Dinar memang merasa di atas angin, mempunyai seorang kakak kandung yang dulunya merupakan eks tentara, yang sekarang diisukan dilibatkan dalam badan intelijen, memiliki kedetakan dengan para petinggi atau pejabat pemerintahan, dan para pengusaha besar, Keenan misalnya. Di samping itu, dia juga akrab dengan adik perempuan Keenan yang bernama Rara, yang kurang menyukai Winda sebagai kakak iparnya. Rara sendiri bekerja di kantor Keenan sebagai wakil sekretaris.
“Nekad kamu,” ujar Rara dari ujung sana.
Dinar tertawa-tawa sambil memainkan ujung-ujung rambutnya yang ikal dan panjang. Dia melaporkan bahwa baru saja dia mengirimkan foto-fotonya dengan Keenan ke nomor ponsel Winda, foto-foto yang menunjukkan kemesraan. Dia mendapatkan nomor kontak Winda dari ponsel Keenan sendiri, lalu mengirimnya melalui nomor siluman.
“Dia balas apa?” tanya Rara lagi.
Rara tidak menyukai Winda karena menilai Winda sebagai sosok yang angkuh dan kurang akrab dengan keluarganya. Bisa dihitung dengan jari Winda berkunjung ke rumah keluarganya, dan di saat berkunjung ke rumahnya, Winda hanya diam dan duduk sendiri sambil asyik memainkan ponsel. Winda seperti tidak mau bergabung dengan keluarga Keenan, dia tidak dekat dengan mama atau papanya, juga tidak dekat dengan saudara-saudara Keenan.
Sampai sekarang, Rara tidak mengerti kenapa kakaknya mau saja dijodohkan dengan perempuan angkuh dan sok kaya itu, padahal Keenan dan Winda sama sekali belum saling mengenal sebelumnya. Rara juga tidak tahu alasan kedua orang tuanya menerima perjodohan Keenan. Padahal Keenan sudah sangat dekat dengan Dinar, dan banyak yang menyangka Keenan dan Dinar adalah pasangan kekasih.
Selama ini Keenan memang jarang berhubungan dekat dengan perempuan karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya, dan perempuan yang sangat dekat dengannya adalah Dinar, bahkan Keenan tidak segan memeluknya, sering memberinya hadiah, dan mencurahkan kasih sayangnya sebagai seorang kakak yang baik. Dibanding Rara, Dinar jauh lebih dekat kakaknya, karena Rara yang bersekolah di luar negeri sejak SMP.
“Nggak bales, tapi udah centang biru,” jawab Dinar masih dengan tawa usilnya.
“Haha, siap-siap aja nanti ada perang besar.” Rara sepertinya yakin akan terjadinya perselisihan yang tidak terelakkan antara Keenan dan Winda, dan melibatkan Dinar.
“Nanti kalo ada perang, aku bagi-bagi gosipnya.”
“Asyiiik.” Rara terlihat senang membayangkan kakaknya terlepas dari sosok Winda. “Hm … coba kamu aja jadi istrinya Mas Keenan.”
“Tauk.” Dinar cemberut, ikut menyesalkan pernikahan Keenan dan Winda.
“Lagian, kamu juga nggak terus terang, padahal kamu kan lebih lama berhubungan dengan Mas Keenan.”
Dinar menghela napas pendek, “Aku … aku bingung, Ra. Aku tuh udah berkali-kali mau coba berterus terang, tapi selalu aja aku tuh mikir kalo Mas Keenan tuh cuma sayang aja sama aku dan dia nggak punya perasaan lebih sama aku.”
“Kamu nggak pernah ngomong sama Mas Keenan, ‘kan?
“Iya sih, nggak pernah.” Dinar lagi-lagi menghela napas pendek, dia terlihat sangat gusar. “Karena aku tuh mikir kalo aku terus terang, Mas Keenan jadi beda sama aku … hm … aku khawatir dia malah ngejauh,” lanjutnya.
“Tapi ternyata dia benar-benar jauh, ‘kan?”
“Nggak juga, buktinya dia ke rumah dan nginap.”
“Maksudku, dia malah menikah dengan wanita lain, dan kamu nggak bisa berharap lagi—”
Dinar tertawa sinis, dia perbaiki posisi ponsel di telinganya. “Siapa bilang. Bagiku, mungkin emang begini jalannya. Biar Mas Keenan bisa bandingkan siapa yang terbaik antara aku dan wanita itu.” Dinar enggan menyebut nama istri Keenan.
“Haha, nakal kamu, Din.”
“Iya, emang.”
“Tapi aku suka.”
“Iya, ‘dong. Makanya bantuin.”
“Aku bantu doa saja, nggak mau ikutan perang. Tapi aku dukung.”
“Dasar, mau aman aja.”
“Biar kamu lebih fokus ngedapetin Mas Keenan.” Rara tersenyum kecil, senang karena akan ada kejadian luar biasa.
Sedangkan Dinar senyum penuh kemenangan, karena Rara mendukung aksinya.
“Tapi emang kayaknya sekarang adalah waktu yang tepat, Din. Soalnya mamaku udah nyinggung “anak”, dan Mas Keenan udah mulai mikir kayaknya.”
Senyum kemenangan Dinar bertambah lebar, membayangkan dirinya melebur jadi satu dengan Keenan, lalu dia yang akan mengandung anak Keenan. Pasti Keenan akan bahagia bersama dirinya selamanya.
***
Winda sudah memegang berkas perceraian di tangannya dalam perjalanannya menuju rumah keluarga Beno. Barusan dia mengirim pesan ke nomor kontak suaminya, tapi sepertinya pesan itu tidak sampai karena ponsel Keenan yang mungkin sedang mati total. Winda sudah mantap berpisah secara resmi, dan dia bisa terlepas dari bayang-bayang Dinar, dan tidak akan lagi mencemburui gadis licik itu.
Winda memilih tidak membicarakan keinginan bercerai dari Keenan dengan keduaorangtuanya, karena dia yakin mereka pasti tidak akan membiarkannya. Dulu, Winda pernah mengeluhkan hubungan Dinar dan Keenan kepada mama dan papanya, tapi mereka malah menganggapnya berlebihan dalam menyikapi hubungan kakak adik itu, dia justru disebut pencemburu dan seharusnya tidak perlu merasa tersaingi dengan Dinar yang hanya gadis biasa-biasa saja dan bukan gadis istimewa.
Mama dan papa Winda tidak menyetujui keinginan Winda untuk bercerai dari Keenan, terutama papanya yang sangat menyayangi Keenan sebagai sosok yang sangat diperlukan di perusahaannya. Saking sayangnya, Papa Winda membuat sebuah perjanjian dengan Winda, jika Winda tidak menyukai pernikahannya dengan Keenan dan berujung menginginkan perpisahan, Winda harus bekerja di dalam perusahaannya sebagai wakil presiden perusahaan di bidang operasional. Winda sebenarnya tidak menyukai pekerjaan itu, dan mau tidak mau dia harus bersedia bekerja, jika bercerai.
“Halo, Pa.” Winda menghubungi papanya.
“Maaf, Sayang. Papa sibuk sekali dan baru bisa dihubungi sekarang.” Suara lelah Irman terdengar di telinga Winda.
“Aku hanya ingin menyampaikan bahwa dalam waktu beberapa minggu ke depan, aku akan bekerja di perusahaan Papa.”
“Winda—”
“Aku sudah mantap, Pa. Aku tidak tahan lagi.”
Winda langsung mengakhiri panggilannya, tidak menghiraukan suara letih papanya yang memanggilnya berulang-ulang di ujung sana.
Winda memegang erat ponselnya, lalu berkata dalam hati, “Kali ini aku yakin papa pasti menyetujuiku bercerai.” Dia juga mengingat kembali foto-foto mesra Dinar bersama Keenan di dalam sebuah kamar.
“Berapa lama lagi, Pak?” tanya Winda yang sudah tidak sabar lagi ingin segera sampai di tujuan.
“Lima belas menit, Bu.”
Agar penyamarannya sempurna, Winda memakai mobil salah satu pegawai papanya yang pasti tidak dikenal Keenan. Dia menyamar sebagai seorang petugas asuransi, dan kunjungannya sudah dikonfirmasi keluarga Beno. Tentu saja ide ini berasal dari informan dan detektif yang dia percayai, Beno memiliki tunggakan asuransi dua bulan dan hari ini dia akan melunasinya secara tunai.
Lima belas menit kemudian, mobil yang ditumpangi Winda sudah memasuki area perkebunan teh. Rumah keluarga Beno bertema klasik zaman Belanda yang dikelilingi taman dan kebun yang sangat asri. Keluarga Beno dikenal sebagai juragan kebun teh yang kaya di daerah Bogor, dan Winda tahu akan hal ini karena Keenan pernah bercerita tentang Beno saat awal-awal menikah. Akan tetapi, dia malah sama sekali tidak pernah bertemu Beno. Saat menikah, eks tentara itu tidak datang menghadiri, karena sedang bertugas di luar daerah.
Mobil sudah berhenti tepat di depan pagar rumah keluarga Beno, dan Winda menghela napas panjang, bersiap-siap untuk memainkan perannya.
Bersambung