5 - Mari Menjelajah

1919 Kata
Anindira. Setelah semingguan mendekam dalam kamar,memundurkan jadwal bertemu dengan Mba Jena. Akhirnya bisa melihat awan pagi yang begitu cerah ditemani segelas kopinya. Bukan tidak ingin keluar,tapi deadline itu yang menyebalkan. “Nin,ada beberapa short story kamu,kan ada 5 bab kan ya? Nah ada 3 bab yang membutuhkan revisi abis-abisan agar tetap sesuai dengan apa kamu inginkan.” “Mba tau aku engga suka revisi kan?” “Nin,kamu itu penulis. Semua penulis benci yang Namanya revisi karena sama saja mereka mengulang dari awal dan mengingat alur yang harusnya dilupakan. Tapi revisi itu penting Nin,kamu mau bagaimana juga tetap ada revisi. Kerjaan lain aja ada revisinya.” “Bab berapa aja Mba?” “Semuanya,” “Mba Jena!” “Kamu harus baca ulang dan liat sendiri bagaimana berantakannya. Itu cerita kamu dua tahunan yang lalu. Pokoknya Mba sangat berharap kamu ganti nanti.” Baiklah,lupakan tentang perckapan tak penting itu seminggu yang lalu. Sekarang waktunya aku mengistirahatkan khayalanku dan menjemput refreshing yang sejak dulu-dulu sekali ku nantikan. Jangan kalian pikir penulis tidak membutuhkan yang Namanya liburan,penulis masih juga manusia yang bisa bisa merasakan bosan,Lelah,capek dan memuakkan diwaktu yang sama hingga akhirnya setres berkepanjangan. Apakah Alga menghubungiku selama seminggu? Tentu saja,dia adalah alarmku selama seminggu ini. Nin,tadi aku beliin kamu makanan cuman nyimpennya di pintu depan. Hari ini aku engga bisa temenin kamu karena ada hal mendadak. Nin,ayam goreng masakan bibi kemarin enak kan? Malam ini menunya itu lagi cuman bedanya pake rendang kuahnya. Coba aja,rasanya enak. Jangan begadang,Nin. Kan revisinya engga terlalu dikejar,Nanti biar aku yang bincang sama Papa untuk tidak mendesakmu mengumpulkannya. Kamu baik-baik aja kan? Ini seminggu,Nin. Sehat kan? Nin,aku bawain obat migrain ya? Apa aku kesana aja temenin kamu? Dari suaranya kayaknya capek banget ya? Satu langkah,dua langkah dan seterusnya. Aku keluar rumah melewati pagar berjalan dengan santainya dengan membawa secangkir kopi di tanganku,sesekali memandang beberapa ibu hamil yang jalan-jalan pagi. Suasana depan rumah ternyata akan seramai ini saat pagi menjelang,aktivas dan suara anak-anak yang sangat berisik. Aku berhenti berjalan memandang dua anak muda yang jogging berdampingan sesekali perempuannya tertawa. Nikmati perasaan cinta itu anak remaja,kamu akan sangat bahagia merasakan indahnya kupu-kupu berterbangan didalam perutmu,tapi nantinya kamu juga akan merasakan bagaimana pedihnya pisau menghayat hatimu dengan sangat mendalam. Cinta artinya bersiap tersakiti,terluka dan mengorbankan hati. “Dek Anin,semingguan ini sibuk banget ya?” ibu hamil yang sudah kulupa Namanya menyapa, “Deadline kak,biasalah.” Jawabku ramah,dari wajahnya dia mungkin hanya 4 tahun diatasku. “Ya ada baiknya kamu menikmatinya sekarang,bukan malah menyesal di kemudian hari.” Ku lambatkan langkahku karena langkahnya yang sangat pelan,sesekali ibu hamil muda ini akan menatapku dengan senyumannya. Apa mungkin seorang Anindira akan sama sepertinya nanti? Apa mungkin seorang Anindira akan merasakan pernikahan dan mengandung serta tersenyum,menerima cinta seorang lelaki? Atau mungkin,apa aku bisa menerima cinta seseorang suatu hari nanri? “Kamu pasti engga tau ya? Didepan baru ada yang buka warung. Baru tiga hari yang lalu sih. Sekarang lagi rame-ramenya,makanya aku pengen minta suami aja yang beliin.” “Oh ya? Rasanya enak engga kak? Aku bakal sering beli kalau memang enak jadinya engga dimasakin lagi atau dibawain makanan lagi,” “Enak tapi selera orang kan beda-beda,aku tau kamu pinter masak Nin. Tapi masa muda alias tinggal sendiri kan emang bagusnya beli apalagi punya kerjaan. Aku pulang duluan,mulai pegel.” Dia berlalu,dan aku masih memegang secangkir kopiku. Tidak aneh kan jalan-jalan pagi membawa secangkir kopi apalagi sudah agak jauh dari rumah. Tapi sudahlah,mending jalan lagi dan melihat sendiri warung yang katanya baru dibuka itu. Kalau ramai kan berarti banyak yang suka dan enaknya memastikan sekali. Sepuluh langkah. Tepat setelah melewati taman,warungnya sudah terlihat. Benar kata ibu hamil tadi,ramai padahal masih sangat pagi sekali. Melihatnya sudah membuatku pengap sendiri,kubalikkan badanku tapi malah tertegun melihat anak remaja tadi sedang baradu argument tak jauh dari posisiku berdiri. Aku tak mau mendengarkan pembicaraan mereka,tapi jalan satu-satunya adalah disana. “Mba,Mba kalau pacarnya bohong. Mba ngapain?” eh? Aku memandangnya aneh dan segera bergegas dari sana. Emang baiknya tidak berdekatan dengan lelaki jadinya tidak terluka dan tidak merasa dibohongi dengan kelakuannya yang sangat menyebalkan. Didalam semua ceritaku,aku sering menggambarkan cerita dimana romansa cinta yang sangat indah. Memberikan penggambaran cinta yang luar biasa hebatnya dan membuat para pembacaku merasakan indahnya tatkala mencintai. Dunia cinta Indah,aku selalu mengatakan demikian. Akan tetapi resikonya yang tidak pernah aku jelaskan secara rinci membiarkan pembacaku sendirilah yang mengartikan bagaimana cinta yang sesungguhnya. Sepanjang jalan,aku disapa beberapa anak kecil dengan pakaian sekolahnya juga ibu-ibu dengan pakaian kantornya. Beberapa ada seumuranku,ada yang tersenyum hangat atau hanya memandang sekilas. Inilah dunia tetangga,kadang diartikan dengan baik kadang juga tidak baik. “Nin,aku kirain masih tidur. Aku telepon berulang dan menekan bell. Ternyata orangnya kekuar jalan-jalan.” Alga,ya! Dia masih misteri. Mungkin akan selalu sepolos ini didepanku atau menjadi lelaki pematah hati perempuan yang sangat hebat diluar sana. “Semalam kamu bilang akan keluar hari ini makanya aku samperin,sengaja engga bawa makanan soalnya mau bawa kamu jalan-jalan. Hari ini kita kemana Nin? Kamu ada list?” ku serahkan cangkir kopiku pada Alga,tinggal setengah. “Aku mandi dulu,kamu bisa cuciin piringku engga? Banyak banget soalnya ada rantang kamu juga.” Tanpa persetujuannya,aku masuk lebih dulu dan menuju kamar,mandi. Banyak tempelan yang ada di dinding langsung menyuguhkanku,memang sengaja aku tempel selama seminggu untuk penyemangatku sendiri, ‘ayo Anin,kamu suka dengan tulisan kan? Makanya kerja dan kerja’ ‘sedikit lagi,Anindira. Kamu itu hanya perlu mengkhayal kan? Masalah lainnya nanti diurus lagi’ ‘hey Anin,banyak orang mau seperti kamu jadi jangan kebanyakan mengeluh ok? Kerjakan saja dan mari liburan setelahnya’ Segera berpakaian dan berhias,kini Anindira siap liburan kemanapun yang dia mau. Tapi sepertinya tidak akan jauh dari yang Namanya pantai. Mau sejauh manapun akan selalu pantai yang menjadi tujuan utamanya. Pantai itu indah,memberikan banyak kebahagiaan juga tempat pengalihan untuk orang-orang yang tidak tau akan kemana. Aku saja kadang lupa waktu saat berada di pantai,saking nyamannya tempat yang Allah ciptakan itu. *** Batal total. Dan aku membenci rencanaku yang batal total karena Mba Jena lagi. “Ada yang mau ketemu kamu,dan harus sekarang.” “Ayo masuk,nanti aku bawa ke pantai terus temenin kamu sampai malam. Inikan pilihan kamu sejak awal,Nin. Mau bagaimana juga tetap kamu kerjakan kan? Yuk masuk,siapa tau mood kamu akan bagus didalam.” Dengan wajah tidak ikhlas,aku masuk kedalam tempat perjanjian dan sudah ada Mba Jena juga didalam. “Anin! Sini!” “Sana gih! Aku tunggu disini.” “Engga,kamu kesana juga terus ikut bicara. Aku engga mood ngomong.” Dan dia tetap Alga penurut,mengiyakan dan menuju tempat Mba Jena. Alga dengan gentleman menarikkan kursi dan mempersilahkanku duduk,setelahnya baru dia yang duduk. Dia menerima berkas yang Mba Jena pegang dan membacanya. Aku hanya memandang Alga sejak tadi,kapan aku bisa membalas perasaan orang ini? “Kamu mau buku quote,Nin? Tema pantai. Tapi penyemangat untuk orang-orang yang tidak punya rumah,semacam hanya pantai tempat mereka berlindung.” Mataku memandang bagaimana seriusnya Alga sekarang. “Harus selesai sebulanan karena akan segera diterbitkan. Kamu diberikan peluang memilih covernya sendiri,gimana Nin?” aku menguap,tidur semalam jam satu dan bangun subuhan. Setelahnya tidak pernah tidur lagi hingga sekarang. “Anin ambil Mba,tapi bisa waktunya ditambah sebulanan? Jadi dua bulanan gitu. Kan Anin juga lagi ngetik n****+ yang satunya. Bisa kan?” “Bisa.” Orang yang memintaku datang bicara dengan cepat,segera mengambil berkas ditangan Alga dan menulis sesuatu. “Maaf atas ketidaksopanan kami,tapi Anin harus ke tempat lain untuk liburan setelah hampir semingguan bekerja tanpa henti. Harusnya hari ini Anin tidak menemui siapapun apalagi menyangkut pekerjaan tapi karena menghargai anda makanya ia meluangkan,” inilah fungsi mengapa Alga harus ikut bersamaku. “Terimkasih atas waktu anda,Anindira. Silahkan bubuhkan tanda tangan anda disini. Kami akan menunggu karya anda,tapi sesekali akan memantau agar tidak was-was.” Segera ku tanda tangani berkas tersebut dan pergi,tanpa menyapa Mba Jena. Dia tipikal orang yang jahat sekali. Bukannya membiarkanku istirahat dulu sebelum menerima perjanjian,dia malah dengan seenaknya mengiyakan tanpa memikirkan perasaanku sama sekali. “Kamu mau kemana? Pantai biasa?” kakiku terus jalan,keluar dan langsung masuk kedalam mobilnya. Menunggunya masuk dan melajukan mobilnya meninggalkan tempat ini.lambat laun,aku berusaha memejamkan mataku. “Ada yang bilang bekerja dengan hobby bagus,kamu merasakannya?” Alga itu tipikal orang yang sangat mengerti keadaan,tapi kenapa aku tak kunjung mencintainya. “Alga,” “Ya?” “Bagaimana caranya agar aku bisa merasakan dan mempercayai cinta sebagaimana orang-orang mana umumnya? Aku sangat ingin menyambut perasaanmu dan membuatmu bahagia dengan ini semua.” Jujurku padanya, “Nin,aku tidak mau perasaanku terbalas dengan tidak baik. Bagaimana mungkin aku akhirnya bahagia sedang perempuan yang kucintai terpaksa melakukannya?” “Bukannya yang terpenting asalkan mencintai ya?” “Nin,mungkin semua orang demikian tapi aku berbeda. Aku pengen kamu mencintaiku dengan sengaja bukan terpaksa. Udah ya,aku hanya perlu kamu menerima semua yang aku berikan. Kamu menyambutnya atau membalasnya itu urusan belakangan.” Aku tersenyum miris,ternyata begitu ya. Aku tersenyum,tapi tak memperlihatkannya pada Alga sama sekali. Namanya hidup ya begini. “Kalau kamu dikasi kesempatan membahagiakan seseorang,siapa yang akan kamu bahagiakan?” tanyaku dengan mata kubiarkan terpejam. “Anindira,aku ingin membahagiakan Anindira agar dia merasakan bagaimana indahnya dibahagiakan oleh orang yang mencintainya,” kubuka pejaman mataku,tertawa sejenak lalu kembali merubah raut wajahku menjadi biasa saja. “Papa pengen makan malam bareng,Nin. Tapi aku udah bilang jangan dulu,kamu kan Sukanya makan sendiri walau sering aku temenin di telepon sih,”. Hening dan aku merasa tidak biasa dengan semua ini. “Alga.” “Ya,kamu pengen cerita sesuatu kan? Cerita aja Nin,aku kan fungsinya hari ini temenin dan denger semua keluhan kamu.” “Menurut kamu,kenapa harus mencintai?” tanyaku sembari memandangnya. “Nin,aku bukannya tidak mau menanggapi tapi gunanya apa? Kamu sejak dulu tidak suka dengan cinta,benci dengan dunia itu. Jadi gunanya aku jawab pertanyaan itu engga ada,kamu tau Nin? Mau sepanjang apapun aku memberikan penjelasan kamu tidak akan menerimanya karena kamu membencinya.” Iya juga ya? “Menjelaskan A pada seseorang yang membenci A sama saja dengan membuang waktu,Nin. Tapi menunggu kamu menyukai A tanpa menjelaskannya melainkan membiarkanmu merasakannya sendiri adalah pilihan paling baik. Kamu suka jawabanku atau mau jawaban lain?” “Mama kamu… Aku yakin dalam waktu dekat akan memberikan atau menjadwalkan dating untukmu,Al.” Mobil Alga tepikan,dia memandangku dengan ekspresi nelangsanya dan kubalas dengan senyuman biasa saja. “Sekali aja,Nin. Aku pengen denger kamu membahas tentang kita bukan kebencianmu pada cinta juga ketidaksukaan Mama aku padamu. Aku ingin perasaan berbunga-bunga itu,Nin.” “Engga ada Alga… Tidak akan pernah ada perasaan berbunga-bunga karena aku lupa bagaimana membuat orang merasakannya di dunia nyata. Berhenti bermimpi Alga. Bangun dan terima saja keadaan bahwasanya tidak akan pernah ada kita di masa depan.” Mobil kembali Alga lajukan,”Aku tidak akan pernah menyerah,Nin.” “Oh ya? Kenapa?” “Karena aku tau,kamu hanya trauma bukan membenci.” “Jangan asal menyimpulkan Alga,siapa yang membuatku trauma? Aku tidak pernah sekalipun dilukai oleh siapapun. Lajukan saja mobilmu dengan benar dan berhenti membual apalagi menilai dalam satu sudut pandang,kamu hanya akan terus memprediksi tanpa asal usul.” Benarnya,Alga mengikuti apa yang aku mau. Dia focus melajukan mobilnya sedang aku menatap jalanan dengan kekosongan yang begitu mendalam. Kata trauma hanyalah ada didalam karyaku dan tidak pernah aku alami di dunia nyata. Siapa yang bisa membuatku merasakannya? Patah hati saja tidak pernah aku rasakan lalu bagaimana caranya aku trauma? “Kamu tau,Nin. Kamu akan terus menyangkal apa yang harusnya kamu terima. Dunia yang kamu anggap mustahil kamu rasakan itu selalu datang mengejarmu tanpa henti. Ambigu ya? Aku aja bingung dengan apa aku katakana,Nin.” Aku tertegun,aku adalah penulis. Dan aku tau apa yang Alga katakan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN