"Fara!" serunya tidak percaya. "Mas ke sini untuk kamu, kenapa ucapan kamu jadi kasar begitu?"
"Sudahlah, Mas. Tidak usah pura-pura baik. Fara tidak akan tertipu," balasnya dengan wajah kesal.
"Fara," panggil Agha dengan lembut.
"Mas lupa beberapa jam yang lalu sudah menamparku dengan sengaja. Mas lupa sudah berbuat kasar padaku dan sekarang datang kemari seolah tidak ada apa-apa? jangan menghayal, Mas. Aku tidak akan mau pulang bersamamu," lanjut Fara penuh penekanan.
"Maafkan Mas, Fara. Mas khilaf. Mas janji tidak akan berbuat kasar lagi padamu. Tadi aku hanya-"
"Hanya melakukan apa yang ada dalam pikiran kamu, kan Mas? seperti saat kamu main belakang dengan Nesa, kamu juga hanya menuruti nafsu dibanding akal, " potong Fara dengan cepat, tak memberi kesempatan Agha untuk bicara.
"Jangan bilang begitu, Fara. Mas mohon jangan memperlakukan aku seperti ini. Kamu boleh marah dan meminta apapun, tapi aku berani bersumpah kalau kamu satu-satunya yang Mas utamakan," balas Agha kembali dengan akal bulusnya.
"Aku tidak percaya!" sahut Fara dengan santai. "Janji pernikahan saja Mas ingkari, pakai berani bersumpah segala," cibir Fara dengan senyum mengejek. "Sudahlah, Mas. Jangan memaksaku, aku capek. Lebih baik Mas pulang saja. Tidak ada gunanya datang kemari."
Refleks Agha bersimpuh dihadapan kaki Fara sebab putus asa dengan penolakan yang tidak pernah Fara lakukan sebelumnya. Dia adalah istri yang sangat patuh dan mengikuti apapun kemauan suaminya.
"Aku rela melakukan apapun Fara asalkan kamu mau pulang bersamaku," lanjut Agha berujar.
"Tapi aku tidak ingin kamu melakukan apapun, aku hanya ingin kita berpisah secepatnya," sanggah Fara sudah tak ada lagi kata damai.
"Fara-"
"Non," panggil bik Sumi menyela.
Agha segera bangkit berdiri dan merapikan bajunya. Dia kembali memasang tampang sangar. Enggan sekali terlihat di depan orang lain jika dia memohon pada wanita.
"Ya, Bik," jawab Fara kembali melunak.
"Non Fara dan Den Agha dipanggil bunda."
Fara mengangguk dan menyuruh bik Sumi kembali melakukan pekerjaannya. Mungkin sang ibu penasaran kenapa lama sekali. Agha tersenyum canggung. Dia senang sekali perdebatannya dengan Fara terjeda karena sang mertua memanggilnya.
Agha memanfaatkan kesempatan ini untuk menggandeng tangan Fara, namun segera ditepis oleh istrinya itu. "Lepaskan."
"Apa kamu mau Bunda berpikiran macam-macam pada kita? bunda, kan sedang sakit, Fara. Kita harus menjaga perasaannya." Agha si paling pandai beralasan.
"Jangan jadikan bunda kambing hitam agar aku memaafkanmu," timpal Fara dengan ketus.
Agha menggeleng pasrah dan hanya mengekor dibelakang Fara berharap masih ada kesempatan baginya untuk memperbaiki hubungan mereka.
Sesampainya di kamar Hanah, paruh baya itu tersenyum menyambut kedatangan Agha. Wajah Fara masih tampak masam. Membuat Hanah menyadari ada yang tidak beres di antara mereka berdua.
"Nak Agha? Ada apa dengan kalian berdua?" tanya Hanah pelan.
"Tidak ada apa-apa, Bun. Akhir-akhir ini Fara selalu merindukan Bunda. Jadi saya mengizinkan dia untuk menginap beberapa hari di sini," balas Agha sembari melingkarkan tangannya di bahu sang istri. "Iya, kan Sayang," lanjutnya.
Fara tersenyum tipis dan mengangguk. "Benar, Bun. Fara hanya rindu sama Bunda. Fara ingin lebih lama tinggal di sini," jawabnya mengikuti ucapan Agha.
"Ya sudah kalau memang tidak ada apa-apa. Bunda lega dengarnya. Namanya rumah tangga itu tidak pernah luput dari ujian, kalian harus kuat," tutur Hanah menatap Fara dan Agha secara bergantian.
"Insyaallah, Bunda. Kami akan tetap bersama apapun yang terjadi," sahut Agha dengan cepat. Seketika ekspresi wajah Fara berubah datar. Mudah sekali dia berucap setelah bertindak gegabah.
"Bunda percaya Nak Agha adalah imam yang baik untuk Fara yang bisa membimbing Fara menjadi wanita Sholihah," balas Hanah dengan senyum merekah.
"Tentu, Bun. Agha tidak akan mengecewakan Bunda."
Hanah mengangguk dan melempar pandang ke arah Fara yang sedari tadi cuma diam dan menjawab seperlunya.
"Fara…"
"Ya, Bunda."
Fara lekas menggenggam telapak tangan sang ibu dan mengecupnya dengan lembut. Sebenarnya dia sangat muak dengan sandiwara suaminya.
"Berjanjilah satu hal pada Bunda," ungkap Hanah membuat Fara tertegun.
"Berjanji untuk apa, Bun?" tanya Fara penasaran.
"Jagalah pernikahanmu apapun yang terjadi. Bunda ingin kamu bertahan sebisa mungkin, karena ikrar suci dihadapan Tuhan itu harus dipertanggungjawabkan, Nak." dengan suara lirih Hanah membuat Fara semakin dilema. Sang ibu tidak tahu pria macam apa Agha, tapi Fara juga tidak ingin mengecewakan orang tuanya.
"Begitu juga dengan kamu, Nak Agha. Jangan biarkan siapapun merusak pernikahan kalian. Bunda yakin kalian saling mencintai satu sama lain," imbuh Hanah meraih telapak tangan Agha dan menyatukannya dengan telapak tangan Fara.
Keuntungan yang sangat besar bagi Agha. Bak gayung bersambut, dia dengan semangat dan wajah berbinar menanggapi perkataan Hanah.
"Tentu saja, Bunda. Agha berjanji tidak akan ada yang bisa memisahkan kami berdua. Bukan begitu, Fara?" sela pria itu dengan senyum penuh arti.
Fara hanya mengangguk dengan enggan. "Ya, Mas." setelah itu dia segera menarik telapak tangannya menjauh dari Agha.
"Fara, kamu akan berjanji, kan?Bunda ingin kalian menjadi jodoh dunia akhirat. Bunda mau kamu turuti permintaan Bunda," ulang Hanah memastikan.
Lidah Fara terasa kelu. Bagaimana tidak? Dia harus menjaga mahligai pernikahannya dengan pria yang jelas-jelas hanya memikirkan diri sendiri.
"Baiklah, Bunda. Akan Fara usahakan."
Mendengar pernyataan Fara betapa girang perasaan Agha. Walaupun setidaknya istrinya itu terpaksa mengucapkannya namun bisa menguntungkan dirinya.
Hanah kembali tersenyum lega. "Terima kasih, Fara. Kamu telah membuat Bunda dan almarhum ayahmu bangga."
Fara tidak menanggapi penuturan Hanah. Dia hanya berusaha mengalihkan pembicaraan. Dongkol sekali berdekatan dengan pria buaya macam Agha.
"Ya sudah kalau begitu Bunda istirahat dulu ya. Dokter bilang Bunda tidak boleh terlalu lelah." Fara mengingatkan dengan lembut. Setelah itu menarik selimut hingga ke d**a Hanah.
Paruh baya itu menurut saja dengan perkataan Fara. Sesudah itu mereka berdua pun berjalan berdampingan keluar dari kamar sang ibu.
"Fara, kamu dengar, kan. Apa kata Bunda tadi?" ujar Agha saat mereka telah berada di ruang tamu, jauh dari kamar Hanah.
Fara hanya berdecak pelan tak menanggapi. Dia sibuk menata bunga yang baru ia petik dalam vas.
"Jadi kita tidak akan bercerai sampai kapan pun. Mas janji Fara akan memperbaiki kesalahan dan tidak akan pernah membuatmu kecewa," ucap Agha.
Janji yang tercetus seperti angin lalu. Masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Fara tidak bisa mempercayainya. Dia pun menggeleng keras.
"Tidak, Mas. Bagaimanapun aku akan mencari cara untuk menyampaikannya pada Bunda. Percuma saja diteruskan, hubungan kita sudah tidak sehat," tandas Fara lagi-lagi membuat Agha mencebik kesal.
"Ayolah, Fara. Jangan begini." Pria itu tampak putus asa dengan istrinya yang keras kepala.
"Semua sudah jelas, Mas. Tidak perlu sok baik di depanku. Sekarang pergilah, aku tidak mau tersulut emosi jika kamu terus-menerus menggangguku,"
"Tapi, kan, Fara-"
"Kamu tidak dengar dia sudah mengusirmu, Mas. Tidak perlu bertahan dengan wanita yang bahkan tidak bisa menghargaimu," potong sebuah suara yang saat ini sudah berdiri di ambang pintu dengan tangan terlipat ke dalam d**a. Sontak Fara dan Agha menoleh secara bersamaan.
"Nesa?" gumam Fara terkejut. "Kenapa dia sampai kemari?"
"Nes, kenapa kamu kemari?" tanya Agha segera bangkit dengan wajah masam. Karena kalau sudah begini, keributan tak dapat dielakkan lagi.
"Kamu yang ngapain pakai ke sini terus. Kamu itu gampang banget dibodohi sama istrimu, Mas," urai Nesa geram.
"Nesa!" seru Agha cepat. "Jaga mulut kamu."