Bab 10. Tidak Ada yang Mengundangmu

1089 Kata
Agha tidak bisa tenang setelah kepergian Fara yang membawa beberapa barang-barangnya. Sudah pasti sang istri bertekad bulat, Fara tidak pernah semarah ini. Agha tidak bisa membiarkan wanita itu pergi dari sisinya begitu saja. "Agha!" seru Yurike. "Ya, Ma," jawab Agha terkejut. "Ngelamun aja, dimakan tuh makanannya," tambah sang mama. "Pasti ngelamunin mbak Fara tuh," imbuh Lona. "Bener, Gha?" tanya Yurike tak percaya. Agha mengangguk. "Dia masih istriku, Ma." Yurike berdecak pelan. Mau menghujat Fara tapi Agha masih kekeh membelanya. Jadi dia hanya berkata sewajarnya. "Halah, nanti juga dia balik ke sini lagi. Orang kalau masih cinta mah nggak bakalan pergi ninggalin kamu," sahut Yurike sedikit mengompori. "Lagian kenapa sih, Kak. Udah ada mbak Nesa juga. Katanya Kakak cinta sama dia. Yaudah tinggalin aja mbak Fara. Gitu aja pakek galau segala." ucapan Ilona justru lebih bar-bar dibanding Yurike. "Tidak semudah itu, Lon. Kamu bisa makan enak, tinggal di tempat yang nyaman, dan kehidupan kita semakin membaik juga karena Mbakmu Fara," tegas Agha menaikkan suaranya. Ilona menundukkan kepalanya menyesal telah berucap tanpa berpikir dulu. "Maaf, Kak," lirihnya. "Kalau itu masalahnya ya gampang. Jemput saja istrimu, ajak dia kembali ke sini." sahut Gunawan-ayah Agha yang sejak tadi diam menyimak. Mata Yurike seketika melotot garang ke arah suaminya. "Apa! Nggak bisa. Dia sendiri yang memutuskan untuk pergi, jadi biarkan saja." "Ya dari pada Agha ngapa-ngapain nggak tenang. Biasalah lelaki tidak bisa jauh dari wanita," balas Gunawan enteng. "Kamu itu emang yang dasarnya ganjen," sewot Yurike kesal. "Duh, kenapa sih Mama sama Bapak ini. Jangan buat Mas Agha tambah pusing dong. Kok malah ribut sendiri." Ilona menengahi. "Bapakmu itu yang mulai duluan," sanggah Yurike tidak terima. "Bapak kan hanya ngasi saran." Gunawan mulai menyalakan putung rokoknya. "Tapi saran kamu itu, pak-" "Sudah, sudah." Agha memutus perdebatan kedua orang tuanya. "Mama kenapa sih kekeh banget melarang Agha menjemput Fara? Lagi pula kan dia orang pertama yang membuat keluarga kita berkecukupan. Kalau bukan karena Fara, tidak mungkin Agha bisa kerja ditempat enak," tambah pria itu dengan sadar. Namun pengorbanan Fara agaknya tetap saja membuat sisi lain kelelakiannya meronta sebab tak kunjung memiliki keturunan. Yurike terdiam. Dia enggan mengakui jika kesuksesan yang diraih putranya selama ini atas campur tangan Fara. Sejak dulu dia tidak pernah setuju Agha menikah dengan Fara. "Kenapa diam saja? jawab, Ma," tambah Agha menunggu sang ibu membuka mulut. "Mama hanya tidak suka dengan wanita yang sok bijak macam istrimu itu, dia terus mencampuri urusan Mama, dikit-dikit membatasi Mama, tidak boleh ini itu," elak Yurike membela diri. Padahal selama ini Fara selalu menutup mata dari apapun yang ada di rumahnya. Dia tidak pernah mau tahu kecuali mereka meminta tolong padanya. "Baiklah kalau begitu, Agha akan bicara pada Fara supaya dia memberi Mama kebebasan melakukan apapun," balas Agha membuat bibir Yurike terangkat. Ini bisa dia jadikan senjata untuk melawan Fara nantinya. "Ya terserah kamu saja," sahut Yurike datar. "Agha pergi dulu," pamit pria itu dengan segera. "Loh kok buru-buru amat. Mau kemana?makanan kamu belum habis," tahan Yurike. "Agha mau jemput Fara sebelum terlambat. Agha tidak mau Fara sampai melayangkan gugatan cerai," balasnya mantap. Kemudian berlalu meninggalkan keluarganya yang masih duduk di meja makan. Ilona dan Yurike hanya saling pandang melihat kepergian Agha yang tergesa-gesa. Mereka mencibir kesal karena ternyata Fara masih menjadi bayang-bayang dalam diri Agha. *** "Fara, kok kamu masih belum kembali pulang. Apa suami kamu nggak nyariin?" tanya Hanah yang mendapati Fara terduduk disampingnya sembari meletakkan kepalanya di ranjang. "Nggak, Bunda. Mas Agha sudah tahu kalau Fara pengen nginep di sini dulu selama beberapa hari," balas Fara menatap lekat wajah sang ibu yang kentara sekali dengan keriput di area dahi dan kelopak mata. Namun tidak mengurangi kecantikannya sedikitpun. "Ada apa, Nak? tidak biasanya kamu begini. Apa kamu ada masalah sama suamimu?" tanya Hanah dengan lembut. Hampir saja pertahanan Fara jebol. Tutur kata sang bunda mampu membuat hatinya hanyut. Fara menggeleng keras. "Nggak ada apa-apa, Bunda. Fara hanya rindu sama Bunda. Tolong biarkan Fara tinggal di sini selama beberapa hari, jangan paksa Fara untuk lekas pulang. Fara tahu apa yang harus Fara lakukan," pungkasnya. Mati-matian Fara membendung air matanya yang sudah berdesakan mencari celah untuk mengalir lepas. Akibat perkataan saudari ipar dan mertua yang membuat harapannya semakin kandas. Ingin rasanya mendengar dari mulut Agha jika suami yang dia cintai hanya khilaf dan tidak akan menorehkan luka. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Lelaki itu telah berani menyakiti raga. Maka, Fara tidak punya pilihan selain menyerah dan menanggalkan rasa cinta. "Baiklah jika itu mau kamu, tapi kalau kamu sudah merasa lebih baik, sebaiknya kamu cepat pulang ke rumah suamimu," ujar Hanah mengingatkan. "Tempat terbaik bagi seorang wanita itu ada disamping suaminya, Nak. Apapun yang terjadi," imbuhnya dengan mengelus kepala Fara dengan lembut. Andai saja sang bunda tahu jika putri kesayangannya tersakiti, masihkah dia bisa tersenyum penuh arti. "Baik, Bunda," jawab Fara tak mau membantah. Nanti dia bisa mencari alasan lain jika bundanya menagih janji. "Ibadah terlama di dunia itu adalah rumah tangga, Fara. Ujiannya pun tak main-main. Kamu akan naik tingkat tiap kali mampu melewati jalan terjal di depan kamu," urai Hanah memberi perumpamaan. "Iya, Bunda. Fara ingat, Ayah juga pernah bilang begitu. Fara rindu sekali dengan Ayah," lirih Fara. Perlahan air matanya lolos dari pertahanan. Dinding yang dia bangun dengan kokoh telah runtuh oleh penyesalan. "Menangislah, Nak. Jika itu bisa membuat hatimu lega. Menangis bukan berarti lemah. Hanya melepas rasa sakit yang kamu pendam setelah itu kamu akan kembali tegar," ucap Hanah seolah mengerti perasaan Fara yang sedang rapuh. Fara terisak pelan. Membiarkan rasa kecewa, pedih, dan kesal terhempas bersamaan dengan luruhnya air mata. "Ayahmu akan selalu bangga padamu, Nak. Ayahmu selalu mengawasi mu dari atas sana, jangan lupa untuk selalu kirim Fatihah untuknya," tambah Hanah kembali membuat Fara gundah. "Iya, Bunda. Doa untuk Ayah tidak pernah terputus," jawab Fara tersenyum sendu. "Sebenarnya Fara ingin tinggal di sini karena-" "Assalamualaikum." suara pria yang sangat familiar terdengar di telinga mereka. Buk Sumi sedang merawat kebun belakang. Agaknya lupa untuk menutup pintu depan. Belum sempat Fara menyelesaikan kalimatnya. Sang bunda sudah memberi perintah untuk melihat siapa yang datang. "Lihat dulu sana siapa yang datang," titah Hanah. Padahal niat hati, Fara ingin mengatakan yang sebenarnya pada Hanah jika dia gagal menjaga keutuhan mahligai rumah tangganya. "Baik, Bunda." Fara pun berlalu dan berapa terkejutnya mendapati sang suami sudah berdiri di ambang pintu ruang tamu. Dengan membawa beberapa buah tangan dan tersenyum lebar seolah beberapa jam yang lalu tidak terjadi apapun. "Fara, Mas datang," ucap Agha riang tanpa rasa bersalah. Fara berjalan mendekat dan mengecilkan suaranya supaya tidak dapat didengar Hanah. "Ngapain Mas ke sini? tidak ada yang mengundangmu kemari."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN