“Felora, dengarkan aku dulu—“
“Fay,” Felora menatap sepupunya, “kamu mau yakinkan aku kalau Sagara serius, mencintaiku. Itu kan?”
“Ya,” angguknya.
Setelah malam penuh kejutan dari Sagara dua malam lalu, berakhir Felora yang tidak mau menjawab dan menghindar, buat Fayra turun tangan.
“Aku tahu Sagara tulus. Serius,”
“Lalu? Aku benaran gemes deh sama kamu! Sudah tahu malah menghindar! Enggak, jangan ngomong dulu kamu! Aku belum selesai!” Kata Fayra dengan tegas, “kamu juga jangan bohongi hati kamu! Kamu juga suka sama Sagara, kalian punya perasaan yang sama.”
Felora memilih menatap Fayra saja sambil mendekap buku-buku yang baru ia dapat dari perpustakaan sekolah.
“Aku mau fokus sama ujian sekolah dan kesehatanku.” Ucapnya sebelum melewati Fay, hingga sepupunya kembali terdengar bicara.
“Kamu takut sama Uncle Halim, kan?” tanyanya. Buat Felora berhenti melangkah. “Backstreet saja, apa susahnya sih? Apalagi Sagara juga masih di California sampai tahun depan. Kesempatan tidak semua datang dua kali atau berkali-kali. Bisa jadi kalau kamu menolak kakakku, dia bakal balik ke Gigi!”
Felora mengeratkan tangannya di buku. Hatinya berdebat, ia tidak mau ucapan Fayra memengaruhi keputusannya. Felora kembali mengambil langkah, sampai Fayra lagi-lagi menghentikannya.
“Kakakku sedih banget kamu abaikan, Felora. Kalau memang kamu mau nolak dia, temui dan bilang langsung. Besok dia juga sudah pesan tiket balik. Kalau aku jadi kamu, bukan main bahagianya dicintai secara ugal-ugalan begitu! Jauh-jauh cuman mau kasih kejutan ulang tahu. Dia sempatkan buat kamu.” Katanya lakukan provokasi lagi pada sepupunya.
Felora tetap melanjutkan langkahnya, kembali ke kelas. Dia duduk, hingga Fayra kembali. Alih-alih duduk di tempatnya, yang bertepatan di sebelahnya, justru Fayra mengambil tasnya dan membereskan barang-barang di atas meja.
“Mau ke mana—“
“Pindah!”
“Marah?” tanya Felora.
“Marah sih, tidak. Cuman kamu tahu sendiri kalau aku lagi gemes sama orang. Kamu mau aku gigit?” katanya. Sambil berpindah ke kursi lain. Meminta temannya pindah sementara duduk di sebelah Felora.
Saat pulang sekolah, Fayra menunjukkan pesan Sagara.
[Besok jadwal tiket kembaliku, aku sudah bilang Mama-Papa juga. Tolong sampaikan ke Felora, aku mau bertemu cuman sebentar sebelum pergi]
“Aku sudah sampaikan ke kamu,”
“Sagara bisa langsung beritahuku tanpa melalui kamu.” Heran Felora.
“Sagara enggak mau ganggu kamu.”
“Aku tidak terganggu, Fayra.”
“Menghindar, apa namanya kalau bukan karena terganggu?” balas Fayra. Berdebat dengannya tak akan pernah bisa menang. Fayra kemudian mendahuluinya. Pulang.
Sepanjang hari, Felora terus terbawa semua provokasi yang dilakukan sepupunya. Hingga ia tertidur siang, terbangunkan oleh kehadiran seseorang yang tengah duduk dan menatapnya. Seolah menunggu.
“Sa-Sagara! Kamu di sini?!” Sontak ia membulatkan mata, dan duduk. Dulu tidur, ditunggui Sagara bukan masalah. Sekarang berubah jadi debaran-debaran jantung yang sulit dikendalikan.
“Dari lima belas menit lalu, Bunda yang minta aku bangunkan kamu. Ayah belum pulang.” Katanya. Felora segera duduk.
“Ohh, kamu harusnya menolak. Atau biar Bunda sendiri yang bangunkan aku dan beritahu kalau ada kamu.”
Sagara masih di tempatnya, tersenyum. “Aku suka melakukannya,”
“Apa?” tanyanya mengerjapkan matanya.
“Suka memandangi kamu yang tidur, dan jadi orang pertama yang kamu tatap setiap kali kamu membuka mata setelahnya.” Jawabnya. Felora berdehem segera. Sagara sigap mengambilkan tempat minum Felora yang berwarna ungu. Ada ukuran khusus jatah minum air putihnya.
Felora minum sedikit, “mau turun?”
“Cuci muka,” jawabnya.
“Tidak ada be—“
“Sagara, mending tunggu di luar deh!” Omelnya. Sagara terkekeh, malah berbaring diranjangnya. Kedua tangannya ia letakan di bawah kepalanya. Felora memerhatikan itu, menghela napas dalam-dalam sebelum tetap memasuki kamar mandi. Ia mengatur debaran jantungnya, barulah mencuci muka.
Felora keluar, Sagara sudah tidak di atas ranjang, justru sedang membaca buku pelajarannya. Bukan itu yang mencuri perhatiannya, melainkan Felora menjadikan fotonya dan Sagara sebagai pembatas.
Dibuang bagian sisi-sisi yang menampakkan latar, jadi hanya foto Sagara yang sedang merangkulnya. Foto tahun lalu.
“Bahkan saat belajar pun aku tidak luput dari tatapanmu,”
Felora pilih berjalan, mengambil buku dan foto itu tetapi Sagara malah mengangkat tinggi-tinggi tangannya. “Sagara, berikan padaku!”
Sagara tetap tersenyum, ia melangkah, mengikis jarak hingga Felora mundur. Meja belajarnya menjadi penghalang agar ia tak bisa terus menghindar. Tatapan mata mereka terjalin saling memahami. “Jangan menghindar dariku terlalu lama, kamu buatku insomnia.”
Felora mengerjap pelan, “mana mungkin—“
“Iya, mungkin banget. Aku tidak peduli bila lainnya yang marah dan menghindar dariku. Tapi, jika bisa... kamu jangan.”
Deg! Deg! Deg!
Jantung Felora benar-benar bergemuruh dengan detak yang tak biasa. Itu tak terlalu baik untuknya, hingga ia mendorong Sagara, berbalik dan mengipasi wajahnya. Sagara terkekeh sendiri melihat ekspresi lucunya.
Felora kembali mengambil tempat minum berwarna ungunya, dan minum lagi.
“Aku besok berangkat ya, walau sedih banget. Usahaku tidak membuahkan hasil seperti harapanku. Hatimu tidak menyambutku.”
“Pulangan kamu yang sekarang, kenapa jadi aneh ah!” Decak Felora sambil melangkah ke pintu, membukanya. Terlalu lama di sana, tak baik.
“Chocolate girl,” panggilnya. “Aku tidak akan maksa jadian, kamu jadi pacarku, kalau memang kamu tidak mau. Tapi, jawab dengan jujur. Jika aku minta sejenak kamu tidak anggap aku sepupu, bagaimana perasaanmu?” tanyanya.
Felora kembali perlu mendongak untuk bisa membalas tatapan Sagara.
Beberapa detik berlalu menjadi menit, Felora hanya bergeming dengan ekspresi yang sama. “Fel—“
“Kalau kita jalankan ini, hubungan yang kamu sebut pacaran... kita akan lakukan diam-diam, tanpa orang tuaku dan lainnya tahu?”
“Kalau kamu mau aku bicara pada Ayah—“ ‘
“Tidak, jangan sekarang. Tunggu sampai kita siap.” Cegah Felora.
Kening Sagara mengernyit bingung, “maksudnya—“
Felora langsung mendekat, sambil kembali menutup pintu. Dia memeluk Sagara, erat. Sagara langsung tahu jika Felora memberinya jawaban.
“Kalau kita putus—“
“Kita baru mulai, jangan memikirkan yang belum tentu terjadi,”
“Bisa saja, kan? Kita juga akan LDR!”
“Maka kita harus berusaha untuk tidak sampai putus, harus bisa bersama-sama terus," jawabnya yang dapatkan protes Felora. Lalu keduanya tertawa bersama.
Felora tersenyum mengingat momen di mana awal dari hubungannya dan Sagara berubah. Dari sepupu jadi kekasih hingga membuatnya tidak konsentrasi pada buku yang sedang dibacanya.
Satu getar ponsel membuatnya berpaling, Sagara memberitahu jika ia sedang keluar dengan pamannya. Lalu mampir ke RMC Hospital, dia juga mengirim foto di mana terlihat Halim sedang bicara dengan Hamish.
Sagara: [Apa menurutmu aku harus akui saja sekarang, Felo?]
Mata Felora membulat mendapati pesannya, hingga dia memilih untuk menelepon kekasihnya itu.
“Saga—“
“Aku hanya berpikir ke sana. Tapi, juga tidak mungkin hancurkan rencana yang sudah kita sepakati.” Jawabnya. Felora langsung menghela napas dalam-dalam. “Ayahmu melihat ke arahku,”
“Ya sudah, matikan teleponnya.”
“Ya kita bertemu nanti malam.”
“Ayah dan Bunda setuju pergi makan malam, bagusnya tidak mempertanyakan aku yang hanya mau makan bertiga. Bahkan tanpa adik-adik. Bagusnya lagi, adik-adik perlu belajar untuk ujian,” bagian ini memang lancar, tak kesulitan membuat Ayah dan Bunda setuju makan malam di luar.
"Bagus. Aku juga sudah dapat setuju dan waktu orang tuaku. Fayra sangat membantu. Rengekkannya berguna, Papa dan Mama sampai batalkan acara lainnya malam ini."
"Aku akan berterima kasih pada besti ku itu! Fayra selalu yang terbaik!" bangganya.
Obrolan mereka ditelepon pun berakhir, Felora menghela napas dalam-dalam. Meremas ponselnya lalu menatap lurus pada jendela kamarnya.
“Aku tidak bisa menundanya lagi, apa pun yang akan terjadi, aku akan hadapi Ayah dan lainnya...” gumamnya. Memejamkan mata sejenak, merasakan semilir angin sejuk yang sedikit menenangkan, tetap banyak gelisahnya. Mungkin sampai semua bisa ia dan Sagara lewatkan.
***
“Ini baju baru?” tanya Halim yang menatap penampilannya di cermin, sebuah kemeja lengan pendek berwarna biru muda, Kikan mengambilkan sebuah blazer berwarna Navy yang sangat serasi.
“Iya, Felora yang memberikannya. Aku juga kaget, dia juga minta aku pakai baju ini.” Sebuah baju terusan sampai setengah pahanya, kikan memakai rok navy sebagai pasangannya.
Halim dan Kikan saling tatap, “pertama dia mau kita makan malam bertiga, dengan alasan mau merasakan jadi anak satu-satunya dalam satu-dua jam. Lalu memberi kita pakaian ini. Seolah malam ini sangat begitu penting untuknya,”
Kikan mengangguk, tetapi hanya tersenyum tipis.
“Bunda, kenapa hm?” tanya Halim sambil menjepit dagu istrinya. Tatapan mata mereka beradu.
“Tidak apa-apa, Mas.” Dia berbohong agar Halim tak cemas. Sesungguhnya, Kikan merasa akan ada sesuatu yang terjadi, membuat ia begitu tidak nyaman perasaannya.
“Mas...” panggil Kikan lagi.
“Ya?”
“Biar aku pilihkan jam tanganmu,” kata Kikan segera berbalik, menuju lemari khusus tempat jam tangan koleksi milik Halim.
Ketika ia sedang memilih, ia merasakan pelukan dari suaminya, Halim meletakan dagu di bahu Kikan, “belakangan, aku merasa gelisah. Seperti ada sesuatu yang akan buatku kehilangan. Entah apa?! Aku berusaha untuk tidak menganggap perasaan itu.” Ungkapnya. Ternyata Halim merasakan yang serupa.
Kikan berbalik, sudah mengambil salah satu jam tangannya, lalu memasangkan di tangan kiri Halim. Ia lebih suka memakainya di sana.
Kikan mendekat, mengecup bibir suaminya, “tidak akan ada apa-apa. Kalau pun ada, kita pasti bisa menghadapinya, kan?”
Halim mengangguk, “seperti enam belas tahun kita bersama-sama.”
Suara langkah membuat keduanya menoleh, Felora memasuki kamar orang tuanya, menemukan keduanya sudah bersiap.
“Wah pilihanku selalu tepat! Lihat ayah dan Bunda, serasi sekali!” Decaknya.
Halim dan Kikan terkekeh, menatap penampilan putrinya. Dengan dress berwarna cokelat dan luaran memakai sweter rajut berwarna senada. Rambutnya dibiarkan terurai.
Felora melangkah, “selagi adik-adik tidak di sini, boleh aku dapat pelukan dari kalian berdua, bersamaan?” pintanya.
Halim dan Kikan saling tatap, sampai kemudian Halim lebih dulu memeluk putrinya. Kikan mendekat, memberikan yang putrinya minta.
Felora memejamkan mata, menikmati waktu kebersamaan mereka. Ia takut pelukan ini tak lagi didapatkannya setelah malam ini.
“Felora sayang Ayah, sayang Bunda seangkasa raya!” bisiknya.
Halim dan Kikan tersenyum, “sudah lama kami tidak mendengar ungkapan sayang seangkasa raya, begini. Iya kan, Ayah?”
“Iya, sudah lama sekali.”
Felora lalu mundur, tersenyum, “kita berangkat sekarang.”
***
Felora meremas tangannya yang terasa basah oleh keringat dingin, padahal dalam mobil mereka dingin. Semakin dekat dengan resto yang sudah Sagara beritahu, semakin ia merasa cemas, takut. Berulang kali ia menghela napas lebih dalam. Orang tuanya duduk di depan. Halim mengemudi sendiri malam ini.
Tampak banyak mengobrol dengan Kikan, bahkan tertawa. Felora sibuk dengan kecemasannya sendiri. Sesekali memeriksa pesan dari kekasihnya, Sagara yang bilang jika dirinya dan Fayra pun sudah dekat dengan resto bersama Fay dan Alyan.
Jadi, rencananya malam ini mereka beritahu dulu orang tua mereka. Barulah keluarga besar yang lain.
Mobil berhenti di halaman parkir khusus. Felora turun bersama orang tuanya. Lalu masuk menuju restoran. Menuju lantai teratas, ruang VVIP berkaca. Dari luar tidak akan terlihat, tetapi dari dalam, akan terlihat aktivitas di bagian luarnya.
Halim dan Kikan bergandengan tangan, hingga pada saat Halim merasa ada yang aneh dari tempat yang di siapkan dan jumlah kursi di sana.
“Apa ada orang lain, selain kita bertiga?” tanyanya sembari duduk, Kikan juga mulai merasa ada yang aneh. Ia tatap putrinya, menyadari Felora sejak mereka pergi, lebih pendiam.
“Felo?”
“Sebentar lagi,” jawabnya pelan.
Kening orang tuanya mengernyit, “apa maksudnya sebentar lagi?” tanya Kikan. Tetapi, Halim lebih dulu tahu jawabannya saat melihat Sagara berjalan bersama adiknya, Fayra dan kedua orang tuanya yang tak lain kakak sepupunya. Fay dan Alyan.
“Sagara juga di sini, bersama Fay, Alyan dan Fayra.” Beritahu Halim. Duduk tegak dan menatap putrinya yang sudah menunduk. “Jadi kamu berbohong, Felo? Sengaja mengatur makan malam yang ternyata bukan hanya untuk kita bertiga?”
“Ayah—“
“Mas, Ka Fay dan Ka Alyan bukan orang lain. Keluarga kita.” Kikan mendahului putrinya, lalu berdiri. Fay dan Alyan pun tampak terkejut mendapati ada mereka di sana. Meski tetap heboh saat memeluk Kikan kemudian pada adik sepupunya, Halim.
“Kejutan sekali,” kata Fay.
“Aku lebih terkejut, putriku mengajak makan di luar hanya bertiga. Sagara juga tidak bilang apa pun saat siang tadi kami bertemu di RMC,” jawab Halim sambil melonggarkan kancing kemeja bagian atasnya. Kemudian beralih pada Sagara yang mengambil tempat di samping Felora.
Fay dan Kikan saling tatap, meski tak bicara, mereka sepertinya satu asumsi dan harus menyiapkan diri. Sementara Sagara meneguk ludahnya susah payah, tangannya segera mengambil tangan Felora. Mengenggamnya erat. Saling menguatkan satu sama lainnya.
Halim yang memang sudah punya tatapan tajam, semakin intens jatuh pada genggaman tangan putrinya dan Sagara. "Bisa kita makan malam dulu, seperti tujuan kita semua ada di sini?" tanya Sagara berusaha tenang, walau ada getar dari suaanya.
"Jadi, memang sudah di atur?" tanya Alyan menambahkan.
Sagara mengangguk, "aku akan jelaskan nanti setelah makan malam."
"Mengapa kami harus menunggu nanti? Bicara saja sekarang!" Ujar Halim bersedekap, "juga duduk, bukan berdiri dan harus berpegangan tangan! Memangnya mau menyeberang jalan raya?!" tanyanya yang buat Sagara mau pun Felora langsung menarik tangan masing-masing, lalu duduk.
"Waspadanya malam ini memang sama seperti mau menyeberang jalan raya yang kendaraannya melaju melebihi kereta cepat." Saut Fayra sambil tersenyum kecil. Dia yang paling santai.
Sementara itu, Kikan dan Fay saling tatap, dan menghela napas sama dalamnya. Malam ini akan terasa berat.