Bab 8. Liciknya Mertua dan Ipar

1113 Kata
"Eeeh, Mbak Fara!" seru Ilona-adik kandung Agha, yang baru saja pulang kuliah. Mereka memang tinggal bersama dalam satu rumah. Bisa dibayangkan bagaimana rempongnya Fara setiap hari mengurusi kedua orang tua Agha, dan adik iparnya yang manja. Fara hanya mengangguk dan tersenyum malas ke arah Ilona. Dia tahu sang ipar baik dan menyapanya pasti ada maunya. Dia buru-buru masuk ke dalam mobil sebelum gadis itu menanyainya lebih lanjut. "Loh, Mbak. Tunggu!" pekiknya sembari menahan langkah Fara masuk mobil. Dia juga mencekal pintu mobil dengan tangannya. "Ada apa, Lon?" tanya Fara masih sabar. "Buru-buru amat mau ke mana sih?" tanya Ilona. "Mbak mau ke rumah Bunda, sudah ya?" balas Fara tersenyum tipis. "Eh tunggu, Mbak." Masih saja Ilona merecoki Fara. "Kenapa?" sahut Fara penasaran. "Mbak ada duit nggak? Pinjem dulu dong lima ratus ribu," ucapnya dengan cengengesan. Astaga. Fara kira ada apa ini bocah mencegahnya pergi. Ujung-ujungnya masalah duit lagi. "Kan Minggu lalu udah Mbak kasi," jelas Fara mengingatkan. "Yaelah Mbak cuma dua ratus doang mana cukup buat jajan," keluh Ilona. Dia memang sangat manja semenjak keuangan Agha membaik. Karena mereka dulunya orang susah. Apa yang Ilona mau tidak pernah terwujud, hingga saat ini dia selalu balas dendam dan memuaskan inner child-nya. "Kamu harus belajar hemat, Lona. Kan sebentar lagi juga waktunya kamu bayar SPP," lanjut Fara. "Mbak nggak asik ah, dikit-dikit hemat, jangan pelit lah sama adek sendiri, uang Mbak kan banyak," kekeh Ilona masih merengek. Padahal kurang loyal apa Fara selama ini padanya. Sampai-sampai dia sering kali menekan pengeluaran belanja bulanan demi menuruti kemauan Ilona. "Bukan begitu, Lon. Mbak hanya tidak mau kamu terus boros. Belajar nabung dikit-dikit. Kalau mau beli apa-apa, biasakan menabung terlebih dahulu," ujar Fara dengan halus. Niat hati ingin menyadarkan sang adik jika punya keinginan tidak bisa langsung terpenuhi. "Udahlah, Mbak. Nggak usah ceramah segala. Kalau nggak mau ngasi ngomong aja terus terang. Jangan sok bijak!" seru Ilona tanpa sadar telah menambah luka di hati Fara. "Astagfirullah, Lona. Mbak cuma nggak mau kamu terlena dengan keadaan sekarang. Kita nggak pernah tahu kapan roda kehidupan berputar," imbuh Fara mengelus d**a. "Halah nggak usah banyak alasan, Mbak. Gimana sih, mau sama kakaknya nggak mau sama adiknya," gerutu Ilona persis seperti ibu-ibu komplek gagal dapat undian arisan. Fara hanya menggeleng pasrah melihat respon adik iparnya, percuma saja menasehatinya, tidak akan ada hasilnya. "Ya sudah kalau kamu anggepnya begitu. Mbak pergi dulu," seloroh Fara tanpa memperdulikan lagi Ilona yang mengejeknya dari belakang. "Dasar pelit! Pantes Mas Agha cari yang lain," gumamnya masih dapat didengar oleh Fara. Deg. Kembali dia dibuat terkejut. Jadi selama ini ibu dan adiknya juga tahu jika Agha main serong dengan Nesa? Rupanya mereka sudah kong kalingkong untuk tutup mulut dan menyembunyikan kelakuan Agha dengan rapi. Pahitnya kenyataan melebihi empedu. Bebarengan dengan itu muncul Yurike dengan membawa banyak belanjaan di tangan kanan dan kirinya. Satu lagi manusia yang suka menghambur-hamburkan uang tanpa tahu rasanya kerja keras. "Ngapain kamu kembali ke sini lagi?" tanya Yurike sewot. Sedangkan Ilona kembali berkacak pinggang. "Ngambil barang-barang berharga dia kali, Ma," jawab Lona asal. Fara segera memasukkan suitcase yang dia bawa ke dalam mobil sebelum tangan-tangan rakus mereka merebutnya. "Saya hanya ambil baju-baju saja, Ma." Fara tersenyum simpul. "Jangan percaya, Ma. Bisa aja kan dia bohong. Coba deh periksa," sela Ilona mengompori. "Sinikan koper kamu tadi," titah Yurike ketus. "Maaf, Ma, tapi ini punya Fara. Dan perlu Mama tahu, saya tidak membawa apapun barang berharga yang ada di rumah ini. Saya masih mampu bekerja, jadi tidak akan bergantung nasib pada orang lain," ucap Fara dengan halus namun terdengar nyelekit di telinga Yurike. "Apa maksudmu bergantung? Kamu nyindir Mama, hah?" "Saya tidak bilang begitu. Mama sendiri yang menyimpulkan," jawab Fara dengan santai. Dia tidak akan diam kali ini. Sudah lama sekali Yurike semena-mena padanya dan Fara hanya menahannya dengan sabar. "Tuh kan, Ma. Dia sekarang makin berani sama orang tua. Langsung kita geledah aja koper miliknya." Lona semakin memanas-manasi. Dia maju selangkah dan hendak membuka pintu mobil Fara namun dicegah olehnya. Fara meremas pergelangan tangan Ilona. "Cukup, Lona. Jangan bersikap semaumu. Jangan sentuh barang yang bukan milikmu!" suara Fara mendominasi. Tatapannya tajam menusuk. "Apa kamu tidak berkaca? Kamulah yang tidak pernah menghormati orang yang lebih tua darimu. Jangan melempar batu sembunyi tangan. Hanya karena Mbak tidak memberimu uang, kamu dendam dan ingin menyudutkan Mbak? Aku diam selama ini karena menghargai kalian keluarga Mas Agha, tapi jangan coba-coba melewati batas kalian." "Lepaskan!" seru Yurike seketika membantu menarik lengan Ilona dan mundur teratur. Fara melepasnya dengan senyum kemenangan. Rupanya mereka hanya suka menggertak, giliran digertak balik langsung ciut nyalinya. Yurike tidak menyangka Fara begitu berani menentangnya sekarang. Padahal dulu dia tipikal wanita yang sendiko dawuh, nurut saja apa yang dikatakan olehnya. "Aduh, Ma. Sakit," rengek Ilona pura-pura. Berharap sang Mama membelanya. Dia sendiri juga terkejut melihat pembelaan Fara. Dia biasanya selalu lembut dan mengalah. "Awas kamu ya sampai Lona kenapa-napa. Aku akan menuntutmu atas tindak kekerasan," ancam Yurike menuding Fara yang masih menatapnya kembali dengan tenang. Ancaman yang patut ditertawakan. Mungkin Yurike sudah kehabisan kata-kata untuk memojokkannya. "Lona tidak akan kenapa-napa, Ma. Mama saja yang terlalu memanjakannya. Sudah ya, Fara pergi dulu," ucap wanita itu kemudian segera masuk mobil dan menginjak pedal gas. Seperginya Fara, Yurike dan Ilona tidak terima dengan perlakuan wanita itu. Mereka segera masuk dan melaporkannya pada Agha. "Agha!" pekik Yurike tak sabar. "Apa sih, Ma," jawab Agha baru saja selesai mandi. "Mau ke mana si Fara itu?" tanya Yurike. Agha kembali memasang muka masam. "Kalau saja bukan karena Mama yang nyuruh ngajak Nesa jalan, pasti tidak akan begini jadinya. Fara berubah karena Agha ketahuan selingkuh." "Ini bukan salah kamu! Memang dasarnya si Fara itu emang ngeselin dari dulu, kamu aja yang nggak mau dengerin Mama. Udah lah mendingan cepet kamu ceraikan saja dia, toh kamu sudah punya segalanya, kan. Kamu juga punya Nesa yang sayang sama kamu. Dia lebih muda, lebih gesit dari pada istrimu yang mandul itu," omel Yurike panjang lebar. "Bener, Mas. Masak aku tadi hampir dipukul gara-gara minta uang buat jajan, keterlaluan banget kan? padahal aku mintanya baik-baik," tambah Lona justru memperparah keadaan. Mulutnya pandai sekali memutarbalikkan fakta. "Fara hampir memukulmu?" tanya Agha tak percaya. "Iya, kalau nggak percaya tanya aja Mama," lanjut Fara mengedipkan sebelah matanya pada Yurike. "Bener, Agha. Mama saksinya," jawab Yurike. "Ceraikan saja dia. Kayak nggak ada wanita cantik selain Fara aja." "Nanti lah, Ma. Agha pikir-pikir dulu," balas lelaki itu dengan pasrah. Ilona dan Yurike pun saling pandang dengan senyum tertahan. Rupanya mereka bersekongkol agar Fara lekas keluar dari rumah itu. "Kita harus terus pepet Mas Agha, Ma. Kalau bisa Mas Agha harus dapat bagian harta Gono gini yang besar dari Mbak Fara," bisik Lona pelan. "Kamu tenang aja, Lon. Itu urusan Mama." Yurike tersenyum lebar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN