"Na, Kakak pinjem tip-ex dong."
Nawang mendengkus, melempar tip-ex miliknya ke arah sang Kakak yang bahkan tidak mengalihkan tatapannya dari bundelan kertas yang bercecer di meja ruang tengah.
Saat ini, Nawang sedang menyalin catatan-catatan penting yang ia pinjam dari teman sebangkunya. Iya, Abimana.
Meskipun lelaki itu menolak pada awalnya dan menyarankan Nawang untuk meminjam pada orang lain, tapi Nawang berserikeras dan mengatakan bahwa ia canggung jika meminjam pada teman yang lain.
Padahal, seorang Nawang tidak akan pernah merasa mati gaya atau canggung dengan orang yang bahkan baru dikenalnya. Ia hanya malas membuka obrolan dengan teman sekelasnya yang lain. Biar nanti saja itu ia lakukan.
"Masih nyatet aja jaman sekarang. Scan aja kali, Na. Lagian catatan temen kamu itu rapi," komentar Kakaknya melirik sekilas ke arah buku catatan di hadapan adiknya, dengan masih sibuk dengan banyaknya kertas-kertas yang berserakan.
Nawang berhenti menulis. Mendengar perkataan Kakak lelakinya itu, ia lantas memperhatikan tulisan tangan Abimana. Benar kata Naga, Kakaknya, bahwa memang tulisan Abimana terbilang rapi untuk ukuran seorang murid pria. Bagus sekali. Berbanding terbalik dengan tulisannya yang bahkan sulit dibaca karena spasi yang berdempetan, dan font yang entah berjenis apa. Masih untung bisa dibaca dirinya sendiri.
Nawang tersenyum, tanpa sadar teringat bagaimana ekspresi Abimana saat ia pertama kali memperkenalkan dirinya. Pria itu bersikap seakan-akan ini pertama kalinya ia berbicara dengan manusia lain. Apa-apaan itu? Memangnya dia tarzan? Hah, ada-ada saja. Abimana juga lebih benyak berekspesi kaget dengan cara membulatkan matanya dan mengerjap-ngerjap dengan lucu. Terlihat polos dimata Nawang.
"Yeh malah senyum-senyum, dasar bocah," ledek Naga.
Celotehan Kakaknya itu membuat Nawang merengut sebal dan menlanjutkan kegiatannya mencatat. Dia akhirnya mengabaikan saran sang Kakak yang menyuruhnya untuk men-scan saja tulisan tangan Abi. Ribet karena Nawang harus pergi ke warung internet karena scan miliknya rusak akibat ulah sang Kakak.
"Sekolah baru kamu gimana?" tanya Naga, dia kini sudah duduk bersandar sambil memainkan ponselnya.
Nawang mengangkat bahu, "Biasa aja. Toh cepat atau lambat kejadian kaya dulu pasti bakal terulang kalau mereka tahu aku ini seperti apa," jawabnya, terdengar skeptis.
Naga terdiam. Menoleh sekilas ke arah adik perempuan satu-satunya itu, mendesah pelan saat menyadari raut dingin dari adiknya. Ia tahu bahwa ini tidak pernah mudah bagi Adiknya, bahkan sebelumnya Nawang bersikeras untuk tetap menjalani home schooling sampai dirinya lulus. Baru setelahnya dia akan berkuliah dan mulai bersosialisasi dengan orang lain. Tapi kedua orangtuanya tidak berhenti membujuk dan meyakinkan Nawang bahwa tidak akan ada hal buruk yang terjadi selama Nawang bersikap biasa saja dan tidak menarik banyak perhatian. Hal yang kemudian selalu Nawang ingat setiap akan bertindak.
"Kalau begitu biarin aja mereka engga tahu," ujar Naga, terdengar santai.
Nawang mengangguk, "Makanya aku udah persiapin sebelum-sebelumnya."
Lalu hening. Mereka kembali sibuk pada kegiatan masing-masing sampai Nawang kembali membuka suara.
"Kak, Kakak pernah punya temen yang tunawicara, engga?" tanyanya dengan tangan yang masih sibuk mencatat.
Pertanyaan Nawang membuat Naga mengernyit seraya berpikir, lalu menggeleng.
"Kalau ketemu sih pernah, tapi kalau sampe temenan, Kakak belum pernah."
Nawang mengangguk santai tanpa membalas apapun.
"Emang kenapa? Temen di sekolah baru kamu ada yang begitu?" tanya Naga penasaran.
Nawang kembali mengangguk, "Teman sebangku aku engga bisa bicara. Dia selalu nyiapin tablet buat bisa komunikasi sama orang lain," Nawang menjeda, menghela nafas saat ingat tablet Abimana hancur tadi siang. "Tapi Tab nya tadi siang jatuh sampe hancur," ujarnya.
Naga tampak tertarik dengan cerita adiknya, terbukti dengan dia yang kini duduk menyerong ke arah Nawang.
"Kok bisa jatuh?" tanyanya.
Nawang mengangkat bahu, "Engga tahu, tadi siang pas aku habis dari kantin di kelas udah rame. Salah satu cewek di kelas keliatan marah banget sama temen sebangku ku ini, sampe-sampe sekilas aku lihat tangannya kaya mau mukul gitu tapi di tahan ketua kelas. Pas aku tanya, kata ketua kelas, si Putri engga sengaja jatuhin tab nya Abi tapi Abi engga mau maafin jadinya Putri marah. Gitu kata ketua kelas," jelas Nawang.
Naga tampak berpikir lalu mengernyit bingung, "Si Abi ini orangnya pendendam gitu?"
Lagi-lagi Nawang hanya mengangkat bahu, "Engga tahu, kan aku baru kenal hari ini. Tapi sepenglihatanku, Abi kayaknya engga gitu deh. Tapi ya engga tahu juga," ujarnya cuek.
Menurutnya, dia masih anak baru yang tidak harus ikut campur urusan apapun yang terjadi dikelasnya selagi itu tidak menyangkut pautkan dirinya. Yang harus dia pikirkan adalah dirinya sendiri, belum tentu dia akan baik-baik saja saat semua temannya tahu seperti apa dirinya. Jadi buat apa dia susah-susah memikirkan orang lain saat dirinya sendiri saja belum tentu baik-baik saja.
~
"Sudah mau pulang, Pak?"
Bara yang sudah akan melangkah ke arah lift, berhenti sejenak. Menatap wanita cantik yang tengah berdiri mengenakan setelan blouse dan rok pensil di atas lutut, Sekretaris barunya yang dipilih Galih untuk mendampingi Bara selama Galih cuti menikah. Galih sendiri adalah asistennya yang sudah bekerja dengan Bara semenjak Galih baru lulus perguruan tinggi hingga kini pria itu memutuskan menikah dengan wanita yang sudah dipacarinya sejak SMA. Setia sekali pria itu, pikir Bara saat pertama tahu.
"Iya. Kamu juga boleh pulang," ujar Bara, senyum tipis terbit di wajahnya.
Membuat wanita di depannya mau tidak mau menjadi merona. Bosnya tampan sekali.
Lalu Bara melanjutkan langkah. Di dalam lift, Bara mengeluarkan ponselnya. Melihat pesan dari anak semata wayangnya yang meminta dibelikan ketoprak jika ia akan jalan pulang. Bara tersenyum, Abimana memang suka makanan pedas. Tapi tidak setiap saat Bara akan menuruti permintaan Abi, jika dirasa hal yang diminta akan membahayakan diri Abi, maka Bara akan menolaknya dengan tegas. Walau Abi sudah sebesar itu, Bara tetap tidak bisa untuk tidak ikut campur dengan apapun yang menyangkut putranya.
Lift berhenti sebentar di lantai 3, seorang wanita dengan setelan hitam putih masuk ke dalam lift. Bara mendongak, dan membalas senyum yang diberikan wanita yang baru masuk tadi. Ia rasa, ia baru pertama melihat wanita ini di kantornya. Mungkin sales marketing dari perusahaan lain. Wanita itu juga hanya berdiri di sisi kanan lift dikarenakan hanya mereka berdua yang ada didalamnya.
Saat lift tiba di lobby, Bara yang hendak keluar menghentikan langkahnya saat wanita yang tadi berada satu lift dengannya, memanggil dirinya pelan.
"Maaf, ini milik Bapak?" tanya wanita itu, tangannya menyodorkan sebuah lipatan kertas.
Bara mengernyit, lalu menerima kertas itu dan membukanya. Oh, itu bon pembelian tablet baru yang dia beli untuk Abi.
Bara tersenyum, "Terimakasih, ya," ucapnya.
Wanita tadi hanya mengangguk sopan dan lantas berpamitan dengan langkah buru-buru.
Begitupun juga Bara yang langsung menuju mobilnya. Dia harus segera pulang, tapi sebelumnya ia harus membelikan titipan anaknya.
~
"Abi.. "
Abimana bergegas keluar kamar saat suara Papinya terdengar. Dia tersenyum saat melihat Papinya duduk bersandar di sofa ruang keluarga.
Dengan pelan, ia menepuk bahu Bara yang membuat Papinya itu menoleh. Bara tersenyum, menyodorkan plastik yang ada ditangannya.
"Nih, pesanan jagoan Papi," ujar Bara ceria, tangannya menyerahkan kantong plastik berisi ketoprak pesanan Abi. Dia sudah terbiasa memperlakukan Abi selayaknya anak kecil karena dimatanya Abi memang masih sekecil itu. Satu-satunya harta berharga yang dia punya.
Abi menerimanya, memberi isyarat terimakasih pada Papinya dan langsunya berjalan ke dapur. Memindahkan ketopraknya ke piring dam kembali ke ruang keluarga.
Di suapan kedua, Papinya kembali menyerahkan sebuah godiebag kepada Abi.
"Ini tab baru buat kamu. Ganti buat tab kamu yang rusak."
Abi tersenyum lebar dengan wajah secerah mentari pagi, mengucapkan terimakasih dan menaruh tab barunya di samping ia duduk. Sekilas ia bangun dan mencium tangan Bara lalu kembali ke tempat duduknya.
Bara tersenyum, hanya dengan senyum Abi hatinya sudah berdebar-debar. Persis seperti pertama kali istrinya menerima pernyataan cintanya dulu. Menyenangkan sekali. Apalagi wajah Abi lebih mirip dengan istrinya dibanding dirinya, Abi hanya mewarisi iris mata dan juga tinggi badan yang melebihi teman sebayanya, persis seperti Bara dulu mengingat Bara adalah kapten tim basket di SMAnya dulu.
Selesai makan dan menaruh perlatan makannya, Abi kembali duduk berhadapan dengan Papinya. Dia membuka kotak dan mengeluarkan tab dari dalamnya. Ternyata tabnya sudah di setting sedemikan rupa mirip Tab Abi yang sebelumnya, bahkan kondisinya sudah dalam keadaan menyala lalu Abi membuka aplikasi Note yang ada disana. mengetikan sesuatu.
"Makasih ya, Pi. Maaf sudah sebesar ini, tapi Abi masih ngerepotin Papi."
Sesaat setelah tulisan itu ditunjukan padanya, Bara mengerut tidak suka.
"Apa-apaan sih kamu bilang begitu, kamu anak Papi satu-satunya. Mana mungkin kamu merepotkan."
Bara menghela nafas pelan lalu berdiri, "Jangan ngomong yang aneh-aneh lagi ya. Papi mau mandi dulu. Gerah," ujarnya.
Abi mengangguk dan menatap Papinya yang berlalu ke arah kamarnya.
Abi mendesah berat, dia merasa kasihan pada Papinya yang harus selalu sendiri. Tidak ada istri yang menyambutnya saat pulang, tidak ada sapaan lembut dan senyum hangat yang sewajarnya di tunjukan oleh istri saat suaminya pulang.
Tapi setiap kali Abi berusaha membujuk Papinya untuk menikah lagi, Papinya menolak dengan tegas dan berkata dia baik-baik saja walaupun sendiri. Papinya bilang, cintanya kepada Maminya Abi sangat besar sehingga Bara tidak bisa jatuh cinta lagi kepada wanita lain.
Setelahnya Abi hanya bisa menurut dan tidak berani lagi untuk bertanya perihal kehidupan percintaan Papinya yang sudah mati bersama kepergian Maminya. Abi sudah bahagia melihat Papinya yang kerap tersenyum lebar saat menatapi raport Abi yang mendapatkan nilai memuaskan. Maka sebisa mungkin ia tetap mempertahankan nilainya menjadi yang tertinggi, walau kadang ia juga merasa lelah. Tapi ini semua ia lakukan sebagai baktinya pada Bara karena Abi sangat menyanyangi Papinya.
~~