Bab 16. Kehidupan Yang Tak Adil

1076 Kata
Tak ada hal baik rasanya menghampiri hidup Ariel Danish dari semenjak ia masih kecil. Ayahnya adalah orang yang begitu berambisi dan sangat ingin berkuasa. Dari kecil Ariel sering mengalami kekerasan fisik yang membuatnya begitu terluka. Robby Danish sering mempermalukan dan menganggap Ariel bukanlah anak yang berharga. Ia diperlakukan tak ada bedanya seperti benda tak bernyawa tanpa perasaan. Sedangkan Ibunya, ia lebih senang bersama teman-teman arisannya daripada mengurus Ariel. Dulu saat-saat sekolah adalah masa paling menyakitkan baginya. Ariel yang memiliki tubuh tambun menjadi bahan ejekan dan bullyan teman-temannya. Hal itu berlangsung hingga masa-masa SMP. Ariel yang tak berani melawan hanya bisa jadi bulan-bulanan senior dan teman-teman sebayanya. Julukan si “bola” adalah kata bullyan pertama yang melekat pada benak Ariel sampai hari ini. Saat ia di dorong dan terjatuh di tangga, seorang siswa lainnya akhirnya ikut menolong. Ia dan seorang sahabatnya yang memapah Ariel ke ruangan kesehatan untuk memperoleh perawatan usai terluka. Dua orang siswa itu akhirnya menjadi bagian dari hidup Ariel selama bertahun-tahun. Mereka selalu bertiga, masuk lagi ke sekolah yang sama bahkan sempat berjanji tak kan berpisah. Persahabatan mereka mulai diuji ketika masa kuliah seorang gadis hadir di tengah-tengah ketiganya, Ariel Danish dan kedua sahabatnya, Median Purnomo dan Rexy Basupati. Sekarang Ariel bisa melihat tubuh atletisnya yang berkeringat di balik cermin gym pribadi yang ia miliki. Ia terengah sesaat ketika bayangan masa SMP itu terlintas di benak Ariel. Ia sedang melakukan pull up pada salah satu alat untuk melatih otot bahu dan pundak ketika bayangan Rexy, Median dan dirinya masih bisa bercanda dulunya. Sampai Rexy merusak semuanya dengan keegoisannya. “Udah jam 12, lo gak capek apa? Tengah malam begini olahraga,” tegur Median tiba-tiba masuk dan melempar sebuah handuk yang mendarat di wajah Ariel. Ariel mendengus dan tersenyum sambil memamerkan perut sixpacknya. “Ini bukan hal yang gampang didapat. Memangnya berapa tahun gue dibully cuma gara-gara gue gemuk. I have to maintain myself, dude!” balas Ariel sambil mengelap tubuhnya yang berkeringat. Median hanya berdecak sinis sambil menyengir. “Iya ... iya gue tau lo gym freak. Tapi olahraga jam segini cuma bakalan bikin lo gak bisa tidur, kecuali lo udah punya temen tidur.” Median berhenti sejenak lalu mengeryitkan keningnya. “Emangnya lo udah punya teman tidur ya?” Ariel tertawa saja dan duduk di sebelah Median yang duduk di salah satu sofa. “Ah, biasa. Palingan Jessica yang tidur sama gue,” sahut Ariel asal. “Sekretaris lo itu lagi?” Ariel hanya memajukan bibir bawahnya dan menaikkan bahunya asal. “Gak bosen apa lu sama dia? lagian ngapain sekretaris begitu masih lo pake aja. Lo kan bisa pake tenaga yang lebih profesional,” ujar Median dengan nada protes. “Setidaknya dia bisa gue manfaatin dan dia juga seksi.” Ariel tergelak sambil menyandarkan punggungnya di sofa. “Gue ilfill lama-lama liat dia. Semua cowok mau ditidurin!” Median sampai bergidik ngeri dan itu membuat Ariel makin tertawa. “Ngapain lo kemari? Tumben, gue pikir lo sibuk,” tanya Ariel sambil mengelap tekuknya yang basah. “Gue pengen lihat keadaan lo. Gue khawatir sama lo.” Ariel mendengus tersenyum mendengar perhatian Median yang tak berubah. “Gue baik-baik aja,” jawab Ariel asal. Median menoleh pada Ariel yang masih kemudian mengambil sebuah kaos bersih dan memakainya. “Lo yakin?” Ariel mengangguk. “Lo tau kalo Arsen mau nikah?” tanya Median lagi. Ariel terdiam lalu mengernyitkan keningnya. Ia tampak berpikir sejenak. “Memangnya apa urusannya sama gue kalo dia mau nikah.” Ariel seperti cuek dan pura-pura tidak mau tahu meski ia sudah bisa menebak siapa yang akan dinikahi oleh Median masih memandang Ariel karena ia tahu persis seperti apa kepribadian Ariel yang sangat berubah kini. “Ya, gue pikir lo mau tahu.” Giliran Ariel yang datar memperhatikan Median lalu ia menggeleng. “Gue gak perduli!” sahut Ariel lalu berdiri dan mengambil sebotol air mineral dan meminumnya sampai habis. Median lalu mengeluarkan sebuah undangan pernikahan Rexy untuk Ariel. “Sekretarisnya yang kasih, pernikahannya dipercepat jadi Sabtu ini,” ujar Median menyodorkan undangan itu. Air masih memenuhi rongga mulut Ariel ketika ia mengambil undangan itu dan sekilas membacanya. Ia lalu melempar begitu saja undangan tersebut ke atas meja. “Gue gak perduli! Bukan urusan gue, dia mau nikah sama siapa,” ujar Ariel dengan sikap dingin. Median mengangguk lalu berjalan ke arah pintu masuk. “Mau ke mana lo?” tanya Ariel melihat sahabatnya melengos pergi begitu saja. “Gue ngantuk, mau tidur. Hotel lo masih punya kamar kosong kan?” sahut Median setengah berteriak tapi masih terus berjalan. Ariel tidak mau menjawab dan hanya menggeleng saja. Ia menarik napas melihat sosok Median yang menghilang dari balik pintu. Mata Ariel kemudian kembali menatap undangan itu lagi. “Apa yang bisa gue manfaatin dari pesta pernikahan Rexy Basupati. Hhhmm ... sedikit kerusakan, No. ... pembatalan dan kerusuhan, haha,” gumam Ariel sambil tertawa kecil sendirian. *** Rexy berjalan cepat ke arah lift yang akan membawanya ke ruang kerja Baron Basupati. Wajahnya tampak kesal dan marah. Ia bahkan tidak bisa sarapan dengan tenang saat mendapatkan undangan pernikahannya sendiri yang tidak pernah ia cetak. “Pa!” Rexy memanggil dengan langkah tergesa. Suaranya lantang tanpa segan pada Baron yang duduk seperti raja sedang menandatangani beberapa dokumen. Ia cuek saja pada Rexy yang sedang mengatur napas di depan meja kerjanya. Setelah selesai barulah ia mengangkat dagunya dengan angkuh. Sikap Baron menurun dengan baik pada Rexy yang juga sama angkuhnya. “Kenapa Papa mengedarkan undangan pernikahanku tanpa sepengetahuan dan ijinku?” pungkas Rexy langsung menyasar tanpa basa-basi. Ia tampak tegang dan tidak mau mundur. Baron menyandarkan punggungnya tanpa melepaskan pandangan dari Rexy. Kedua tangannya saling berkaitan satu sama lain. “Kenapa memangnya? Kamu kan sudah setuju akan menikah dengan Fernita.” Baron menjawab dengan santainya. Rexy menggeleng tak percaya. Ia melemparkan undangan pernikahan tersebut di atas meja ayahnya. Rexy memang sudah kehilangan tata krama dan hormat pada Baron. “Aku gak pernah menyetujui hal itu.” “Kamu akan bertunangan dengan Fernita. Itu artinya kamu siap menikah sama dia ....” “Pa, ini sudah terlalu jauh. Kita gak pernah menyepakati semua ini!” Rexy mulai meninggikan suaranya. “Jangan pernah main-main dengan Papa, Rex. Kamu sudah berani melanggar perjanjian kita dengan kabur dari pesta pertunangan kamu. Dan sekarang kamu harus membayar konsekuensinya.” Rexy terengah dengan napas berat menatap Baron yang biasa saja menghadapi kegusaran serta penolakan dari anaknya itu. “Papa benar-benar egois.” Rexy menggeram dan Baron hanya membalas dengan seringai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN