Bab 9. Apa Kita Berjodoh?

1232 Kata
Fara mengucap istighfar berkali-kali. Dia sendiri juga tak luput dari dosa. Namun perkataan adik ipar dan ibu mertuanya sungguh tak punya nurani. Dia lupa jika kenyamanan yang mereka peroleh berawal dari campur tangannya. Saat pertama kali menikah dengan Agha, mereka datang dari desa terpencil yang jauh dari keramaian. Bahkan mereka tidak pernah sekalipun jalan-jalan ke mall atau sekedar menikmati makanan lezat. Karena dulunya Agha hidup dalam keprihatinan. Beruntung Fara memiliki kenalan baik seorang direktur di salah satu hotel ternama. Dia pun meminta tolong agar mempertimbangkan suaminya untuk bisa menjadi karyawan tetap. Hingga akhirnya Agha bisa bekerja di sana. Sekarang dia sudah menduduki posisi manager. Namun sepertinya nafsu telah menguasai batin dan pikiran Agha sampai dia terlena dengan jabatan yang dia pegang. Ting. Notifikasi pesan masuk terdengar di gawai Fara. Dia menepi sejenak dan membukanya. Panjang umur, Raka-Direktur hotel di mana suaminya bekerja mengirim beberapa rekaman disertai caption menohok. Raka : Fara, anak buahku tidak sengaja mengecek CCTV di basement saat jam istirahat, ini suamimu bukan? Apa dia bersama saudaranya? Kurasa tidak perlu sembunyi-sembunyi jika ingin bertemu dengan tamu. Aku hanya ingin mengingatkanmu saja. Kamu wanita baik. Fara menghela napas panjang. Tertera tanggal di bawah rekaman sudah satu Minggu yang lalu, tapi Fara menghargai niat baik Raka yang mau repot-repot memberi tahunya. Rasanya jantung Fara sudah kebal dentuman. Jelas sekali wanita itu adalah Nesa. Yang sembunyi-sembunyi mengirim bekal pada suaminya dan Agha menyambutnya dengan tangan terbuka. Bahkan mereka bisa dikatakan sangat intim sekali. Fara : Terima kasih, Raka. Aku akan menegurnya nanti. Maaf jika suamiku bersikap kurang sopan. Selesai membalas pesan Raka, Fara kembali meletakkan ponselnya. Dengan pikiran campur aduk dia melajukan mobilnya menuju apotek. Ada obat yang harus dia beli di apotek untuk sang bunda. Obat yang selalu diresepkan dokter untuk mengurangi insomnia yang dideritanya setiap malam menjelang. Fara memberhentikan mobilnya di pelataran parkir yang luas. Berjalan sembari menunduk, dia merogoh tas selempang yang dia kenakan. Karena buru-buru, Fara tidak melihat ada seorang pria tinggi yang berbalik arah dan berjalan dengan cepat. Sontak kepala Fara membentur d**a bidang pria itu. "Aduh." Fara terhuyung ke belakang. "Maaf, saya sedang-" Fara tidak melanjutkan perkataannya begitu mendongakkan kepala. Pria itu tersenyum tipis dan menatap Fara dengan seksama. Tatapan yang begitu menakutkan baginya. Fara ingat orang ini. "Kita bertemu lagi." suara bariton pria itu terdengar seperti petaka. "Maaf saya tidak sengaja," lanjut Fara dengan cepat. "Saya permisi." dia menganggukkan kepala dan mengambil langkah menyamping demi menghindari pria itu. Felix mengikuti langkah kaki Fara, seolah menutup akses jalan untuknya. Dia ingin sekali menahannya dan menatapnya lamat-lamat. Kenapa gadis berkerudung ini selalu menghindari tatapannya. Felix yakin kebanyakan wanita yang berhijab tidak akan mau disentuh sembarangan. "Anda bisa minggir dulu, saya mau menebus resep untuk ibu saya," pinta Fara dengan sopan. "Boleh, setelah aku tahu siapa namamu," lanjut Felix merentangkan satu tangannya. Fara diam tak bergeming. Pria gila yang tempo hari bertemu dengannya ini benar-benar menyusahkan. "Saya tidak ada urusan dengan anda. Jadi tolong beri saya jalan," ucapnya dengan tegas. "Kalau aku ingin berurusan denganmu bagaimana?" lanjut Felix berjalan maju memangkas jarak. Fara segera mundur perlahan. Tak mau terlalu dekat dengan lelaki yang bahkan dia tidak kenal. "Maaf sekali lagi, tapi kita tidak saling mengenal," balas Fara risih. Dia segera berbalik dan kembali masuk ke dalam mobil tanpa menghiraukan bagaimana ekspresi Felix saat ditinggalkan begitu saja. Pria itu tampak berdecak kesal. "Beraninya kau menolakku, lihat saja, kau akan bertemu denganku setiap hari, tidak ada yang boleh menolak seorang Felix." Pria itu tidak terima jika seorang wanita justru menghindarinya di saat yang lain berlomba-lomba mencuri perhatiannya. Felix tidak menyangka apa yang membuat wanita itu kabur saat bertemu dengannya. Dia pun masuk ke dalam mobil dan menginjak pedal gas dengan santai. "Orang bilang, jika bertemu lebih dari sekali tandanya jodoh. Kita lihat apakah kita berjodoh bertemu lagi, cantik," lanjut Felix bermonolog sembari menyetir. *** "Bisa-bisanya sih aku ketemu lagi sama orang aneh itu." Fara mengomel sendiri ketika dia sudah sampai di rumah. Fara mengompres pipinya dengan es untuk meredakan rasa panas yang masih terasa. Agha benar-benar menamparnya dengan kekuatan penuh, tapi bagaimanapun sakitnya tidak melebihi sakitnya dikhianati. Apes sekali dia harus berputar arah dan mencari apotek lain gara-gara pria asing yang ditemuinya tadi. Beruntung Fara mendapat resep obat yang sama. "Non, ada yang nyari tuh," ujar bik Sumi. "Siapa, Bik?" Fara tidak merasa membuat janji dengan siapapun. "Nggak tahu ya, Non. Katanya teman Non Fara," jawab bik Sumi sembari menahan senyum. "Kenapa senyum-senyum gitu, Bik?" Fara menatap art-nya heran. "Itu, tamunya Non Fara ganteng," tambahnya dengan malu-malu. "Astaga, Bibi!" Fara ikut terkekeh melihat tingkah bik Sumi. Seolah dia kembali muda. "Kirain ada apa, emang Bibi lagi puber kedua ya?" goda Fara. Buk Sumi pun menempelkan telunjuknya ke bibir."Ssst, Non jangan keras-keras. Bibi kan malu. Yah, walaupun udah tua gini kalau lihat yang bening-bening gitu kan mata jadi seger." Fara masih terkikik sampai dia tersadar tamunya masih menunggu di depan. "Udah ah, Bik. Fara mau lihat ke depan dulu." "Eh iya, Non. Bibi sampai lupa. Bibi buatin minum dulu ya, Non," pamit Sumi dibarengi anggukan Fara. Fara terkejut saat mendapati Raka sedang menunggunya dengan tenang di depan teras. Tampaknya dia juga menikmati suasana rumah Hanah yang rindang. "Raka?" sapa Fara dengan heran. "Kamu kok tahu aku ada di sini. Mau ngapain ke sini?" tanya Fara memberondong. "Nggak disuruh masuk dulu nih?" tanya Raka menggeleng pelan. Fara tetap saja seperti dulu. Dia cerewet dan periang. "Emm. Di sini aja ya, Ka. Nggak enak kalau di lihat orang berduaan dalam rumah, apalagi kita bukan muhrim," jelas Fara dengan halus. Raka mengangguk. Dia sangat mengenal Fara. Walaupun pergaulannya luas, dia juga humble dan mudah berbaur dengan siapapun, tapi Fara sangat menjaga jarak dengan lawan jenis. Hal itulah yang selalu membuat Raka terkesima padanya, hingga bersedia membantu suami Fara agar bekerja di hotel miliknya. "Iya tahu aku. Cuma bercanda, Ra," jawab Raka dengan senyum lebar. Fara pun duduk bersebrangan dengan Raka. Dia tidak tahu apa yang membuat lelaki ini datang mengunjunginya. Mereka dulu satu organisasi di kampus. Fara jurusan seni tari sedangkan Raka jurusan perhotelan. "Aku tadi iseng ke rumah kamu, tapi kulihat mobilmu tidak ada," ucap Raka membuka percakapan. "Terus kamu tanya nggak sama Mas Agha?" Fara tampak gelisah. Dia takut Agha berpikir yang tidak-tidak tentangnya. "Enggak, aku cuma lewat aja. Terus lihat Agha keluar dengan wanita yang pernah kulihat tempo hari di basement, apa dia itu-" Raka tidak mampu melanjutkan perkataannya. "Itu saudaranya Mas Agha," sahut Fara dengan cepat. Seburuk apapun sang suami, Fara tidak boleh mengumbar aibnya di depan orang lain. Raka pun kembali mengangguk. "Karena aku tidak melihatmu bersamanya, jadi kuputuskan untuk ke sini," lanjut Raka supaya Fara tidak canggung. Dia pernah sekali ke rumah Hanah, jadi tahu Fara akan ke mana saat suaminya berulah. Meskipun penjelasan Raka agak ganjil, namun Fara tidak mengindahkannya. Walaupun dia sebenarnya sangat penasaran dengan kelanjutan cerita dari Raka. "Bagaimana kabar Bunda?" tanya Raka mengalihkan pembicaraan. "Bunda kesehatannya menurun. Dokter menyarankan untuk dirawat, tapi bunda selalu menolak. Jadi dokter keluarga kami datang seminggu sekali untuk mengecek kondisi bunda." nampak raut kesedihan yang tercetak jelas. Raka sadar Fara mengemban tugas yang tidak mudah. Dibalik skandal perselingkuhan suaminya yang Raka tahu diam-diam dari anak buahnya. Dia harus merawat ibunya yang sakit keras. "Kalau kamu butuh apapun, jangan sungkan meminta tolong padaku, katakan saja. Aku pasti akan segera datang," ujar Raka memberanikan diri. Fara hanya tersenyum simpul dan mengangguk pelan. Dia pun melengos menatap jalanan, andai saja Agha sepeka Raka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN