“Proses menjadi dokter itu bisa memakan waktu tujuh sampai sepuluh tahun. Panjang. Dan semakin panjang kalau mahasiswanya kayak aku, yang sering cuti karena sakit.” Keluhnya.
Halim yang sedang menyetir sampai menatap putrinya yang duduk di belakang. Hari ini Felora sudah pulang ke rumah.
“Ayah kenal baik dengan dekanmu, juga rektornya kerabat baik Lais. Mereka akan paham, Fel.”
Felora menghela napas dalam-dalam, menoleh pada luar jendela. “Dulu yang buatku ragu ambil kuliah kedokteran, bukan nilai-nilai akademisku. Tapi, penyakitku.”
“Fel,” panggil Kikan.
“Aku bicara benar kok, dokter itu profesi membantu orang sakit. Aku bagaimana mau bantu orang lain sembuh, kalau akunya sendiri penyakitan.”
Kikan mengepalkan tangannya sendiri mendengar ucapan putrinya, “kamu seperti sedang hopeless, Fel.”
“Ya, aku tahu kalau nanti sampai drop lagi, mungkin keadaanku lebih parah dari kemarin.”
“Karena itu penting mengelola pikiran dan perasaan kamu, Fel.” Kikan kembali mencoba buat putrinya tidak down. “Mas, kok diam saja?”
Halim memilih diam bukan karena tak mendengarkan putrinya, melainkan ada banyak pikiran yang memenuhi kepalanya sebagai kepala keluarga.
“Kita sudah hampir sampai,” katanya. Memasuki gerbang besar kediaman Lais. Mobilnya melaju beberapa meter lagi untuk sampai. Kikan turun lebih dulu, Felora hendak turun tetapi tertahan oleh panggilan ayahnya, “Felo.”
“Ya, Ayah?”
Tatapan Ayah dan putrinya itu saling beradu, “apa kamu mulai menyerah?”
Felo mengulum senyum, dia yakin akan segera dapat tamu bulanan. Karena sejak pagi ini cukup sensitif, sampai tidak bisa mengontrol kalimat tadi dikatakan dari bibirnya. “Felo tahu Ayah selalu mengusahakan sampai detik ini, kan?”
“Aku tahu, maaf Ayah... harusnya Felo tidak mengatakan kalimat yang justru membuat Ayah cemas.”
Halim mendekat, mengusap puncak kepala putri sulungnya yang sudah tumbuh memasuki masa awal dewasa. Namun, baginya, dimatanya, Felora tetap sama. Malaikat kecil yang Tuhan kirimkan ke hidupnya.
“Sebentar lagi, Chocolate girl. Sabar sebentar lagi.”
Felora mengangguk. Kemudian pilih bergegas turun. Halim kembali ke posisinya, bersandar dan menghela napas dalam. Ia baru akan memejamkan mata saat kacanya di ketuk.
Ia membuka mata dan wajah cemas istrinya menunggu. Halim tidak bisa berlama-lama di sana, segera keluar. “Aku tahu kalau kamu menyembunyikan sesuatu, Mas.”
Halim menggeleng pelan.
“Jangan menghindar, Mas. Ini tentang transplantasi itu? Apa kali ini pun gagal dilakukan? Kita harus menunggu lagi?”
“Jika pun kali ini transplantasi jantung Felora jadi dilakukan, aku tetap akan secemas ini, Kikan.”
“Mas,”
“Aku tahu tingkat risiko keberhasilannya, di tambah sel darah putih Felora sangat rendah belakangan.”
“Masih ada waktu, dan cara untuk menaikkannya.” Optimis Kikan meski dengan mata berkaca-kaca.
Halim tak mengatakan apa-apa selain meraih istrinya ke pelukan. “Doanya harus lebih kita giatkan, Kikan. Aku tidak bisa membayangkan bila harus kehilangan—“
“Kita tidak akan kehilangan Felora, detak jantungnya tidak akan hilang. Dia akan hidup normal setelah ini.”
Halim mengangguk. Sementara seseorang berdiri dibalik pilar rumah. Mendengar percakapan itu sambil menyeka air matanya.
Mencoba tenang demi bisa membuat orang tuanya tak cemas, sudah ia lakukan sejak lama. Tetapi, di belakang mereka, Felora tetap bisa menangis saat mengingat dirinya begitu berharga untuk orang-orang di sekelilingnya. Bila saja dia bisa negosiasi dengan Sang Pencipta, tentu ia tak ingin hal buruk membuatnya harus pergi selama-lamanya.
Felora berbalik, pilih tidak mendengarkan lagi. Berjalan masuk, ia berhenti di depan sebuah foto besar. Dalam bingkai indah itu, terpasang potret keluarga Lais dalam versi lengkap. Eyang Kaflin duduk di depan merangkul Eyang Amira, lalu di sisi lain ada Grandad Kaivan dan Anna. Lima pasang keturunan Lais lainnya pun berdiri bersama pasangan masing-masing. Dilengkapi dengan lima belas penerus berikutnya. Termasuk Felora.
“Tuhan sudah sangat baik padaku, memberikan keluarga ini menjadi milikku. Apa aku tidak tahu diri dan begitu egois bila ingin berumur panjang, tetap menjadi bagian dari keluarga Lais?” bisiknya. Felora menyeka air matanya.
Lalu menoleh saat merasakan bahunya dirangkul, bersamaan kehadiran seseorang yang sangat ia sayangi.
“Eyang Ami,”
Amira mengusap air mata Felora, “kenapa kamu berpikir itu doa yang tidak tahu diri, dan egois?”
“Setelah semua yang Felo dapat, Eyang. Bisa diterima dan tanpa dibedakan oleh semua orang di sini.”
Di usia lanjutnya, dia tetap punya senyum yang menenangkan seperti pertama kali yang Felo ingat saat memasuki rumah ini sebagai putri sulung pria yang dinikahi ibunya. Pernah ada rasa sakit, yang bahkan masih ia rasakan hingga detik ini saat tahu jika dirinya tak memiliki darah Lais. Tetapi, berkat kasih sayang mereka semua, Felora tak lagi begitu memeluk sakitnya.
“Felo, hakikatnya manusia memang harus terus berdoa, meminta pada Sang Pencipta. Meminta sejelas-jelasnya. Sebaik-baiknya tempat yang juga tepat, hanya berdoa dan meminta pada Tuhan yang Maha Esa. Jangan putus asa ya, usaha terus. Jalur usaha dibumi dan langit.”
Felo mengangguk, lalu Amira memeluknya dan mencium keningnya.
“Sekarang masuk kamar, oh atau mau makan puding cokelat?”
Felo menjauhkan wajahnya sedikit untuk bisa memandang Eyang tercintanya, “siapa yang buat? Kalau Eyang, aku mau!” semangatnya kembali. Buat Amira tertawa lalu mengajaknya pergi untuk menyantap puding buatannya.
***
“Ini aku mau turun, makan malam. Semua ada, kecuali kamu.” Beritahunya saat Sagara bertanya dirinya sudah makan atau belum.
Sagara tersenyum mendengar pemberitahuan kekasihnya. “Makan yang banyak,”
“Kalau tertampung perutku ya,” Felora tersenyum mesti Sagara tidak ada di depannya langsung, “uhm, kapan kita pergi berdua?”
“Tidak bisa, Fel.”
“Kamu lagi sibuk pake banget ya?”
“Bukan karena aku sibuk pake banget.” Jawabannya menyesuaikan Felora.
“Terus, apa?”
“Setiap kamu baru keluar dari rumah sakit, Ayah kan jadi berkali-kali posesif. Kalau buat masuk kampus saja kamu dilarang, apalagi pergi sama aku.”
“Aishhhh! Kok bisa-bisanya aku lupa sih!” decaknya, “nyebelin deh Ayah, tapi sayang seangkasa raya.” sambil tersenyum. Felora tidak akan pernah bisa kesal berlebih pada sikap ayahnya. Itu pasti demi kebaikannya juga.
“Nurut saja ya,” bujuk Saga, ia juga tak setuju jika harus membawa Felo keluar, sedangkan baru saja keluar dari rumah sakit.
“Iya, daripada makin posesif. Nanti makin lama aku tidak bisa keluar rumahnya.” Ya, sebaiknya Felora tidak melanggar aturan ayahnya. Kali ini pun jika dirinya drop, sangat tidak baik untuk kondisinya.