Enam

1560 Kata
Satu-satunya yang disyukuri Abi adalah saat pulang ke rumah hanya Mbok Lastri yang menyambutnya. Sehingga ia tidak harus bertemu dengan Ayahnya dalam kondisi yang tidak baik sama sekali. Abi bahkan tidak berani membayangkan akan semenakutkan apa Papinya itu jika melihat Abi dalam keadaan sekacau ini. Mbok Lastri terkejut saat mendapati anak tuannya pulang dalam keadaan rambut yang berlumur telur, tapi wanita paruh baya itu tahu apa yang harus ia lakukan saat Abi menatapnya dengan senyum tipis. Ia harus menutup mulutnya rapat-rapat dan tidak membiarkan Ayah Abi tahu seperti yang selalu Abi wanti-wanti padanya. Maka dia hanya bisa memandangi Abi yang berjalan cepat ke arah kamarnya dengan tatapan sedih dan hati yang remuk. Abimana anak yang baik tapi ia harus menanganggung perlakuan buruk temannya hanya karena satu kekurangannya saja. Abi melempar tasnya, melepas sepatunya dan bersegera masuk ke dalam kamar mandi. Sedari tadi ia sudah tidak tahan dengan bau menyengat yang menguar dari tubuhnya. 30 menit kemudian Abi sudah duduk manis di meja makan dengan penampilan yang lebih segar dari sebelumnya. Mbok Lastri yang menemani Abi makan siang hanya memandangi anak majikannya itu dalam diam. Ia sebenarnya ingin memberi tahu Bara bahwa Abi kerap di rundung di sekolahnya, tapi jika teringat wajah memohon yang di tunjukan Abi dan beban berat yang selama ini dipikul Bara sebagai orangtua tunggal membuatnya memilih diam. "Den Abi engga mau bilang aja ke Papi kalau teman-teman Den itu jahat?" Mbok Lastri membuka suara kala dilihatnya Abi telah menyelesaikan makan siangnya. Abi menoleh, menarik nafas pelan dan menggeleng. Lalu setelahnya ia bangkit dan berniat menuju ke kamarnya saat Mbok Lastri lagi-lagi membuka suara. "Eyang katanya lusa mau kesini, tadi beliau telepon. Nanti den Abi bilangin ke Papinya, ya." Perkataan Mbok Lastri itu mau tidak mau membuat senyum di wajah Abi kian mengembang. Selain Ayahnya, ia juga memiliki orang-orang yang tak kalah sayang padanya. Mereka adalah Eyang dan Eyang uti yang merupakan Ayah dan Ibu kandung dari Ayahnya. Sedangkan dari pihak Maminya, Abi sudah tidak memiliki Kakek Nenek karena Neneknya sudah meninggal sebelum Papi dan Maminya menikah. Sedangkan Kakeknya meninggal terkena serangan jantung sesaat setelah mendengar kabar bahwa Natalie, Mami Abi meninggal. Sepeninggal Maminya, Abi mulai diurus oleh Eyang uti nya sampai berumur dua belas tahun. Lalu karena kondisi kesehatan Eyang kakungnya memburuk, Eyang uti terpaksa harus kembali ke Jogja untuk merawat suaminya yang lebih sering ia tinggalkan karena menemani Bara dan Abi. Abi mengangguk antusias dan langsung berlari ke kamarnya. Ia merai ponsel dan mengirimkan pesan untuk Eyang utinya. Beneran lusa mau kesini kan, Eyang? Abi tidak sabar menunggu balasan dari Eyangnya, berkali-kali ia menscroll layar ponselnya sampai sebuah pesan baru masuk. Iyo, le.. tunggu eyang disana yo. Eyang kangen banget sama kamu. Abi tersenyum lebar. Rasanya ia benar-benar ingin hari cepat berlalu dan mempertemukannya dengan kedua orang yang sangat di sayanginya. Sudah sekitar satu tahun ia dan kakek neneknya hanya bisa bertukar kabar lewat pesan, kadang neneknya itu melakukan video call saat ada Bara sehingga Bara yang akan mengartikan isyarat dari Abi untuk kakek neneknya. Membayangkan ia akan bertemu langsung dengan kakek dan neneknya membuat Abi melupakan fakta bahwa hidupnya tidak pernah memberikan kebahagiaan yang utuh. Karena keesokan harinya, di hari libur yang seharunya bisa membuat Abi bernafas lebih tenang, ia mendapati serangkaian pesan teror yang dikirimkan nomor tidak dikenal. Awalnya Abi tidak menghiraukan dan langsung menghapus tanpa membacanya, tapi saat melihat satu nama yang ia sangat kenal terselip di salah satu pesan membuat Abi memberanikan diri membaca pesan itu. Sejak memutuskan untuk membacanya, Abi tahu ia akan menyesal. Dan benar saja, sedetik setelah membaca pesan itu tubuhnya langsung diserang rasa pusing yang luar biasa. Seluruh badannya tremor, bahkan gawainya terlepas begitu saja. Abi berjalan mundur, meraba sekitar mencari penyangga yang bisa membantunya agar tidak terjatuh. Kepalanya menggeleng kuat-kuat, menggumam kata bohong setiap detik untuk membuatnya kembali waras. Namun pesan itu terlanjur mengusiknya, membuat dia melupakan satu fakta yang sangat penting. Bahwa dirinya lah kunci satu-satunya. ~ Bara panik saat mendapati pesan dari pembantu rumah tangganya yang mengabari Abi sakit. Pasalnya, saat tadi pagi ia meninggalkan Abi untuk berangkat ke kantor, Abi masih baik-baik saja. Tapi sekitar lima belas menit yang lalu, saat dirinya yang sedang melakukan rapat penting dengan perusahaan meubel pengganti mendapat pesan yang mengabarkan bahwa Abi demam tinggi dan terus menerus bergerak gelisah bahkan setelah di kompres, membuat Bara tanpa pikir panjang mengalihkan rapat kepada sekretarisnya dan lalu meninggalkan kantor. Mungkin terdengar berlebihan karena Bara sepanik itu mendapati anaknya yang sudah bisa di bilang dewasa jatuh sakit, tapi bagi Bara sosok Abi tidak pernah dewasa dimatanya. Abi masihlah anak kecil yang meringkuk ketakutan di dalam lemari dengan bibir berdarah-darah yang sampai detik ini Bara tidak pernah tahu apa sebabnya. Maka setiap kali Abi sakit, dia akan selalu sepanik ini. Bara berlari masuk saat mobilnya berhasil terparkir di halaman rumah. Dia mendapati Abi yang mengerang di tempat tidurnya, dengan keringat dingin bercucuran. Sesaat kemudian seseorang mengetuk pintu kamar pelan, Dokter yang tidak lain adalah Paman Abi sendiri, Kakak dari Natalie, masuk setelah menyapa Bara. "Tolong periksa baik-baik, Bang," pinta Bara lirih, matanya lekat menatap ke arah Abi. "Iya, tapi lebih baik kamu tenang dulu," ujar Tiar. Lalu ia mulai memeriksa suhu tubuh Abi dan detak jantungnya. Tiar sempat mengerut samar sebelum berbalik ke arah Bara yang berdiri di sisinya. "Apa ada sesuatu yang bikin dia stres atau shock?" tanya Tiar. Bara mengernyit bingung lalu menggeleng. "Setahuku engga ada. Abi engga pernah mengeluhkan apapun." jawabnya terdengar ragu. Tiar menghela nafas pelan, "Aku akan resepkan obat, kamu bisa tebus di apotek. Dan..." ucapan Tiar menggantung. Sedang Bara terdiam menunggu lanjutan Ucapan Abang iparnya. "Carilah istri lagi supaya kamu engga lari kesetanan saat denger Abi sakit," ujarnya lalu berlalu pergi setelah menuliskan resep untuk Abi. ~ "Kok bisa tahu rumah gue?" Nawang tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya saat mendapati Gallen berdiri di depan pagar rumahnya. Lelaki itu tersenyum, "Bisa dong. Tapi tenang aja, aku bukan penguntit kok," ujarnya jenaka. Nawang hanya merespon dengan senyum singkat lalu mengajak Gallen untuk duduk di kursi terasnya. "Mau minum apa?" tanya Nawang. "Air mineral aja tapi kamu yang ambilin langsung ya, biar ada manis-manisnya," katanya sembari tersenyum manis. Nawang tidak tahu harus menjawab apa maka yang ia lakukan hanya mengangguk dan berjalan ke dalam rumah mengambilkan segelas air putih dan setoples kacang bawang untuk tamu tak diundangnya. Lima menit kemudian Nawang sudah kembali bergabung bersama Gallen. "Putri engga nyariin lo malah kesini?" tanya Nawang. Gallen sempat terlihat terkejut tapi kemudian pria itu kembali ke mode semula. "Engga lah, emangnya kenapa dia harus nyariin," jawabnya santai. Nawang mengangkat kedua alisnya, "Bukannya Putri itu cewek lo?" Gallen mengangguk pelan, membenarkan pertanyaan Nawang. "Itu karena dari kecil aku sama dia udah main bareng, jadi orangtua kami suka jodoh-jodohin gitu." "Oh." Mendapati respon singkat dari Nawang, membuat Gallen menarik kesimpulan yang salah kaprah. "Kenapa? Cemburu ya karena aku deket-deket Putri terus?" tanyanya percaya diri. Nawang yang menerima pertanyaan seperti itu mengangkat sebelah alisnya, "Cemburu? Kenapa harus?" tanyanya tidak mengerti. Bukannya menjawab, Gallen justru tertawa. Tawa yang mungkin akan membuat gadis lain terpesona dan betah mendengarkan lama-lama, tapi tidak untuk Nawang yang justru semakin menatap ngeri ke arah pria di sampingnya ini. "Aku sama Putri pacaran cuma karena biasa bareng-bareng aja. Soal perasaan sih, aku juga engga yakin," jelas Gallen tanpa diminta, entah pria itu merasa bahwa Nawang butuh penjelasannya. Padahal Nawang sendiri masa bodoh. Bahkan setelah mendengar penjelasan dari Gallen, perempuan itu hanya menjawab dengan 'oh gitu' dan lagi-lagi mengundang tawa pria di sampingnya. Entah apa yang lucu. Nawang tahu Gallen hendak kembali bicara saat Naga tiba-tiba keluar dari dalam rumah dan menatap serta memindai Gallen terang-terangan. Gallen yang menyadari keberadaan Naga pun langsung bangkit berdiri dan mengulurkan tangannya. "Halo, Kak. Saya Gallen, teman sekelas Nawang," ujarnya sopan. Naga sempat menoleh ke arah Nawang yang tampak tidak nyaman sebelum akhirnya membalas uluran tangan Gallen. "Naga, Kakaknya Nawang," balasnya, lalu setelah itu ia kembali menoleh ke arah Nawang. "Na, kamu kok belum siap-siap sih? Engga jadi pergi? Kakak kan udah ganti baju ini," ketusnya ke arah Nawang. Nawang yang tidak mengerti dengan yang dikatakan Kakaknya pun hanya terbengong. Dia merasa tidak mempunyai janji dengan Naga, tapi Kakaknya itu sudah tampil sangat rapi seakan memang bersiap utuk pergi. Lalu saat Nawang menerima kode dari Naga, barulah dia paham apa maksud dari racauan Kakaknya itu. "Oh iya, Aku lupa," Lalu beralih menatap Gallen, "Len, Sory ya. Gue lupa ada janji mau ke rumah tante," ujarnya dengan mimik merasa bersalah. Gallen yang mendengar itu langsung memberikan senyum pemakluman. "Iya, engga apa-apa, Na. Salahku juga yang datang engga ngabarin dulu," katanya. Ia kembali menghadap ke arah Naga yang masih berdiri di ambang pintu. "Saya pamit ya, Kak." Naga mengangguk dan sempat berkata 'Hati-hati' saat Gallen menaiki motor gedenya. Nawang berdiri dan menghampiri Kakaknya, tangannya ia lingkarkan di lengan Naga. "Makasih ya, Kak. Aku emang kurang nyaman sama itu orang. Engga tahu kenapa auranya aneh," ujarnya sambil terkikik geli. Naga menggeleng pelan mendengar perkataan Adiknya, "Yaudah, masuk sana. Kakak ada janji sama temen kampus. Kamu jangan keluar kemana-mana." Nawang mengangkat tangannya dan meletakan telapak tangannya di dahi. "Siap, Laksanakan!" ucapnya lalu setelah itu berjalan dengan gerakan langkah tegap ke arah dalam. Membuat Naga terkekeh kecil melihat tingkah absurd adiknya itu sebelum berjalan memasuki city car nya meninggalkan rumah. ~~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN