Bab 13. Pertemuan Dua Sahabat

1050 Kata
Beno pun bersiap-siap malam itu, dan Dinar ikut memperhatikannya dengan wajah nelangsa. Beno sudah gagah dengan outfit casual, celana panjang krim dan kaus polo hitam berkerah, menampakkan sisi gagahnya. Beno berusia lebih tua satu tahu daripada Keenan, dia belum menikah dengan alasan belum menemukan perempuan yang cocok dengan kriteria yang dia inginkan untuk dia jadikan sebagai pendamping hidup. Di samping itu dia memiliki kesibukan di bidang militer. Hampir satu dasawarsa mengabdi di bidang militer, dia memutuskan berhenti karena mendapat tawaran “pekerjaan” yang jauh lebih menantang. Beno memang menyukai hal-hal yang dipenuhi tantangan. Seperti para kaum adam pada umumnya, Beno pernah menjalin kasih dengan beberapa perempuan sejak SMA, tapi tentu saja berpacaran jarak jauh dan hanya sesekali bertemu karena Beno yang sering terlibat dalam tugas negara. Tidak satupun yang betah berhubungan dengan cara seperti itu dan memilih mundur. “Mau kirim salam ke mas Keenan? Mas sampein kalo kamu mau.” Dinar mengangguk tersenyum, namun matanya menunjukkan seolah menyembunyikan sesuatu, akan tetapi Beno tidak terlalu memperhatikannya dan terus memastikan penampilannya di cermin besar kamarnya. “Idih, Mas Beno. Mau incer cewek-cewek di klub ya? Bukannya Mas bilang dulu banyak yang nggak bener di sana?” “Nggak juga, ada juga yang bener kok, jangan suuzon begitu ah.” “Mas Beno nggak cari pacar?” goda Dinar lagi. “Hah? Nggak ah. Tumben tanya-nanya.” Dinar tersenyum kecil, merasa lucu dengan Beno jika disinggung perempuan, selalu wajahnya berubah malu-malu. “Baru nyadar kalo Mas Beno nggak kalah ganteng dari mas Keenan,” katanya kemudian. “Ih, bisa aja ngomongnya. Belum ketemu yang sesuai saja, Din.” Beno memperbaiki kerah bajunya yang terlipat tidak sempurna. “Aku carikan di kampus, teman-temenku banyak yang cantik, mau nggak? Ada yang namanya Puput, Sella, Kira…” “Udah deh.” Beno mengacak rambut Dinar, lalu pergi ke luar dari kamarnya, meninggalkan Dinar sendirian di sana. Dinar memang kerap bermain di kamarnya bahkan sering ketiduran di sana. Gadis itu memang sangat dekat dengan kakaknya, dan merasa sangat nyaman, Beno tidak hanya berperan sebagai kakak, tapi juga ayah bagi Dinar. *** Bak lama tidak berjumpa, Beno dan Keenan berpelukan cukup lama saat bertemu kembali di sudut ruang klub malam. Keenan tampak lebih segar dan bertambah gagah di mata Beno, rambutnya lebih rapi dan tidak acak-adakan seperti sebelumnya. Beno menyadari bahwa dia salah menduga membayangkan sahabatnya itu kacau karena keretakan dalam rumah tangganya. Tapi ternyata apa yang dia duga ada benarnya, Keenan mengaku sedikit terganggu dengan desakan Winda yang kekeh ingin bercerai darinya. “Tetap saja aku merasa terganggu dengan masalah ini, Ben. Banyak yang menanyakan dan aku malas menanggapi. Aku memang berusaha nggak menampakkan saja, khawatir kesehatan mamaku ikut terganggu.” Keenan menjelaskan keadaannya sekarang, pikiran dan emosinya tetap terganggu, tapi dia tidak mau terlalu dalam memikirkan kacaunya dalam pernikahannya, agar bisa fokus dengan pekerjaannya, “Oh iya, apa kabar tante Erina, Keenan?” Beno menanyakan mama Keenan. “Ya, sehat.” “Bagaimana tanggapannya setelah tahu Winda yang ingin bercerai darimu? Apa mamamu Kecewa?” “Kecewa … ya tentu saja. Biasalah, kamu tau hubungan Winda dan mamaku kurang baik, Winda jarang sekali mau bertemu atau sekadar berbasa basi dengan mamaku selama ini.” Keenan menghela napas panjang, menyesalkan sikap Winda selama menikah, yang terkesan cuek dengan keluarganya, terutama dengan mamanya. Kini dia sudah di ambang cerai, dan tentu komunikasi Winda dan mamanya kemungkinan besar tidak bisa lagi terselamatkan. “Ya, tapi mama juga lega.” Beno tersenyum kecil melihat Keenan yang penampilannya berubah lebih rapi, tapi dia yakin hati Keenan sepertinya terluka, dia melihat ada gelas minuman alkohol yang hampir habis, juga sebungkus rokok lengkap dengan mencis yang tergeletak di atas meja depan mereka berdua. Boleh dikatakan Keenan sangat jarang minum juga merokok. Tidak mau mengganggu perasaan Keenan, Beno memilih tidak menyinggung masalah pribadi Keenan, lebih memilih menanyakan keadaannya dan perjalanan bisnisnya. Tapi sepertinya pembicaraan pribadi Keenan tidak bisa terhindarkan. “Oiya, apa kabar Dinar?” tanya Keenan tiba-tiba. “Ah, anak itu baik. Dia bilang dia sudah menghubungi kamu dan kirim pesan berkali-kali, tapi nggak kamu balas.” “Ah, iya. Nanti aku segera menghubunginya.” Beno mengamati wajah Keenan yang tampak bingung saat disinggung tentang Dinar. Dia merasa aneh dengan sikap Keenan yang menanyakan Dinar, padahal dia sudah menerima pesan dari Dinar bahkan Dinar menghubunginya, dan dia belum membalasnya. Dan sekarang, Keenan malah menanyakan Dinar? Beno yakin, ada yang Keenan sesalkan terkait adiknya itu. “Maafkan Dinar, Keenan.” “Nggak apa-apa, Ben.” “Dia sangat mengharapkamu.” Keenan mengambil salah satu rokoknya, dan menyalakannya. Dia terlihat gusar saat Beno menyebut-nyebut Dinar. Beno dengan cepat menahan tangan Keenan agar tidak merokok dalam keadaan kesal. “Aku akan menasihatinya. Dia tidak akan mengganggumu lagi,” ujar Beno yang tentu merasa kurang enak. Keenan menghela napas panjang, “Bukan begitu, Ben. Aku hanya ingin menjaga Dinar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Karena papa Winda sudah tahu bahwa Dinar juga terlibat, padahal aku sudah mengatakan kepada Winda untuk tidak menyinggung Dinar di depan papanya.” Beno menghela napas panjang dan wajahnya berubah jengkel, dia juga bingung hendak menyalahkan Dinar, sang adik kesayangan. Satu sisi menyadari bahwa Dinar telah melakukan tindakan yang memalukan, satu sisi dia juga tidak bisa mencegahnya. Dia memaklumi Irman yang pada akhirnya pasti akan mencari tahu kenapa Winda sangat menginginkanbercerai. Karena pernikahan Keenan dan Winda adalah ide dari Irman sendiri. “Dinar sangat menyukaimu.” “Aku tau, tapi aku nggak bisa.” “Kenapa?” Keenan menatap Beno dalam-dalam, tapi hanya beberapa detik, lalu dia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Keenan hanya menggeleng, enggan mengungkapkan alasan yang sangat pribadi terkait dengan Dinar kepada Beno. “Aku sangat menyayangi adikmu,” ujar Keenan tanpa mau meneruskan kata-katanya. Lagi-lagi Beno tersadar, telah menyinggung kehidupan pribadi Keenan, dan dengan lirih berucap maaf kepada Keenan, yang selama ini lelah dengan kesehariannya. “Aku akan menghubungi Dinar dan menenangkannya,” ujar Keenan kemudian. Setelahnya, mereka tidak lagi membahas seputar perceraian Keenan. Topik pembicaraan pun dialihkan membahas tentang perjalanan bisnis Keenan di Eropa. Keenan tidak begitu semangat membicarakannya karena di sana musim dingin, dan dia tidak sering menghabiskan waktu di luar. Namun, ada satu hal yang menarik dari pertemuan ini, Keenan berniat akan ke luar dari perusahaan papa Winda, dan sedang menyusun rencana. “Aku akan membantu,” ujar Beno yang mendukung rencana Keenan. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN