Bab 2. Si Gadis Manja Kesayangan

1028 Kata
Sandra menatap wajah Winda dengan perasaan bangganya. Winda masih bisa berpikir dengan tenang dan tidak gegabah memikirkan masalah dalam rumah tangganya. Masih mengingat betapa rapuh Winda saat melapor kepadanya bahwa dia sudah meminta Keenan menceraikannya tahun lalu, dengan masalah yang sama. Akan tetapi, Keenan menolak keinginannya bercerai, dan Winda kembali goyah hingga tetap meneruskan pernikahan. Lagi pula, dia tidak memiliki cukup bukti-bukti untuk bercerai. Kini, dia sudah memilikinya, dan mantap bercerai. *** Dalam perjalanan menuju alamat yang diberikan seorang informan, Winda mengingat kembali momen pernikahannya. Pagi itu, tepat pada saat Keenan membalas ucapan papanya di depan meja pernikahan, Winda sempat melirik ke arah seorang gadis cantik yang duduk di antara keluarga Keenan, mengusap pipinya yang basah. Satu bulan menikah, dia akhirnya mengetahui bahwa gadis itu adalah adik sahabat Keenan yang merupakan eks tentara. Keenan mengakui kedekatannya dengan Dinar, mengatakan bahwa Dinar sudah kehilangan sosok ayah sejak lahir. Keenan menyayangi Dinar bak adik sendiri. Terlebih, sebelumnya Beno sering bertugas di luar daerah, membuat Dinar benar-benar kesepian dan membutuhkan kasih sayang. "Apa salah aku mempersoalkan Dinar, ha? Kamu selalu membelanya!" teriak Winda kencang suatu pagi. "Winda, sudahlah. Kamu terlalu cemburuan!" "Dia menyukai kamu, Keenan! Aku bisa lihat dari tatapan matanya." Keenan menatap wajah Winda dengan geram, "Lihat dirimu! Betapa beruntungnya kamu, kamu punya segalanya, orang tua lengkap, harta benda yang tidak habis-habisnya! Kamu bandingkan dengan Dinar. Kamu terlalu berlebihan menilainya, dia tidak punya niat apa-apa. Aku menyayanginya dan dia membutuhkanku." Pertengkaran tahun lalu itu kembali singgap di benak Winda. Di mata Keenan, Dinar adalah gadis baik, tapi di matanya, Dinar adalah gadis licik. Entah siapa yang benar, tapi pada akhirnya Winda merasa dirinya tidak salah dan dia yakin dia benar, setelah melihat foto-foto Dinar yang centil selfi di dekat tubuh Keenan yang setengah telanjang. "Dia menginginkan perang. Baiklah." *** Beberapa saat sebelumnya. Dinar menjerit bahagia, Keenan mengunjungi rumahnya akhir pekan ini dan akan menginap. Sejak sahabat kakaknya itu menikah, Dinar kurang memiliki waktu yang cukup banyak untuk bermanja-manja dengan Keenan, dan dia selalu dicurigai istri Keenan. Dinar sebenarnya menyukai Keenan sejak dirinya bersekolah di SMP, tapi dia hanya mampu memendam perasaan sukanya itu, karena Keenan sudah dijodohkan dengan Winda, anak dari pengusaha kaya raya. Dinar berlari menuju ke dapur dan langsung membuatkan minuman hangat untuk Keenan. "Emangnya Mas Keenan mau menginap?" tanya Ratri, mama Dinar. Dia tersenyum hangat melihat wajah binar Dinar. "Iya, Ma." "Tumben." "Lagi ribut dengan istrinya kali." "Hush, nggak boleh gitu." "Habis, aku suka sebel sama istrinya tuh, kalo aku deket-deket sama Mas Keenan, mukanya jutek habis." "Muka kamu yang jutek!" Tiba-tiba Beno menggetok kepala Dinar dari belakang. "Ih, Mas ah!" decak Dinar. "Lo, mana si Keenan?" tanya Ratri ke Beno. "Lagi istirahat di kamar." Dinar tampak semangat membawa baki dengan air minum hangat di atasnya, ke luar dari dapur. "Dasar centil!" goda Beno yang melihat Dinar berjalan berlenggak lenggok ke luar dapur. Dia tahu adiknya itu sejak dulu menyukai Keenan, tapi apa daya Keenan sudah dijodohkan dengan anak pengusaha kaya raya yang bernama Winda dan menikahinya, dan Dinar mau tidak mau menerima kenyataan itu dengan lapang d**a. Lapang d**a? Beno menggeleng, tidak yakin Dinar lapang d**a, karena adiknya itu kerap menghubungi Keenan walaupun Keenan sudah menikah, bahkan terkadang agak keterlaluan. "Bukannya kata kamu Keenan ke Palangkaraya?" "Iya, dia memang dari sana." Ratri mendelik heran, "Kok malah langsung ke sini? Hm ... ada masalah?" tanyanya kemudian. Dia ikut duduk di kursi makan, sebelah Beno. "Ya, soal Winda." "Kenapa lagi dengan Winda?" Beno terkekeh dan menggeleng. "Masalah lama, Ma. Dinar tuh suka nelpon-nelpon Keenan." "Halah, Dinar kan emang sudah lama deket Keenan ... kok cemburu sama anak ingusan." "Idih, Mama. Bilang Dinar anak ingusan, laporin nanti." "Maksud Mama tuh, kok Winda malah mempermasalahkan kedekatan Dinar dan Keenan." "Tapi kadang Dinar tuh suka kelewatan, Ma." "Kelewatan gimana? Pacaran? Nggak kan? Windanya aja yang overthinking. Semua kan tau Keenan itu emang sudah dari dulu sayang sama Dinar." Beno terkekeh lagi, dia tidak mau memberitahu soal perasaan suka Dinar terhadap Keenan, bisa-bisa mamanya yang overthingking. Tapi, dalam hatinya dia membenarkan kata-kata mamanya bahwa mungkin saja Winda yang terlalu cemburu, hingga mempermasalahkan kedekatan Keenan dengan adiknya, yang menurutnya masih biasa-biasa saja. *** Dinar tersenyum melihat tubuh atletis Keenan yang rebah di atas kasur kamar kakaknya. Keenan semakin lama semakin memesona di matanya. Dia sudah mengamati Keenan sejak Keenan muda, dan tidak menyangka dengan penampakan sahabat kakaknya itu yang semakin gagah dan dewasa. "Terima kasih, Manis." Dinar duduk di samping Keenan di atas tempat tidur. "Aku pijat ya, Mas?" tawarnya. "Boleh." Keenan menyerahkan punggungnya dipijat dua tangan Dinar yang halus dan ramping. Sebelumnya Keenan memang kerap dipijat Dinar, bahkan dia yang lebih dulu meminta. Walaupun hanya pijatan sederhana, tapi cukup mampu menghilangkan penat, terutama pikiran. "Dari Palangkaraya kok malah pulang ke sini?" iseng Dinar bertanya. Keenan tertawa kecil, "Pura-pura nggak tau," decaknya. Dinar tersenyum kecil, dia tahu masalah Keenan dengan istrinya, yang kerap mempermasalahkan kedekatannya dengan Keenan, dan mencemburuinya. "Emangnya sudah diberi kejelasan tetap masih ngeyel ya, Mas?" "Ya, gitu deh. Eh, gimana kuliah kamu?" Keenan berusaha mengalihkan pembicaraan. "Udah selesai ujian, Mas. Ih, kok Mas lupa sih? Kan bulan lalu Mas kasih aku hadiah hape baru, waktu itu aku udah ujian akhir semester, Mas." "Oh, iya. Sori, Din. Mas lupaan." Selesai pijat, Keenan minum minuman hangat yang sudah dibuatkan Dinar untuknya. "Hm ... Mas istirahat dulu, ya?" ujarnya. Itu adalah kode agar Dinar meninggalkan Keenan di kamarnya. Dinar mengangguk patuh, dan dia pergi dari kamar kakaknya, dengan membawa baki dan gelas yang sudah kosong. Dinar tidak langsung ke dapur untuk mengembalikan baki dan gelas kosong yang dia pegang. Dia malah meletakkannya di atas meja depan sofa di ruang keluarga yang berdekatan dengan kamar kakaknya di mana Keenan sedang beristirahat. Gadis itu duduk santai di atas sofa dan menyalakan televisi, memilih-milih film serial terbaru. Setengah jam menonton, tiba-tiba dia mendengar dengkur Keenan dari dalam kamar Beno. Dia beranjak dari duduknya, melangkah menuju pintu kamar Beno, membukanya dan masuk ke dalamnya. Dinar melepas atasannya hingga hanya menyisakan bra di tubuhnya, lalu duduk di tepi tempat tidur, di sisi Keenan yang masih terbaring dalam keadaan telanjang d**a. Dinar mengambil ponsel dengan posisi selfi, tersenyum ke arah layar ponsel, seolah-olah habis bercinta dengan Keenan. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN