Masih asyik bicara dengan Sagara di telepon, pintunya sudah lebih dulu diketuk. Seseorang memanggilnya untuk turun, makan malam.
“Aku sudah dipanggil, sudah dulu ya. Kamu juga makan. Di rumah?” tanyanya. Saga dan Fay kadang lebih sering tinggal di rumah besar, rumah Kakek mereka.
“Di rumah. Berdua sama Fay saja, setelah ini kami akan ke rumah Grandad.”
“Uhm, seharusnya kamu ke sini saja. Makan di sini.”
“Fay ada tugas, baru selesai.” Jawabnya lembut.
“Sagara, bagaimana kabar Ka Sky?”
Sky merupakan kakak Sagara, seharusnya dia sudah menjadi atlet petarung yang hebat, berkarier sampai bisa mengharumkan nama keluarganya. Akan tetapi sayang sebuah insiden besar membuatnya pernah cedera cukup parah, bahkan hampir tak terselamatkan. Setelah itu, ia harus menggantung sarung tinjunya untuk selama-lamanya bahkan saat baru memulai.
“Terakhir komunikasi dua minggu lalu, setelah itu dia hilang. Cuman ngabarin Mama, dia baik dan meminta kami tak mengkhawatirkan.” Sagara menghela napas dalam-dalam, “seperti yang kamu tahu, tubuhnya sudah pulih, tapi hatinya butuh waktu untuk bisa menerima. Dia berubah banyak.”
Lebih misterius, pendiam dan tertutup. Bahkan yang paling menjauh di antara keluarga lainnya. Itu peristiwa besar yang mengguncangkan keluarga mereka.
“Kamu pasti kangen banget sama Ka Sky, kan?”
“Sangat,” balasnya. “Terutama Mama dan Fayra. Aku tahu mereka sering menangisi Sky.” Suara Sagara jelas sedikit bergetar.
“Kamu harus kuat,” Felora juga merindukan sepupu tertuanya itu.
“Aku belajar kuat dari si paling ahlinya.” Jawab Sagara.
“Siapa?” Felora penasaran.
“Kamu, Chocolate girl...”
“Aku masih suka rapuh kok, sedih banyak-banyak.”
Sagara terdiam, “hari ini?”
“Tadi ada sedikit, tapi berkat Eyang Amira, rasanya jadi lebih membaik.”
“Syukurlah, kita punya anggota keluarga yang bisa saling menguatkan.”
“Itu yang dibutuhkan dari apa pun,” angguknya. Kemudian obrolan itu terpaksa dihentikan setelah Ayah Halim sendiri yang menghampiri Felora dan mengajaknya makan malam.
“Iya Ayah, ini aku mau turun kok. Bukan tidak mau makan. Ayah duluan, aku mau cuci tangan dulu.”
“Sekalian panggil Harsa, Ayah belum melihatnya dari tadi.” Felora juga belum melihat adiknya satu itu.
“Oke!” setujunya.
Felora pergi ke kamar mandi, dan sesuai pesan ayahnya yang meminta mengajak adiknya itu turun. Felora baru akan melangkah ke kamar adiknya yang berusia tiga belas tahun itu saat menangkap keberadaan seseorang di ruang yang ia lintasi. Harsa tampak sedang memegang ponsel, tetapi bukan miliknya.
Felora mengendap-endap, berdiri di belakangnya dan memerhatikan saat adiknya hendak menghapus sebuah surel resmi, dari logonya ia tahu itu dari sekolah adiknya.
“Kenakalan apa lagi kali ini yang buat kamu dapat surat panggilan?”
“YA!” dia terkejut dan langsung berbalik. Teriakannya cukup membuat jantung Felora bereaksi. “Ka, salahmu yang mengejutkan aku!”
Felora mengatur napas, tetapi kemudian kembali menatap adiknya. Si paling mirip Ayah tetapi kelakuannya kata Eyang sih Uncle Hamish sekali—kembarannya Ayah—sewaktu mereka muda.
“Uhm, aku...” dia mulai berpikir mencari alasan, “ya intinya, kamu tidak boleh adukan ke Bunda apalagi Ayah. Aku bisa-bisa dihukum, terburuknya di kirim ke asrama!”
“Harsa, ini tidak baik. Bunda dan Ayah pasti bakal tahu, sekolah akan curiga, mereka tidak datang. Gurumu bisa mengirim perwakilan untuk—“
“Aku saja bisa jaga rahasia kamu dan Ka Saga pacaran.” Dia menggunakan ancaman handalannya dengan tepat.
“Aku tidak sedang buat kesepakatan sama kamu.”
“Ya sudah buat sekarang, biar kamu aman, aku juga.” Ucapnya santai.
Felora berdecak, “OMG! Nyebelinnya, pakai ngancem aku segala!”
“Awas kamu bilang Ayah dan Bunda.”
Felora sudah menaikkan tangan gemas, siap menarik telinga adiknya. Tetapi, dengan lihai Harsa berhasil menghindar. “Kembalikan ponsel Bunda!” peringatkannya.
Felora tak punya pilihan selain diam, dibanding ayahnya tahu hubungannya dengan Sagara lebih cepat. Dia turun, jadi yang terakhir bergabung. Kursi di sana memang tidak diberi nama, tetapi setiap anggota rumah seperti sudah mengklaim dan kebiasaan memiliki kursi masing-masing. Tempat Felora dekat Halim tentu saja.
“Jadwal siapa yang memimpin doa?” tanya Kikan.
“Harsa,” jawab Hikami.
“Bukannya makan malam kemarin aku yang pimpin doa?”
“Ya, sekarang kamu lagi. Kamu kalah main basket tadi.”
“Sialan!” Umpat Harsa kesal. Meski begitu terpaksa mengambil tugas Hikami.
Halim berharap makan makam ini berjalan dengan baik, setelah putrinya drop dan banyak pekerjaan, ia tak berharap ada sesuatu yang menambah kerumitan pikirannya. Tetapi, baru akan menyuap. Hikami tampak duduk tegak.
“Ayah, apa lagi dalam keadaan tekanan darah rendah? Tadi aku dengar Eyang dan Bunda ngobrolin.” Ia memulai, Felora sendiri sudah punya firasat tidak baik.
Semua terdiam, kemudian Hikami mengambil ponselnya. “Iya, ayah memang lagi dalam keadaan tekanan darah rendah. Memang kenapa?”
“Aku punya sesuatu yang aku sangat yakin ampuh bisa buat tekanan darah ayah langsung naik.” Sambil menatap Kikan yang memintanya menunda. Tetapi, tak perlu di jelaskan, Halim tahu putranya yang lain berbuat ulah.
“Hikami! Shut up! Jangan resek dehh!" kesal Harsa yang terancam.
Halim langsung meletakan alat makannya dan menatap Hikami, “katakan.”
Felora menghela napas, kemudian berdiri membawa piringnya. Di ikuti yang lain.
“Tidak ada yang meninggalkan ruang makan. Kecuali Harsa, berdiri, ikut Ayah!" Halim memutuskan langsung, kepalanya terasa pening sekali. Harapannya tak berjalan malam ini.
“Mas, makannya baru dimulai—“ cegah Kikan.
“Siapa yang akan berselera kalau anaknya buat ulah?!” Jawabnya dan pergi.
“Gara-gara kamu sih?!” bentaknya pada Hikami. Harsa berdiri, tetapi tetap saja saat melewati kembarannya ia memukul belakan kepalanya.
“Hikami!” berhasil mendapat teguran Kikan. “Astaga apa lagi ini?”
“Bunda harusnya menerima surat panggilan sekolah, tapi Harsa menghapus surel resminya dari email bunda. Cek deh, di mana ponsel Bunda?” Kata Hikami lagi.
Kikan memijat keningnya, kemudian menatap putranya lagi sambil berdiri. “Ya, meski begitu, kamu bisa katakan setelah makan malam selesai. Lihat Ayahmu, sampai tidak jadi makan.”
Kikan menatap orang tua di sana yang menyimak, “Ayah dan Bunda—“
“Yang lain akan tetap di sini, makan. Kamu bisa susul Halim. Dia sedang pusing, jangan sampai kelepasan pada Harsa.”
Kikan mengerti, segera bergegas. Kadang Halim begitu tegas dan cukup keras pada putra-putranya, terutama Harsa.
Felora duduk tenang, dan lanjut makan.
Hikami dan Keenan, kedua adiknya menatap curiga. “Kamu sebenarnya juga tahu, kan?”
“Aku tidak mau ikut campur,” jawabnya. Kenakalan adiknya bukan sesuatu yang baru di rumah mereka.
“Aku penasaran, kali ini hukuman Ayah ke Harsa apa ya?” tanya Hikami.
“Kamu enggak kasihan padanya?” tanya Keenan balik.
“Ini caraku mengasihinya, mencegahnya berbohong dari Ayah dan Bunda.” Jawabnya santai.
Felora kembali menggelengkan kepalanya, tersenyum. Lalu dia sedikit berpikir, bagaimana reaksi ayahnya jika tahu dirinya dan Sagara menjalani hubungan sebagai kekasih dua tahun belakangan ini? Apa Ayah akan lebih marah dari saat menghadapi kenakalan adik-adiknya?
Tiba-tiba tangannya berkeringat dingin, Felora jadi takut memikirkannya. Sejauh ini, Ayah tidak pernah marah padanya. Ia lebih takut jika ayahnya akan sangat kecewa padanya.
"Felo, kenapa?" Amira menyadari cucu perempuannya yang terdiam.
Felo menggelengkan kepala, hanya mengambil gelas dan meminum air putih di dalamnya. Ia harus menetralkan detak jantungnya. 'jangan terpengaruh sama pikiran, Felo. Pasti ada cara meyakinkan Ayah nanti...' Batinnya. Melakukan sugesti terhadap pikirannya sendiri.