Bab 5. Kejutan Tak Diinginkan

1602 Kata
Erni Jodie menyengir sinis lalu memasang kacamatanya lagi setelah mengancam mantan suaminya Feri Halim dan putrinya Melodi. “Aku gak suka mengulang-ulang kalimatku sendiri. Jadi jangan bertindak bodoh dan konyol!” Erni lalu berbalik dengan langkah arogan dan masuk kembali ke mobil mewahnya. Melodi tidak bisa berbuat apapun pada Ibunya. Ia masih belum mengerti mengapa, Erni begitu membenci ia dan Ayahnya. “Pa, kita akan tetap lapor polisi, kan?” tanya Melodi pada Ayahnya. Feri tampak berpikir lalu memandang wajah Melodi. Ia tertegun dan terlihat mulai ragu. “Pa?” Feri pun menggeleng kemudian. “Kita lupain aja masalah ini. Lebih baik kita gak usah ganggu mereka lagi,” ujar Feri dengan wajah sedih pada putrinya. “Tapi, Pa ....” “Mel, Papa gak mau kamu jadi korban ambisi Mama kamu. Udahlah, kita jangan ganggu mereka lagi.” Melodi terlihat sangat kecewa dengan keputusan Ayahnya. Tiba-tiba Aldi, tetangga mereka di kampung datang menghampiri di parkiran. “Akang Feri baik-baik aja? Gimana keadaannya?” tanya Aldi sedikit terengah. Feri tersenyum lalu merangkul Aldi. “Terima kasih kamu udah datang. Aduh, Akang jadi terus ngerepotin kamu, Aldi.” Aldi membalas tersenyum dan menggeleng. “Jangan dipikirin, Kang. Kita ini kan tetangga. Sudah seharusnya kita saling bantu. Tapi kenapa, Kang Feri bisa dipindah kemari?” tanya Aldi sambil berjalan memegang lengan Feri. “Akang juga bingung. Tapi kata perawat di rumah sakit, Akang dirujuk kemari. Gak tau kenapa,” jawab Feri. Sementara Melodi di sebelah Ayahnya hanya diam saja sambil menunduk mendengar pertanyaan dan kebingungan Ayahnya. “Apa lagi kamarnya juga bagus dan mewah. Rasanya gak mungkin rumah sakit ngasih fasilitas seperti itu gratis.” Feri lalu menoleh pada putrinya dan bertanya dengan pandangan matanya. “Melodi, gak tau apa-apa, Pa. Tiba-tiba, Mel dikasih tau sama pegawai rumah sakit kalo Papa dipindahin kemari,” ujar Melodi terpaksa berbohong. Ia tidak ingin Ayahnya khawatir. Feri hanya melepaskan napas panjang tanpa mau memaksa Melodi mengaku. Setelah kejadian itu, Feri dan Melodi pulang kembali ke kampung mereka di Bogor. Feri menjalani kehidupannya seperti sedia kala. Ia yang dulunya pengusaha terkenal kini telah menjadi seorang tukang kayu. Dulunya, ia memang memiliki hobi membuat ukiran kayu. Kini setelah jatuh miskin, Feri mengembangkan hobinya menjadi mata pencaharian satu-satunya. Selain itu, Melodi juga turut membantu Ayahnya untuk mencari nafkah. Sudah dua hari semenjak kejadian Melodi diselamatkan oleh Rexy dan tidur di hotel mewah, ia belum menghubungi pria itu lagi. Kali ini, Melodi duduk termenung sambil memegang kartu nama itu lagi. Tawaran Rexy memang sangat menggiurkan. Jika gadis lain pasti akan langsung mengiyakan untuk menjadi simpanan pengusaha tampan seperti Rexy. Tapi Melodi terlalu takut dan tidak punya pengalaman pacaran apapun. Wajahnya memang cantik tapi ia bisa dibilang gadis kuper. Melodi akhirnya memilih untuk mengurungkan niat menghubungi Rexy dan berharap tak perlu menjadi simpanan seseorang untuk bisa bertahan hidup. Pulang ke rumah, Melodi memasak seperti biasa. Namun tak ada satupun butir beras tersisa di dalam kendi. Perutnya sangat lapar saat ini tapi tak ada sedikit pun nasi yang bisa ia makan. Melodi menengok ke belakang dan terlihat Ayahnya terbatuk-batuk tak berhenti bekerja di samping rumah. Rasa kecewa dan sedih menyelimuti hati. Apa yang lebih buruk dari rasa lapar dan tak memiliki uang untuk membeli makanan? Melodi merogoh semua sisa tabungannya dan hanya terdapat beberapa ribu rupiah. Uang itu bahkan tidak cukup untuk membeli seliter beras. “Apa yang harus aku lakukan? Papa belum makan,” gumam Melodi pada dirinya. Ia lebih memikirkan Ayahnya yang juga melewatkan makan malam agar ia dapat makan. Pertolongan datang tak lama kemudian, Aldi tiba-tiba datang membawa beberapa buah singkong yang ia panen dari kebunnya. “Mel, sini!” panggil Aldi dari belakang dapur. Melodi pun menghampiri tetangganya yang baik hati itu. “Ini ada hasil kebun Kang Aldi. Gak banyak karena belum panen tapi udah ada yang bisa dinikmati,” ujar Aldi menyodorkan beberapa buah singkong pada Melodi. Melodi tersenyum dan mengangguk dengan haru. Jika tak ada Aldi, entah bagaimana mereka bisa bertahan di kampung ini. “Makasih banyak, Kang Aldi!” balas Melodi hampir menangis. Aldi tersenyum dan berbalik pulang kembali ke rumahnya yang terletak bersebelahan. Melodi buru-buru membersihkan singkong tersebut dan merebusnya. Setidaknya tanaman itu bisa menjadi menu makan siang dan malam bagi ia dan Ayahnya. Malam harinya, Melodi mengerjakan tugasnya di dalam kamarnya yang sangat sederhana. Terdengar suara batuk Ayahnya yang makin lama makin parah. Dengan wajah sedih Melodi hanya bisa mengintip tanpa bisa berbuat apapun. Ia membuka laci dan mengambil lagi kartu nama pemberian Rexy. Melodi memejamkan mata dan menundukkan kepala. Haruskah ia menyerah, demi uang? Hatinya berontak tapi logikanya bicara. Ingatannya pada Ibunya, Erni kembali. Jika ia bisa mengancam Ibunya itu agar ia memberikan hak warisan Melodi, mungkin itu bisa jadi jalan kedua agar ia bisa bertahan. Melodi bisa melaporkan Erni ke Polisi atas ancaman yang ia berikan. Jika ia berbalik mengancam, apakah Erni akan memakan umpannya? “Aku gak mau jadi simpanan pengusaha kaya. Aku akan cari cara lain. Sabar ya, Pa. Mel tau caranya.” Melodi sudah bertekad dan nekad akan melakukan rencananya. Keesokan harinya, Melodi tidak langsung pulang ke rumahnya. Ia datang ke vila milik Alexander Jodie sekali lagi. Tak seperti sebelumnya, kali ini satpam di depan itu tak lagi menghalanginya. Ia bahkan menyuruh Melodi untuk masuk. “Kamu ditunggu Nyonya di dalam!” ujarnya singkat. “Ada apa?” tanya Melodi pada satpam itu. Ia hanya menggeleng dan menutup pintu gerbang. Melodi pun berjalan masuk ke dalam vila dengan rencana dan tekad yang sama. Ia harus mendapatkan hak warisannya atau ia akan membuat Erni masuk penjara. Begitu Melodi masuk, hal yang aneh malah terjadi. Ibunya Erni langsung bersikap ramah dan super baik. “Oh, anak Mama udah datang. Sini sayang, masuk dulu. Kamu udah makan?” Erni bersikap 100 persen palsu pada putrinya itu. Melodi yang mengernyitkan kening lalu melepaskan dirinya perlahan dari rangkulan sang Ibu. “Kenapa Mama bersikap seperti ini? Bukannya kemarin Mama malah maki-maki Mel dan Papa!” hardik Melodi pada Ibunya. Erni langsung mengangkat alis, ia sudah tahu jika Melodi memang pemberobtak tapi tak menyangka ia akan seberani itu. “Lho, kamu kan anak Mama. Kalo sesekali Mama marah sama kamu, itu biasalah. Namanya juga orang tua.” “Orang tua macam apa yang membiarkan anaknya kelaparan!” balas Melodi ketus. Tiba-tiba Fernita yang juga berada di ruang tamu pun ikut menyahut. “Heh, jangan kurang ajar kamu. Dasar anak durhaka, berani benar kamu marahin Mama kayak gitu!” “Huh, gak salah kamu! Bukannya kamu yang kurang ajar sama Papa!” sahut Melodi tak mau kalah. “Sudah-sudah cukup!” Erni melerai perdebatan kedua anaknya. Matanya lalu beralih pada Melodi yang masih memakai seragam sekolahnya. “Mama mau bicara sama kamu, duduk!” perintah Erni lalu berbalik dan duduk di sofanya. Melodi pun berjalan ke arah sofa dan ikut duduk. Nita membuang muka tak mau melihat adiknya itu sama sekali. “Mel, kamu kan udah besar. Dan sebentar lagi kamu akan lulus, jadi Mama pikir udah saatnya buat kamu menikah,” ujar Erni tanpa basa basi. Melodi langsung mengernyitkan kening. “Apa maksud Mama?” “Mama udah terima lamaran seorang pengusaha kayu di dekat sini. Ya lumayanlah, gak tua-tua amat. Umurnya sekarang mungkin hampir 60 tahunan dan dia ingin cari istri ke empat. Jadi Mama pikir itu jodoh yang pas buat kamu,” sambung Erni dengan santainya. Melodi sampai terperangah mendengar perkataan Ibunya. “Apa!?” “Dia bahkan udah ngasih uang untuk melamar kamu, ini uangnya 20 juta.” Melodi mengepalkan tangannya dan rahangnya pun mengeras. Bagaimana bisa seorang Ibu menjual anak perempuannya untuk pria tua demi uang 20 juta? “Kenapa Mama malah ngejual Melodi sama pria tua untuk jadi istri ke empat?” “Mama gak jual kamu. Mama hanya gak mau hidup kamu susah. Kalau kamu menikah setidaknya hidup kamu akan dijamin oleh suami kamu sendiri. Jadi kamu gak miskin lagi kayak Papa kamu.” Melodi bangun dari sofa dengan wajah marah. Sekarang ia benar-benar sudah kehilangan hormat pada wanita yang ia panggil Ibu itu. “Daripada Mama capek-capek nyari suami buat Melodi, kenapa gak Nita aja yang nikah sama laki-laki itu. Biar hidupnya terjamin!” sembur Melodi mengejek. Fernita yang tersinggung berdiri dan menunjuk wajah Melodi. “Dasar cewek jelek. Kamu pikir kamu siapa, hah!” teriak Fernita kesal. Erni yang mendengar perkataan Melodi juga ikut berdiri dan marah. “Kamu jangan kurang ajar ya, Mel! Mama udah berbaik hati mau nyari suami biar kamu gak hidup melarat. Kamu malah ngomong kayak gitu ke Kakak kamu!” “Melodi, gak pernah minta Mama atau siapapun untuk nyari suami. Mel gak mau dijual sama Mama. Mel bukan barang!” teriak Melodi marah. Bukannya mereda, Erni malah datang dan menampar Melodi. “Dasar anak kurang ajar kamu!” Erni makin hendak menyerang Melodi tapi ia berhasil mengelak. Melodi mencoba lari tapi Fernita dengan cepat menjambak rambutnya. “Mau kemana kamu, heh!” “Lepasin!” Fernita mendorong Melodi hingga terjerembab di sudut meja. Sikunya terkena ujung kaca meja dan berdarah. “Sini kamu!” tarik Erni pada Melodi dan makin memukulnya. Tiba-tiba terdengar suara pria menghardik. “Heh, apa-apaan ini!” hardik Rexy yang masuk dan terkejut melihat kekasih dan ibunya memukul seorang gadis. Erni pun melepaskan pegangannya pada Melodi. “Ehm, Rexy. Kok kamu disini?” tanya Erni gelagapan. Fernita yang sudah kadung malu lalu menghampiri Rexy dan mulai menggelayut manja. Melodi meringis kesakitan dan terengah melepaskan diri. “Sayang, ini gak seperti yang kamu pikirin!” rayu Fernita agar Rexy tidak marah melihat tindakannya yang bar-bar. “Sayang? Kok?” Melodi sedikit terkesiap saat mendengar panggilan akrab Fernita untuk Rexy. Ia terengah menoleh pada Rexy yang juga melihatnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN