri selalu bilang bahwa Den Abi nya adalah pria yang tampan, bagi Abi itu semua percuma karena dirinya hanyalah seorang tunawicara yang jika ingin berkomunikasi pun harus menggunakan bantuan alat yang di sediakan Ayahnya.
Terlebih, otak cerdasnya yang selalu jadi kebanggaan Ayahnya itu, sama sekali tidak bisa membantunya melawan segala macam perlakuan tidak baik temannya. Semakin tidak berguna saja Abi menurut dirinya.
Maka saat dia meninggalkan sekolah dengan rambut lepek dan bau amis yang menyengat, yang bisa Abi lakukan hanya mengepalkan tangan kuat-kuat.
~~