Bukan Yang Lain!

1985 Kata
Sagara mendapati orang tuanya sudah pulang, dibantu oleh pekerja, membawakan beberapa koper besar. “Ma,” panggilnya. Ibunya tersenyum sambil merentangkan tangan, Sagara menyalami dan dapati pelukan. “Senang melihatmu, Saga.” “Aku pun,” angguk Sagara. “Di mana Fayra?” “Dia—“ “Aku di sini!” suara adiknya lantang menyahut, keduanya menoleh ke ujung tangga. Adiknya melangkah, Fay berganti memeluk si bungsu. Tidak lama Alyan juga muncul, tetapi dengan ponsel di tangannya. Tampak serius bicara dengan paman Tommy—mantan manager Alyan dulu saat berkarier di MMA, yang tetap menjalin hubungan baik bahkan sudah seperti saudara kandung ayahnya. Sagara menunggu sampai Alyan menyelesaikan pembicaraannya, tetapi tak selesai-selesai. Ia hanya menyalami ayahnya dan memeluk singkat. Alyan beralih pada Fayra sejenak, kemudian berlalu. Begitu ia menoleh pada ibunya, Fay tampak menghela napas dalam-dalam tetapi berusaha tersenyum di depannya dan Fayra. Sebelum Fayra protes dengan jujurnya, “ini sudah di rumah, setelah kalian beberapa hari pergi. Tidak bisakah, fokus sejenak pada kami?” “Fayra—“ Fayra cemberut, bahkan tak mengatakan apa pun langsung berbalik menaiki tangga. Kembali ke kamarnya. “Aku harus pergi jauh seperti Ka Sky, baru dapat perhatian kalian!” “Biar aku bicara sama Fayra, Ma...” “Mama saja, dia pasti kecewa sama Mama dan Papa. Kesalnya masih disimpan.” Fayra memang ekspresif, yang dia suka dan tidak mudah diungkapkan. “Mama pasti lelah,” “Tidak apa-apa, Fayra benar... kami sudah di rumah.” Katanya kemudian berbalik, memanggil seorang pekerja rumah untuk menyimpan tasnya. Fay menaiki tangga menyusul putrinya. Sementara Sagara hanya mampu menghela napas dalam-dalam, merasa jika kesempatan bicara untuk memberitahu hubungannya dengan Felora kembali tertunda. Sagara berpikir sebelumnya lebih dulu memberitahu mereka dan bisa bantu menghadap Halim dan Kikan di pertemuan nanti. Tampaknya, tak bisa merealisasikan saat melihat orang tuanya lelah, termasuk ayahnya yang masih juga sibuk. Drrrttt! Drrrrttt! Dering ponsel membuatnya segera merogoh saku celana, menggenggam ponselnya. Dia tersenyum mendapati nama Felora dan fotonya itu menyapa layar ponsel. Begitu saja sudah memperbaiki satu kesedihan dihatinya karena kondisi rumah. “Halo, Chocolate girl...” sapanya sambil berbalik. Mencari tempat lebih leluasa ada privasi bicara dengan kekasihnya. Bukan sebagai sepupu. “Mama Fay dan Papa sudah pulang?” tanyanya. “Sudah, baru sampai.” Ia menghela napas dalam-dalam. Felora tentu mudah mengetahui ada sesuatu, “kenapa? Suara tarikan napasmu ikut buatku gelisah tahu... pasti ada sesuatu?” Sudut bibir Sagara tertarik mendapati Felora mengenalnya sebaik itu. “Fayra agak marah karna Papa sampai rumah masih telepon sama Om Tommy. Bahas tentang Gym dan tempat latihannya.” Cerita Sagara. “Uhm begitu, pasti Fayra sedih. Dia kan kangen sama Mama-Papa. Harapannya menyambut dengan senyum, dibalas dengan pelukan hangat yang melegakan bisa berjumpa kembali setelah lama terpisah jarak. Aku akan telepon Fayra—“ “Nanti saja hibur Fayra-nya, sekarang aku lebih butuh kamu dulu.” “Oke,” jawab Felora, “kamu mau aku ke sana?” “Tidak usah, tetap di rumah. Kamu harus bikin Ayah Halim dan Bunda Kikan, semua orang di rumah tenang. Kalau bisa buat perasaan mereka baik.” “Aku paham, karena habis ini pernyataan kita pasti bagai bom waktu. Yang bikin semua terkejut,” Felora menangkap maksud Sagara. “Aku mau menurut sama Ayah-Bunda. Sebelum sampai ke waktu pertemuan nanti.” Sagara duduk, menyandarkan punggungnya. Mendengarkan kekasihnya bicara seolah seperti taburan cokelat di atas kue. Jadi pelengkap, pemanis. *** Selesai bicara dengan Felora di telepon, cukup lama, Sagara pergi ke kamarnya. Ia memasuki ruangan bercat putih dengan didominasi barang-barang berwarna abu-abu, cokelat dan hitam. Dia meletakan ponsel, kemudian baru duduk dan akan berbaring saat menemukan sebuah tas belanja berwarna hitam. Sagara langsung tahu tas itu berisi sebuah cincin yang dia minta Fayra membelikannya. Fayra benar-benar bisa diandalkan. Sagara membuka tas belanja, menemukan sebuah kotak hitam beserta sertifikat atas cincin tersebut. Dia membukanya, tersenyum mendapati cincin pilihan Felora sudah ada ditangannya. Suara pintu di buka, buatnya menoleh. Adik perempuannya melangkah masuk, tersenyum. “Aku sudah menepati janji, ini black card-mu aku kembalikan!” Dia mengulurkan milik Sagara. “Sudah untuk bayar makan malam yang aku minta?” “Sudah. Beres pokoknya!” kata dia. Sagara menerimanya, belum mengecek email masuk. Pasti ada pemberitahuan apa-apa yang Fayra lakukan dengan black card miliknya. Fayra menyengir, “sebenarnya aku pakai lebih sih,” “Tidak masalah,” “Benar?” Sagara mengangguk, “Ah, tahu begitu aku pakai banyak, enggak cuman dua belas juta untuk satu set pakaian tidur baruku!” decaknya. Sagara menatap adiknya, “apa kamu bilang? Dua belas juta untuk satu set pakaian tidur?” “Iya, kenapa kaget begitu sih!” Kata Fayra. “Berubah pikiran? Tidak bisa ya minta balik!” Sagara menghela napas dalam-dalam, “kamu harus kendalikan belanjamu, Fayra.” Fayra mencebik. “Aku cuman minta dua belas juta, yang modal dua milyar itu tidak jadi.” Kening Sagara kembali mengernyit, “kenapa?” “Ya, tidak saja. Aku tulus mau bantu kok.” “Aku serius bisa investasi di bisnis kamu.” Kata Sagara meyakinkan adiknya. Dia sudah berjanji. Fayra menggeleng, kekeh tak jadi. “Aku adikmu, sudah seharusnya membantu. Uangnya simpan saja, untuk persiapan pernikahan kamu dan Felora nanti.” “Itu sudah ada tabungan tersendiri, aku sudah memikirkannya dari dua tahun lalu. Mulai jadi bagian dari tabungan penting. Walau orang tua kita sudah menyiapkannya untuk masing-masing kita. Termasuk kamu dan Sky.” Beritahunya. Fayra mendekat, Sagara meletakan cincin tersebut. “Terima kasih adikku,” kata Sagara. Fayra mengangguk, mereka berpelukan singkat. “Oh iya, aku berpikir apa perlu menyiapkan ambulans dan pemadam bersiaga di depan resto? Barang kali saking Uncle Halim lepas kendali, atau syok kita butuh ambulans. Kamu dipukuli juga bisa sampai pingsan. Terparah Uncle bakar tempatnya nanti—“ “Plis stop, Fayra! Kenapa semua yang kamu katakan jadi menyeramkan sekali sih?!” keluhnya. Sagara merinding sendiri membayangkan semua ucapan adiknya jadi kenyataan. Fayra tertawa puas, “astaga! Wajahmu mendadak kaku dan pucat. Kamu pasti membayangkannya, kamu gugup?” “Gugup dan takut, dua perasaan wajar. Bagaimana pun pernyataanku nanti akan buat Uncle marah sudah pasti.” Akuinya. “Kamu enggak mau coba mulai dengan bicara pada Mama-Papa lebih dulu?” tanya Fayra. Yang sempat jadi pertimbangan Sagara tadi. Kepala Sagara menggeleng pelan, “mereka terlihat lelah—“ “Juga masih sibuk dengan urusan kerjaan,” kata Fayra, berbalik lalu duduk di tepian ranjang Sagara. Fayra menghela napas dalam-dalam, “menurutku, Papa melakukan itu untuk mengalihkan pikiran dan rasa bersalah terhadap keadaan yang menimpa Ka Sky. Mama juga.” “Mereka tetap menyayangi kita sama adilnya, Fayra.” “Aku berusaha selalu memercayainya, biar enggak terlalu kecewa.” Katanya lagi. Fayra mendongak, menatap kakaknya, “kau akan ajak Felora tinggal di sini, jika nanti sudah menikah?” “Aku belum memikirkan itu, sekarang lebih fokus dulu pada makan malam nanti dan pengakuanku. Setelah itu juga, fokus pada transplantasi jantung Felora.” “Itu memang lebih penting untuk dipikirkan.” Sagara ikut duduk di sisi Fayra, kemudian menundukkan kepala. Fayra memerhatikan kakaknya. “Aku menyemangati Felora untuk tidak takut hadapi proses transplantasi jantung. Padahal aku sendiri gemetar membayangkannya. Operasi besar. Segala ada risiko. Aku takut kehilangan dirinya untuk selama-lamanya.” Ungkap Sagara. Fayra juga mengangguk, “aku juga, membayangkan jadi dia. Aku pasti tidak akan sekuat itu. Sudah menangis setiap waktu. Seperti kata Felo, kematian dirasa lebih dekat karena sejak kecil tahu ada kelainan dijantungnya. Tapi, dia itu bersikap tenang. Terutama selalu bersyukur setiap kali bangun tidur, mendapati dirinya masih bisa bernapas dan membuka mata. Jadi tamparan keras untukku yang kurang bersyukur terhadap kehidupanku, juga tubuh yang sehat.” Fayra mengusap punggung kakaknya. Sagara tetap merasa gelisah, sampai benar-benar Felora telah melewati operasinya. “Felora mengajukan keinginannya sebelum transplantasi. Dia tiba-tiba punya keinginan tersebut.” Sagara berharap itu bukan keinginan terbesar sekaligus terakhir kekasihnya. *** Sagara kebetulan melihat ayahnya memasuki sebuah ruang gym sekaligus di dalamnya ada ruang biasanya tempat berlatih. Pintunya tidak tertutup rapat saat Sagara bisa melihat jelas ayahnya sedang menatap beberapa mendali miliknya, dan yang pernah di raih Sky. Dia menatap foto putra pertamanya dengan tatapan yang sulit diartikan. Namun pastinya mengandung banyak kesedihan dan rindu mendalam. Juga penyesalan. “Pah,” panggilnya. Alyan menoleh, kemudian tampak berusaha untuk menutupi kesedihannya. “Kamu di sini?” “Ya, tadi lihat Papa masuk sini.” Akuinya. Sagara mencairkan suasana, dengan mengambil sarung tinju yang tergeletak dari lemari dekat sana. “Sudah lama aku tidak pakai ini, Papa mau tanding sama aku?” tawarnya. “Kamu butuh pemanasan lebih dulu, tidak bisa langsung naik. Apalagi sudah lama tak berlatih.” Sagara meletakannya lagi, ia tahu sejak Sky dinyatakan oleh dokter tak lagi bisa meneruskan kariernya, Alyan bahkan turut sepenuhnya berhenti, tak pernah lagi memakai sarung tinju kesayangannya, dan naik ring untuk latihan atau melatih. Dia bahkan tak pernah lagi datang ke tempat sekolah pelatihan miliknya. Kecuali ada muridnya yang bertarung, dia hanya akan datang mendukung di tempat kompetisi. “Aku iri pada Sky,” ungkap Sagara tiba-tiba. “Dia tidak di sini, tetapi semua orang memikirkannya. Terutama Papa dan Mama.” Alyan menoleh, menemukan tatapan Sagara tetap tenang. “Kalau Papa izinkan, aku bisa pergi menemuinya dan menyeret Sky pulang.” “Tidak perlu, jangan mengganggunya. Daddy Kai bahkan tak berhasil melakukannya,” Alyan mendekat pada putranya, untuk menepuk pipinya, justru Sagara memeluk Alyan erat. Membuat mantan atlet tarung itu mematung, “aku merindukannya, aku tahu Papa pun.” “Kita semua merindukannya, Sagara.” “Maaf Pa, Sagara tidak memilih mengikuti karier Papa. Jika dulu Sagara pilih itu—“ “Ini sudah yang terbaik. Justru Papa yang harusnya mencegah Sky mengikuti jalan Papa. Jika bisa, kejadian itu tak akan terjadi padanya.” Alyan menghela napas dalam-dalam. Sagara tahu hubungan Alyan dan kakeknya, Kaivan berubah dingin setelah kejadian yang menimpa Sky. Ia pernah mendengar kakeknya marah besar, sementara ayahnya menerima semua itu dan terus meminta maaf, kecuali Fay yang membela suaminya. Hal itu juga yang buat ayahnya jarang ikut ke rumah kakeknya. Menghindari satu sama lainnya. Hubungan Alyan dan sang mertua tak baik-baik. Tiba-tiba Fayra muncul, langsung menubruk keduanya, “pelukan kok enggak ajak-ajak, apalagi sama papahku!” dia manja, menggelayuti tangan ayahnya. Menempelkan sisi wajah ke tangan ayahnya. Sagara mencebik kesal pada adiknya, Fayra mendorongnya jauh, ia menguasai Alyan. “Selama kami pergi, kamu tidak menyusahkan kakakmu dan buat Grandad marah?” “Aku tidak begitu, Papa. Justru aku ini adik yang baik, Sagara yang sebaliknya menyusahkan aku.” Kata Fayra sambil mengedipkan satu mata pada kakaknya. Alyan tersenyum tipis. “Kalau Grandad jangan ditanya, yang namanya Kaivan Lais kata Grandmom makin tua memang kian menyebalkan parah. Aku sempat ngambek karena Grandad kirim beberapa orang ikuti aku seharian. Sampai Grandmom Anna dan Uncle Aric bantu yakinkan Grandad buat tidak melakukannya lagi. Tapi, Ayah tahu apa yang terjadi? Tiba-tiba ada abang-abang ojek online, dan beberapa orang aneh yang bermunculan. Aku yakin itu tetap orang-orang Grandad yang cosplay saja jadi ojol! Masa ojol badannya tinggi-kekar! Nyebelin!” keluhnya. Sagara dan Alyan justru tertawa dengar aduan Fayra berhasil mencairkan suasana. Sagara menatap Ayah dan adiknya lekat, momen seperti ini sungguh momen berharga yang sulit dia dapatkan. Semakin dewasa, buat hubungan orang tua dan anak perlahan-lahan berubah, jadi lebih kaku dan berjarak. “Kalau Grandad dikasih cucu mantu, dan keturunan Lais baru pasti nyebelinnya berkurang, kan?” tanya adiknya. “Bisa jadi, tapi, kamu masih baru mulai kuliah Fayra.” Tanggap Alyan pada putrinya. “Bukan aku, Sagara yang akan segera kasih!” celetuknya. Membuat Alyan menatap putranya. “Kamu sudah punya calon? Kapan mau dikenalkan pada Papa dan Mama?” Sagara menatap adiknya lebih dulu yang malah pura-pura tak merasa menjebaknya dengan sengaja. “Segera, Papa dan Mama akan segera tahu siapa calon pasanganku.” “Apa Gigi?” tanya Alyan. Tahunya teman wanita yang dekat dengan Sagara sejak SMA. “Bukan,” Sagara menggelengkan kepala dengan yakin. ‘Wanita itu Felora, Pa... Hanya Felora bukan yang lain.’ Lanjutnya dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN