4 - Menyusahkan

2186 Kata
“Kamu lagi ngapaian sekarang? Sekarang hari rabu,Nin. Dan perjanjian kita ketemunya hari jumat nanti dan jumlah babnya sudah sepuluan. Sekarang gimana?” “Mba lama-lama mirip renteniner yang menagih hutang. Padahal aku engga punya hutang sama sekali,bukan salahku kan kalau lama? Aku bukan robot Mba. Menulis memang hobby aku,tapi aku juga engga disana terus.” “Nin,jangan sok ngambek. Mba tau kamu sudah tahunan bukan bulanan. Mba engga mau tau,ketemu jumat nanti harus sudah sampai bab sepuluan.” Sambungan telepon terputus. Namanya juga dunia menulis,moodnya harus dikejar dan selalu di dorong supaya semangat lagi. Menyusahkan namun menyenangkan juga. Pekerjaan ini tuh sudah sangat sesuai untuk seorang Anin,bisa dapat uang melalui hobbynya bukan mengerjakan sesuatu malah keterbalikan dengan keinginannya. “Diminum,Bu.” Tak mau dikatakan tak sopan pada orang lebih tua,kusiapkan kopi untuknya. Apa sudah sesuai ya? “Kopi? Kamu lupa ya? Ibu engga minum kopi Anin tapi teh hangat. Udah memang bagusnya kamu tadi engga usah menyiapkan,Ibu sudah hampir menebak kamu pasti sudah lupa.” “Maaf,aku jarang memperhatikan sekitar.” Ralatku,ikut duduk disofa. “Kamu nyaman disini? Mau kamu menolak ibu untuk datang kemari,ibu akan tetap datang tiap 4 bulan sekali. Yaudah ibu denger tadi kamu diminta kerja tapi ketunda karena ibu ada. Ibu pamit,kalau ada apa-apa jalan ke panti, pintu disana selalu ada untuk kamu,Anin.” Dia berdiri dan aku menyalami tangannya dengan patuh. Mengantarnya hingga depan pintu lalu diapun pergi. Namanya saja tidak aku ingat tapi samar-samar dia adalah ibu panti yang merawatku selama ini. Bukan datang meminta uang,aku mencapnya adalah orang paling tulus. Datang untuk mengecek kesehatanku dan apakah aku hidup dengan layak. Baiknya sangat diluar batas sekali. Ayo Anin,kembali ke realita,menulis! “Anin!” pintu tak jadi kututup. “Untung agak cepet,bibi masakin sup sama ayam goreng. Udah ada nasinya juga,kamu belum makan kan?” kuterima rantag besi yang Alga sodorkan. Alga maju dan tersenyum tapi hanya kutatap biasa saja,aku suka dengan tatapan penuh cintanya padaku. Begitu mengagumkan dan memukau,sayang sekali aku tidak bisa membalasnya sama sekali,perasaannya. “Maaf ya wisatanya kemarin engga jadi,kamu mau apa sebagai balasannya?” “Foto pantai yang HD,mau aku posting.” Dan kututup pintu tanpa mendengar ucapannya tatkala tiap kami pisah,pintu diketuk lagi. Kubuka kembali,” I Love You More,” dan setelahnya kututup kembali,Alga mungkin merasa ada yang kurang jika tidak mengatakan hal demikian. Kebaikan orang sekitar yang hanya kuanggap dan kuingat Namanya hanya Alga dan Mba Jena. Yang lainnya memaklumi sikapku,atau mungkin Alga yang sudah menjelaskan semuanya makanya mereka mengerti. Anindira. Nama paling cantic bukan? Aku pernah menanyakannya pada ibu panti mengapa namaku demikian tapi katanya memang begitu. Selebihnya hanya kuanggap memang anugerah yang mau Allah kasi. Makannya nanti pas lapar,ada baiknya aku mengetik bab selanjutnya dan bisa membanggakan diri pada Mba Jena karena tak lagi malas dalam mengetik. Dunia menulis kan begini,tidak bisa main-main saat rasa malas datang. Aydira berjalan dengan pakaian awut-awutannya mendatangi kediaman lelaki sumber hartanya,melemparkan setas sepatunya yang kotor akibat tiga perempuan yang datang kerumahnya. Aku engga suka,kalau begini terus mending aku pergi. Aku suka uang kamu,tapi aku juga tidak suka diperlakukan rendah di istanaku sendiri. Didalam otakku,aku sedang membayangkan Aydira si miskin menahan amrahnya,menatap sumber uangnya dengan murka. Ada mamanya sumber uangnya juga disamping si lelaki. Segera berdiri mengatur rambut Aydira. Aku menguap beberapa kali,kuperiksa jam masih jam sembilanan tapi sudah terasa sangat melelahkan sekali. Aku baru saja mulai mengetik,dan gara-gara ibu panti aku lupa membuat kopi untuk diriku sendiri. Kutinggalkan Aydira dengan segala dramanya,tak lupa membawa ponsel bersamaku. “Kenapa Nin? Kamu mau makan tapi engga ada yang menemani?” pertanyaan tepat dan tak memerlukan jawaban. Mulai kubuka rantang yang tadi Alga bawa,”Tau engga,Nin. Mobil yang tadi aku pakai anterin kamu pulang itu punya model yang aku foto. Sebagai ganti karena meminjam mobilnya aku harus menaikkan bayarannya,” kupindahkan ayam goreng dan supnya ke mangkuk. “Lumayan banyak juga sih,aku agak was-was kalau mama sampai datangin kamu mengira uang yang aku keluarkan itu untuk kamu.” “Kan memang untuk aku kan?” “Maksud aku itu… Takutnya Mama ngiranya kamu yang pake uangnya,kamu yang ambil.” “Ya memang aku yang pake kan,Alga? Mobilnya disewa untuk anter aku pulang. Nanti aku ganti,kirim kembali ke rekening kamu, bilang aja berapa.” “Tapi Nin,” “Alga…” “Okay,nanti lewat pesan aja ngasi Taunya. Gimana masakan bibi? Tadi agak was-was takut kamu engga suka kan aku udah bilang,asal bukan menu alergimu semuanya kamu makan kok. Makan yang banyak,jangan ada sisa.” “Nin.tadi aku minta sama staff untuk cariin tempat wisata yang bagus dan pantainya indah. Mereka bilang di bulukumba,pantai bira katanya bagus dan ada film pernah latar disana. Setelah aku nonton,memang bagus. Mau kesana?” Keningku berkerut bingung,”Bulukumba? Luar jawa kayaknya.” Tanggapku,mencabik-cabik daging ayam yang ada di piring. “Bulukumba kan Sulawesi selatan,Nin. Kan biasanya tiap kamu mengendingkan satu buku kita akan liburan kan? Nah makanya kamu harus semangat mengetik biar cepat selesai.” Aku tertawa dan mungkin Alga kegirangan di seberang sana. Entah kenapa moodku mendadak membaik setelah Alga menjelaskan tentang wisata yang katanya indah itu. “Senang kan? Makanya kamu harus semangat. Tadi Mba Jena telepon aku katanya akhir-akhir ini semangat kamu agak menurun makanya aku berusaha untuk cari cara. Baguslah kalau kamu semangat,” selesai makan,kusimpan piring dan rantangnya di wastafel tanpa mencuci. “Menurut kamu,bagusnya Aydira putus aja sama Faxsel?” “Jangan,Nin. Kasihan Faxsel karena engga punya siapapun lagi untuk untuk mengiburnya. Kan kamu yang paling tau kenapa tokoh lakilaki kamu itu main perempuan. Kalau Aydira capek,kan Faxsel bisa ajak dia ke tempat mahal.” “Kalau Aydira bosen dengan kemewahan?” “Mungkin kamu bisa,semisal mulai menyingkap secara perlahan mengapa Faxsel suka main perempuan. Cerita kan butuh penasarannya Nin,kalau uwu-uwu dan berantem terus dan engga ada rahasia malah enek rasanya. Iyakan?” “Tapi cepat banget,” “Yaudah,gimana kalau Faxsel kasi hukuman ke orang-orang yang membuat Aydira capek? Jadinya Aydira senang.” “Oke,aku udah selesau makan.” Sambungan telepon kumatikan,Alga langsung mengirimkan nominal yang harus kuganti. Segera ku tranfer ke rekeningnya,berhubungan dengan mamanya adalah hal paling memalaskan dari semua yang ada. Piringku sudah menumpuk minta di cuci,tapi saat kulihat rak piring. Masih ada tiga piring dan dua mangkuk juga sendok yang masih bersih. Jadi cuci piringnya nanti aja,aku mending kembali ke kamar mempertimbangkan ide-ide yang tadi Alga berikan. Kenapa aku mengingat nama Alga dan menjadikan Namanya di nomor dial 1? Karena saran yang dia berikan selalu ada gunanya,memberikanku ide yang bagus. Walaupun mungkin aku memanfaatkannya tapi seru,segala idenya. Kadang juga,saat aku malas mengetik. Maka Alga yang akan mengetik sedang aku cukup menyebutkan semuanya. Memintanya mengetik ini itu,tangannya juga bergerak dengan sangat cepat diatas keyboard,palingan setelahnya aku harus memeriksa semua KKBI-nya. *** Niatku ingin mendekam didalam kamar seharian selama kamis ini malah tidak terlaksana karena Mba Jena yang datang pagi-pagi memintaku bersiap bertemu dengan pihak penerbit juga beberapa orang penting. “Pak Viktor juga ada dong?” tanyaku setelah kami berjalan beriringan memasuki kantor penerbitan. “Ya iyalah,diakan sutradaranya, kamu kenapa sih? Terlepas dia adalah ayahnya Alga,selama ini dia baik sama kamu.” Bukan masalah itu,tapi sudahlah. Aku kesini untuk membahas short storyku yang katanya dipinang oleh pihak atas,alias mau dijadikan film dalam waktu dekat. Walaupun aku malas,tapi sudah banyak ceritaku yang di filmkan dan menjadi bahan kesukaan warga Indonesia. “Jangan lupa senyum dan salim sama yang mengulurkan tangan bukan diliatin aja. Tanggepin pertanyaan mereka dengan pas bukan malah mematung apalagi menunggu mereka mengerti dengan sendirinya, ingat! Mereka bukan Alga yang hanya melihat kamu aja langsung paham.” “Iya Mba.” “Mba engga mau kamu banyak ini itu ya,Nin? Jawab aja. Terus setujui apa yang mereka tawarkan,tapi ingat juga dengan apa yang mereka tawarkan sesuai apa tidak dengan kamu.” “Iya Mba,” Segala kebawelannya terhenti saat kami telag berdiri didepan pintu rapat,aku segera masuk disambut dengan salam juga beberapa uluran tangan,sesuai dengan apa yang Mba Jena beritahu. Aku membalas mereka,lalu duduk di samping Mba Jena. Mereka mulai memaparkan semuanya hingga giliranku yang berdiri,menjelaskan singkatnya tentang cerita pendekku. “Alunan masa lalu,bercerita tentang seorang anak yang akhirnya buta setelah disiksa abis-abisan oleh ayahnya yang sedang mabuk. Saya menyimpan konfliknya diawal,membuatnya begitu mencekam. Sang anak kabur dan tumbuh dengan kebutaannya.” Tak lupa senyum,aku memandang orang-orang. “Akhirnya membalas ayahnya setelah ayahnya sukses,menikah lagi dengan perempuan kaya raya. Membuka semua kedoknya dibantu oleh lakilaki yang selama ini membantunya. Ya,perjuangannya disinilah yang menjadikan pembaca suka,perjuangan si buta yang tak kenal Lelah.” “Ini adalah cerita sad ending,sejak kecil mengalami penyakit serius karena sering disiksa,akhirnya meninggal setelah melahirkan anak pertamanya dan juga berhasil membalas dendamnya pada ayahnya. Dunia yang cukup menyentuh sisi seorang ibu,” “Dan saya mau,jangan ada cerita tambahan. Didalam reading para pembaca nanti,aku mau hadir. Itu aja,terimkasih.” Seruan tepuk tangan sebagai penutup ucapan panjangku. Aku segera meminum air hingga tandas. Ku lirik ponselku yang sejak masuk tersambung dengan Alga,aku mendekatkan pada telinga sembari pihak entertainment sibuk berbincang dengan Mba Jena dan pihak penerbit. “Alga,” “Kerja bagus,Nin. Aku bangga banget sama kamu. Nanti aku kasi kado,see you dan I love you more.” Sambungan telepon kumatikan dan segera kusimpan ponselku. Acara ini terus berlanjut hingga kesepakatan akhirnya ada. Akan ada pertemuan lagi di bulan selanjutnya ditanggal yang sama,dimana pertemuanku dengan artis yang akan memerankan karakternya. “Apa kabar Anindira? Kita bertemu setelah lama ya? Kamu akhirnya mau keluar kendang juga.” Kubalas uluran tangan Pak Viktor,sutradara filmku nanti. “Baik Pak. Kita akhirnya bisa ketemu lagi setelah terakhir berbulan-bulan lalu?” “Alga apa kabar? Dia tidak berniat kemari?” Ya,aku hampir lupa. Dia adalah ayah kandung seorang Alga,yang memilih sendiri dimasa suksesnya. “Lagi memeriksa rumah sakit,Pak. Tapi katanya dia yang mau jemput makanya Mba Jena sudah pulang lebih dulu.” Dia ikut duduk disampingku,kami sedang berada di lobby menunggu jemputan masing-masing. Tapi kurasa Pak Viktor jemputannya sudah datang hanya saja memilih duduk bersamaku disini. “Kamu sama Alga,sudah berapa lama kenalnya?” Berpikir Anin,Ayo berpikir. “Lima tahunan,Pa. kalau mau tau sesuatu jangan tanya sama dia,diri sendiri aja dia lupa. Kami kenal saat Anin berusia 19 tahun. Saat dia masih dengan sikap kekanakan hingga sebodoamat sekarang,” aku bernapas lega saat Alga akhirnya datang. “Dipaksa mamamu lagi?” “Gitulah,Mama rasanya mau gila liat anaknya tiap hari kerjaannya ngejar perempuan terus dan lupa sama kerjaan.” Aku semakin kebingungan saat mereka berdua tertawa,kini aku berada ditengah-tengah keduanya. “Nin,aku belum beli kadonya. Mau dibeliin apa?” Alga memang kadang gila,apalagi sehabis mengunjungi rumah sakit yang isinya orang tidak sehat semua. Bukan bermaksud,hanya saja yang aku ingat,setiap kali Alga mengunjungi rumah sakit maka dia memilih mengunjungi bagian kejiwaaan dan menyapa orang-orang disana bukan bagian yang lainnya,aku tau karena aku pernah pergi bersamanya. “Mana ada orang ngasi kado tapi nanya sama orangnya,Al? kamu ini ikutan aneh kayak Anin.” “Kamikan memang jodoh,Pa.” Dan sepertinya dua orang ini yang berjodoh,karena mereka sama-sama gilanya. Aku berniat berdiri tapi tanganku ditarik kembali oleh Alga. Matanya sibuk kedepan,saat ikut kupandang ada orang yang tidak kusukai datang. “Bawa Anin pulang,Papa ada pembahasan penting sama Mama kamu,” belum sampai ucapan Pak Viktor pada otakku,Alga sudah menarikku berdiri dan memilih jalur yang lain menuju parkiran,hingga kami tidak bertemu dengan mamanya. Baru semenit,segera kulepaskan genggaman tangannyaa. “Jadi mau kado apa?” “Mobil?” “Hahah,aku tau itu bukan Anindira. Aku baru dapat informasi penulis kesukaan kamu yang ada diluar negeri baru saja open order buku. Gimana? Kamu mau?” “Boleh.” Dia mengangguk,segera menelepon entah menelpon siapa,kami masih ada disekitaran kantor penerbitan yang memang mengontrakku sejak dulu. Memberikan banyak kenangan dan selalu mendukungku apapun yang terjadi. Kuperhatikan Alga yang sangat sibuk menelpon,wajahnya lucu saat keningnya mengerut bingung lalu tersenyum. Dia adalah orang yang lebih mengenal aku dari diriku sendiri dalam jangka waktu lima tahunan. “Apa yang beda?” tanyanya,mempertemukan mata kami. “Bagian dagu kamu,dan… Rambutmu makin Panjang sudah mau sepunggung.” Dia tertawa mungkin kegirangan,aku mengedarkan mata mencari mobilnya,ketemu. “Nin,” panggilnya, “Kenapa?” “Kamu kenapa membuat perempuan yang ada di cerita pendekmu meninggal? Padahal seharusnya kamu membuatnya tetap hidup dan membesarkan anaknya dengan baik. Menjadi lelaki yang hebat agar tidak seperti kakeknya kelak,” Kucoba mengingat mengapa aku memberikan ending demikian. “Tidak bisa,sejak kecil dia sosok lemah dan selalu berlindung dibawah bayang-bayang seseorang. Dia lemah dan akan sulit membesarkan anak lelaki,biarkan suaminya yang hebat itu mendidik anaknya agar hebat seperti dirinya. Sejak dulu,si buta engga percaya dengan kemampuannya.” Alga terlihat belum puas dengan jawabanku. “Dia memang lemah,tapi mungkin akan kuat jika mempunyai anak. Pandanganku tidak demikian,ada banyak trauma yang dia tanggung dan takutnya tidak sengaja mendidik anaknya selemah dirinya. Lucu sih,tapi yang sudah membacanya pasti paham dengan apa yang aku suguhkan dan mengapa mengendingkan demikiaan.” Kunaikkan tangan pertanda meminta Alga tidak bertanya lagi,dia tertawa dan melajukam mobilnya. Aku percaya,dan sangat percaya. Lelaki itu yang akan membesarkan anaknya,mendukungnya lewat bayangan almarhum istrinya yang selalu mengiringi. Dunia khayalan dan pekerjaan penulis begini,suka bimbang kadang memberikan ending yang membingungkan namun nagih. Ini Anin,memang bukan penyuka sad ending tapi kadang kala memberikan ending yang tidak baik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN