Fara merasa senang bukan main. Lamaran yang dia kirim tidak perlu menunggu waktu lama sudah mendapat respon. Padahal perusahaan sebesar Gautama management sudah pasti sangat sibuk dan butuh berhari-hari untuk sekedar memilah lamaran pekerjaan yang masuk.
Akan tetapi Fara tidak membawa baju satu pun. Dia menepuk keningnya dengan frustasi, artinya dia harus kembali ke rumahnya untuk membawa baju ganti. Sayang sekali kalau harus membeli baju baru sedangkan miliknya masih banyak di kediamannya. Tidak ada pilihan lain, dia harus mengambilnya diam-diam. Agha pasti tengah sibuk dan tidak sedang di rumah.
Tanpa pikir panjang, Fara bergegas kembali ke rumah dengan membawa mobilnya. Benar saja rumah tampak sepi tak berpenghuni. Fara cepat-cepat masuk sebelum Agha kelihatan batang hidungnya.
Dia mengemas beberapa pakaian yang bagus dan baju ganti. Tak lupa Fara membawa barang-barang berharganya seperti perhiasan juga kartu kredit dan ATM miliknya sendiri. Enak betul Agha menikmati hasil kerja kerasnya dulu dengan wanita lain. Fara memasukkannya ke saku rahasia di balik rok plisket lebar yang ia kenakan.
"Fara."
Wanita itu tersentak kaget. Dia menoleh ke sumber suara. "Mas?" ucapnya dengan nada malas. Rupanya sang suami sudah ada di rumah sejak tadi. Mobilnya saja yang tidak ada.
"Kamu kembali, Sayang?" tanya Agha sumringah.
"Tidak. Aku hanya ingin mengambil baju-bajuku saja." Fara menutup suitcase miliknya dengan segera.
"Apa maksudmu?"
"Aku akan tinggal sementara di rumah bunda," jawab Fara.
"Tidak boleh!" larang Agha keras. "Bagaimana bisa kamu meninggalkan suamimu seorang diri dan melalaikan kewajibanmu untuk patuh padaku," lanjutnya.
Fara hanya tersenyum tipis. "Aku harus patuh pada seorang suami yang sudah zalim padaku?"
"Jaga ucapanmu, apa maksudmu berkata begitu. Sedikitpun aku tidak berniat zalim. Aku ingin menjelaskannya, tapi kamu terlanjur menilaiku sebelah mata," urai Agha dengan segudang alasan yang sudah basi.
"Karena kamu sudah ketahuan makanya ingin menjelaskannya padaku, qadarullah tuhan membuka aibmu di depan mataku, jadi kamu tidak bisa mengelak, kan?" balas Fara dengan santai.
Agha tampak menghela napas berat. Sebelum akhirnya dia mengakui kesalahannya. "Baiklah, aku tahu tindakanku salah, tapi aku melakukannya juga karenamu. Andai saja kamu bisa memberiku keturunan, pasti ibu tidak akan terus menerus mengomel tentang cucu," sanggah Agha membela diri.
"Apapun alasannya, selingkuh itu tidak dibenarkan, Mas. Kamu bisa bicara baik-baik jika ingin mengakhiri pernikahan kita," tepis Fara menyangkal.
"Kenapa kamu bicara seperti itu. Mas tidak pernah berniat sedikitpun untuk mengakhiri pernikahan kita, Fara!" suara Agha meninggi.
Fara tak bergeming mendengar penjelasan Agha. Dia masih saja mengemasi alat make up yang sekiranya diperlukan juga beberapa skincare yang dia pakai rutinitas sehari-hari.
Melihat perubahan sikap Fara yang acuh padanya, Agha menyadari jika sang istri benar-benar tersakiti atas perbuatannya. Dia kembali melunakkan suaranya.
"Fara, boleh Mas duduk di sampingmu?"
"Boleh, duduk saja. Ini kan rumah Mas," jawab Fara tetap dingin.
"Mas sangat mencintaimu, Fara. Tolong jangan begini. Jangan pergi, apa kamu nggak kasihan sama Mas?" rayu Agha berusaha meluluhkan hati Fara.
"Kalau Mas mencintaiku, Mas tidak akan selingkuh di belakangku," tandas Fara langsung.
"Sudahlah, Fara. Aku sudah minta maaf padamu. Jangan ungkit-ungkit lagi hal itu, lagi pula Mas juga sudah mengakui kesalahan," balas Agha sedikit kesal.
"Tidak ada wanita yang mau di selingkuhi, Mas. Jadi tidak perlu berpura-pura menyesal. Lebih baik sekarang kita urus berkas perceraian kita," lanjut Fara tak sabar ingin segera keluar. Dia sudah bangkit dari duduknya namun tertahan oleh tangan Agha. Pria itu berusaha memeluknya dengan lembut. Fara pun menolak halus tangan lelaki yang selama ini menjadi tempat ternyaman dia bersandar.
"Fara! Mas mohon, tetaplah tinggal di sini. Mas tidak bisa kehilanganmu," pinta Agha memelas.
"Sama saja. Aku juga tidak bisa menerima kelakuan Mas, aku tidak bisa memaafkan Mas dengan mudahnya, jadi kumohon jangan halangi aku pergi," tambah Fara mendorong bahu Agha menjauh. Seumur hidup dia tidak pernah mendapat penolakan dari Fara. Baru kali ini sang istri terang-terangan membencinya.
"Tapi Mas ingin memberimu nafkah batin. Aku masih berhak atas tubuhmu bukan?" desak Agha dengan tidak tahu malunya. Sangat menjijikkan. Wanita mana yang bisa menatap suaminya penuh cinta jika mahligai mereka telah ternodai.
"Maaf, Mas, tapi aku sudah tidak menginginkannya. Percuma saja Mas mengatakan apapun tidak akan mengubah niatku untuk pergi dari sini," lantang Fara bersikukuh.
"Fara!" Agha kembali berteriak. Sang istri bukan lagi wanita lemah lembut yang penurut. Kini dia sudah berubah menjadi pembangkang.
"Kenapa, Mas? Kamu tidak perlu berpura-pura baik padaku, bukankah Nesa bilang kamu sudah tidak mencintaiku lagi, jadi ucapan kamu mana yang bisa kupegang. Sekali berdusta, kamu akan mengulanginya lagi," tegas Fara tak takut.
Agha merebut suitcase yang dipegang Fara dengan paksa sehingga membuatnya hampir tersentak. "Kembalikan! Mas tidak akan pernah mengijinkanmu keluar dari sini." Agha menunjukkan kuasanya sebagai suami. Dia tidak mau harga dirinya kalah karena Fara semakin keras kepala.
Fara tak mau ribut besar. Dia menghela napas pelan. Lebih baik mengalah. Materi bisa dicari, dia akan pakai baju seadanya tidak masalah.
"Baiklah, ambil saja, Mas. Aku akan tetap pergi walaupun kamu menahan barang-barang milikku," ucapnya dengan tenang nyaris tak ada emosi sama sekali.
Fara melangkah melewati Agha yang masih melotot tak percaya, dia benar-benar angkat kaki dari rumahnya. Agha tidak bisa membiarkan hal ini terjadi.
"Berhenti!" titahnya lantang. "Berani kamu keluar dari rumah ini, sama saja dengan durhaka terhadapku," lanjut Agha mengancam.
Fara menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Agha dengan senyum tipis. "Bahkan aku tidak peduli dengan dosa yang telah menungguku, Mas. Lebih baik aku keluar dari pada makan hati hidup denganmu."
Plak
Tamparan keras mendarat di pipi mulus Fara. Seketika wanita itu meringis menahan sakit. Kulitnya yang putih kontras dengan pipinya yang memerah.
"Fara… maafkan, Mas. Mas nggak sengaja, sungguh," lanjut Agha segera membantu Fara kembali tegak. Dia menarik jemari istrinya yang bergetar. Dan mengelus bekas kemerahan akibat tamparannya. Pria itu tampak kalap sedetik karena emosi sebelum pada akhirnya sadar dia telah menyakiti Fara.
Baru kali ini Agha berani main kasar dengannya. Fara tidak menyangka suami yang penuh pengertian dan selalu bersikap baik padanya tega menamparnya.
"Singkirkan tanganmu dariku," tepis Fara dengan tatapan yang semakin dingin.
Tidak ada kehangatan sama sekali dalam perlakuan maupun ucapannya. Hati yang telah tergores sama rapuhnya dengan kaca yang telah pecah. Walaupun puing-puingnya bisa terkumpul tapi tidak akan bisa mengembalikannya seperti semula. Begitupun Fara, dia bukan lagi dirinya yang dulu.
"Fara, Mas mohon. Mas khilaf, Mas hanya tidak mau kehilangan kamu," ujar Agha memohon dengan suara lirih.
"Cukup, Mas!" potong Fara. "Jangan katakan apapun lagi atau aku akan berteriak jika kamu masih bersikeras menghalangiku," ancam Fara mulai menampakkan kemarahan.
Agha tertunduk lemas. Dia tidak mampu berkata apa-apa lagi. Putus asa membujuk Fara agar tidak pergi dari rumahnya. Ada ruang kosong dalam hatinya yang menganga lebar bebarengan dengan redupnya cinta Fara padanya.
Andai saja dia bisa memilih, tapi Agha tidak bisa melepas Nesa yang telah terlanjur mengandung buah hati mereka. Sedangkan Fara adalah wanita yang mampu membuatnya hidup kembali. Betapa egois.
"Pergilah, Fara. Tenangkan dirimu. Aku akan kembali menjemputmu saat kamu siap," batin Agha.