Bab 14. Kerinduan Dinar

1105 Kata
Merasa gagal mempertahankan pernikahannya dengan putri atasan, membuat Keenan berpikir lebih baik dia mundur dari perusahaan. Dia tidak mau dibayang-bayangi Irman, mengakhawatirkan keadaan ke depan yang pasti berbeda dan tidak lagi sama, akan banyak sindiran dan kata-kata yang kurang mengenakkan tertuju kepadanya, yang tidak tahu dirilah, tidak tahu diuntunglah, dan lain sebagainya, dan tidak menutup kemungkinan berimbas ke keluarganya. Keenan ingin menjaga nama baik keluarganya. Sampai saat ini, Keenan memang belum menerima isu-isu tentang dirinya yang akan bercerai. Belum ada yang menyinggungnya atau menanyakannya. Bahkan semua yang mengenalnya tidak menganggap isu tersebut sebagai isu besar. Sepertinya mereka memahami keadaan perusahaan, dan papa Winda yang memang bergantung kepada kinerjaKeenan. Keenan mulai berpikir bahwa mungkin saja isu keretakan rumah tangganya di bawah kontrol Irman, yang tidak mau satupun media meliput, atau orang-orang membicarakannya. Namun, daripada menduga-duga, Keenan merasa ada baiknya dia mundur dari perusahaan, dan itu membuatnya lebih tenang dan tidak lagi di bawah bayang-bayang Irman atau Winda sekalipun. *** Dinar tidak mau menyia-nyiakan kedatangan Keenan ke rumahnya, dia langsung memeluk pria sempurna itu erat-erat dan menyatakan kerinduannya, juga melampiaskan kekesalannya karena Keenan yang tidak kunjung menghubunginya juga tidak pernah membalas pesan-pesannya. “Mas Keenan bayangin! Dinar jadi nggak semangat belajar, nggak semangat ngampus, nggak semangat ngapa-ngapain. Mas Keenan tanggung jawab! Harus manjain Dinar! Belikan Dinar i-pa* terbaru! Dinar pokoknya minta belikan cepat!” Keenan memeluk Dinar dan mengusap-usap punggung Dinar, ingin menenangkan perasaan gadis manja dan manis itu. “Maaf, Dinar Sayang. Mas sibuk banget.” Dinar perlahan tenang, sentuhan Keenan malam ini dia rasa sangat berbeda, lebih intim dan penuh kerinduan. Dia pun terisak menangis sambil mengeratkan pelukannya. “Mas belikan segera, mau apalagi?” Keenan merenggangkan pelukannya, menatap wajah Dinar yang sudah bersimbah air mata. “Mau Mas Keenan.” Keenan terkekeh, dia membimbing Dinar ke atas tempat tidur, dan merebahkan tubuh Dinar, menindihnya. “Ini yang kamu mau, hm?” Keenan perlahan menyelipkan tangannya di balik baju kaus pendek Dinar, dan membelai perut kecil Dinar. “Mas Keenan, ah.” “Suka?” “Iya.” Dinar tidak mau sedikitpun memejamkan matanya, menatap wajah tampan pria yang dia gila-gilai selama bertahun-tahun, sambil menikmati sentuhan ujung jari-jari panjang mengenai miliknya yang sudah berair. Keenan menarik tangannya, menjilat ujung jarinya, bergumam, “Biar lebih basah lagi,” gumamnya lalu kembali membelai milik Dinar dengan pelan. “Mas, Dinar sayang sama Mas Keenan. Aaa … enak, Mas. Bisa lebih dalam lagi?” Keenan tersenyum menyeringai, dia menarik tangannya, juga tubuhnya, lalu melepas seluruh pakaiannya hingga polos telanj*ng. Melihat tubuh besar Keenan, Dinar tersulut dan bergair*h, hingga merasa suhu tubuhnya memanas, dia ikut melucuti seluruh pakaiannya. “Dinar ingin menikah dengan Mas Keenan. Dinar ingin menjadi istri Mas Keenan … selamanya. Ini yang Dinar tunggu-tunggu, Mas.” Dinar mengungkapkan segala perasaan yang dia tahan-tahan selama ini, dan sekarang dia merasa sangat lega. Dinar lalu dengan tenangnya menyambut tubuh besar Keenan yang mulai hendak menindihnya. Baru saja Dinar hendak melihat senjata Keenan, entah bagaimana mata Dinar buram seketika, dia sudah merasakan miliknya beradu dengan milik Keenan, tapi seperti ada yang menghalanginya. Dinar merasa kecewa karena menyadari bahwa dia sedang bermimpi, dan dia ingin sekali kembali tidur dan melanjutkan kenikmatan yang dia rasakan bersama Keenan. Tetap tidak bisa dan dia mau tidak mau terbangun, karena ada yang mengetuk pintu kamar. “Ck.” Dinar berdecak, menyadari bahwa dirinya yang masih berada di dalam kamar Beno. Beberapa jam sebelumnya, setelah Beno ke luar dari kamarnya dan pergi menemui Keenan ke klub malam, Dinar memilih untuk tetap berada di kamar Beno. Dinar mengunci kamar Beno, sebelum rebah di atas tempat tidur, mengenang kebersamaannya dengan Keenan yang sebelumnya menginap di dalam kamar Beno. Dinar membuka pintu kamar, dan wajahnya cemberut. “Kenapa dikunci ‘sih?” tanya Beno dengan wajah kesal, ternyata dia berkali-kali mengetuk pintu kamar tapi Dinar tidak kunjung membukanya. “Orang ketiduran,” balas Dinar sedikit menggerutu. Beno menggelengkan kepala, mengacak rambut Dinar dengan perasaan gemas bercampur kesal. “Mas Keenan kirim salam, dia akan menghubungi kamu segera.” Wajah Dinar langsung berubah sangat cerah, dia berbalik dan memeluk Beno dan tertawa renyah. Beno memang tahu cara mengubah mood Dinar jadi lebih semangat, dan dia menyukainya. “Jangan cemberut ah. Lain kali jangan dikunci, Mas jadi lama tunggu di luar.” Dinar menatap wajah Beno dengan senyum cerianya, “Ya, nggak lagi deh, Masss,” janjinya. Dinar lalu berlari kecil menuju kamarnya, tidak sabar lagi akan mengambil ponsel dan memeriksa pesan-pesan dari Keenan. Dia yakin Keenan pasti membalas semua pesannya. Beno menatap punggung Dinar dengan senyum kecut, dia sudah berusaha mendekatkan Keenan dan Dinar, demi kebahagiaan Dinar, dengan menceritakannya langsung kepada Keenan tentang perasaan Dinar yang sesungguhnya. Selama bersahabat, baru malam ini Beno bertanya tanpa basa basi, mengenai perasaan Keenan terhadap Dinar, karena dia berpikir bahwa ini adalah saat tepat, karena Keenan telah menandatangani persetujuan perceraian. Namun, sepertinya Keenan masih belum yakin dan terkesan menutup-nutupi. Entahlah, Beno merasa Keenan sebenarnya memiliki perasaan khusus kepada adik cantiknya, tapi CEO itu tampak tidak mau mengakui dan ada yang dia sembunyikan. Tapi, di satu sisi Beno juga tidak yakin, karena selama ini pula dia melihat sikap Keenan yang memang murni menyayangi Dinar, dan tetap menganggap Dinar seperti adiknya sendiri. Beno menghela napas panjang, berharap ke depan Dinar tetap bahagia, meskipun tidak harus bersama Keenan. *** Sementara itu Dinar langsung mengambil ponselnya begitu masuk ke dalam kamarnya, bahkan dia mengunci kamarnya dari dalam. Dinar duduk dengan sangat rapi di tepi tempat tidur. Belum membuka notif ponsel, Dinar sudah tersenyum lebar, yakin bahwa dia akan mendapatkan pesan-pesan indah dari Keenan. Apa yang Dinar harapkan terjadi, ada pesan dari Keenan, meminta maaf kepadanya karena tidak menghubunginya, juga tidak membalas pesannya, dengan alasan sibuk dan pekerjaan yang tidak ada habis-habisnya. Seperti biasa, ada kata sayang dari pesan Keenan, dan Dinar merasa sangat bahagia. Dinar : Biasanya ‘kan Mas Keenan tetap balas pesan-pesan Dinar. Kok sekarang lama balasnya. Dinar tetap saja tidak mau tahu kondisi Keenan yang baru saja pulang dari perjalanan bisnisnya di Eropa juga menghadapi masalah rumah tangga, dan dia tetap saja menuntut sikap Keenan yang harus baik kepadanya dan tetap memperhatikan dirinya dalam kondisi apapun. Dinar senang, pesannnya sedang dibalas Keenan, itu artinya Keenan pasti sedang memikirkannya malam ini. Keenan : Mas sibuk, Din. Dinar mendadak cemberut, kata-kata Keenan tidak ramah menurutnya, dan dia membalasnya lagi dengan kata-kata yang masih menyesalkan sikap acuh tak acuh Keenan. Tapi, belum sempat dia mengirim pesan itu, dia mendapat pesan lanjutan dari Keenan. Keenan : Lusa Mas di rumah tante Erina, kita bisa bertemu di sana. Perasaan Dinar menghangat, masih mengingat mimpi indahnya barusan bersama Keenan, dan dia yakin bisa mewujudkannya. Dinar : Jam berapa, Mas? Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN